Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nostalgia "Overthinking" atau Lewah Pikir

31 Maret 2021   10:38 Diperbarui: 31 Maret 2021   13:12 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "overthinking"/Foto: jpnn.com

Kamus Merriam-Webster mendefinisikan "overthinking" sebagai "to think too much about (something) : to put too much time into thinking about or analyzing (something) in a way that is more harmful than helpful".

Yakni "terlalu berlebihan memikirkan sesuatu: terlalu banyak menghabiskan waktu memikirkan atau menganalisis (sesuatu) dengan cara yang lebih banyak merugikan alih-alihkan membantu".

Ivan Lanin, sang evangelis bahasa Indonesia, memadankan "overthinking" dengan "lewah pikir" atau "berpikir berlebihan".

Dan, sebagai manusia biasa, aku pun pernah mengalami pengalaman "overthinking" atau lewah pikir yang menyiksa. Sebut saja itu nostalgia lewah pikir yang menyiksa. Serasa hampir mendekati paranoia.

Saat itu lima belas tahun silam.

Rabu, 22 November 2006. Pukul enam pagi. Setelah jadwal rutin minum jamu setiap pagi, yang cukup berguna menjaga vitalitas makhluk "nokturnal" seperti aku, iseng baca-baca koran kriminal ibukota. 

Dari dulu hingga kini aku membiasakan diri tidak membaca satu jenis bacaan saja. Koran serius, jurnal politik, novel filsafat atau sejarah, buletin psikologi, sastra, info rumah tangga, tips ibu dan anak sampai tabloid infotaintment pun kuhalalkan dan kulibas. 

Ada banyak ide atau inspirasi kehidupan luar biasa yang justru datang dari berita remeh-temeh dalam bacaan atau koran yang sering dianggap tidak bermutu atau low grade tersebut.

Namun sebuah berita pagi itu sungguh luar biasa. Luar biasa menyiksa mental sekaligus mengocok isi perutku. Bukan karena lucu. Justru sebaliknya. 

Di Depok, Jawa Barat, pada Selasa siang, Jiwo, seorang wanita usia 35-an tanpa suami yang diduga mengidap kelainan jiwa membakar bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi laki-laki itu kemudian dibakarnya dan dimakan bersama kecap dan nasi. Ketika perbuatan itu diketahui warga sekitar, tinggal tersisa potongan tubuh bayi berupa kedua pangkal kaki dan paha. Bahkan ari-ari bayi itu masih terlihat menjulur dari kemaluan si wanita. 

Kontan saja, belum tuntas seluruh berita kubaca, isi perutku bergejolak. Kepalaku pening memikirkan berita itu.

Buru-buru aku ke kamar mandi. Dua kali muntah. Cairan kuning kecoklatan jamu yang baru kuminum tumpah semua. Hanya itu. Karena aku biasa minum jamu sebelum sarapan. 

Saat gejolak pertama reda, ketika kembali melihat foto potongan tubuh bayi malang tersebut di halaman depan koran, kembali imajinasi dan pikiran berlebihan menyiksaku. Terpaksalah tempat sampah mungil di kamarku jadi pelampiasan. Rasanya kosong sudah isi perutku pagi itu.

Orang tersayangku juga hanya tersenyum manis saat aku ceritakan berita itu kepadanya pada sore harinya. 

"Jangan gitulah, Bang," ujarnya santai. 

"Eh, bayi itu tadi dimakannya gimana? Emang enak ya?" ledeknya dengan mimik lucunya yang khas.

Oh, my God! 

Aku melotot. Mendadak perutku mual kembali. 

Ia pun tertawa terbahak-bahak, sukses membuatku 'menderita'. 

Aku merengut. Memang sih si yayang ini pembawaannya cuek dan rada tomboy, tapi mbok ya empati gitu lho!

Atau aku yang terlalu lewah pikir? 

Dulu, sewaktu kelas tiga SD, aku juga mengalami hal yang sama. 

Sempat berbulan-bulan mengalami ketakutan dan ngeri selepas membaca kisah pembunuhan berantai yang dilakukan sepasang perempuan tambun di Inggris karena mereka sering diejek warga di lingkungannya. 

Belasan korban dibunuh oleh kakak beradik itu dengan pisau pencucuk batu es dan dicincang sebelum akhirnya disimpan di gudang bawah tanah rumah mereka. 

Alhasil, gudang bawah tanah rumah mereka berubah jadi catacombe, kuburan bawah tanah yang bentuknya berlorong yang biasa terdapat di Eropa pada abad pertengahan. 

Kisah pembunuhan itu digambarkan sedemikian detail dan hidupnya dalam sebuah majalah wanita terkemuka saat itu. 

Belasan tahun kemudian aku baru tahu jenis tulisan seperti itu namanya artikel feature. 

Dan Sungguh artikel feature yang hebat, karena membuatku "overthinking" dan traumatis untuk membacanya kembali. Bahkan untuk sekadar menyentuh majalah itu. 

Majalah itu aku enyahkan ke tempat sampah di belakang rumah. Meski belakangan kakak perempuanku ribut-ribut mencari majalah yang belum selesai dibacanya itu.

Ya, kembali ke berita koran pagi itu, berita di Depok itu adalah berita paling menyiksa kedua dalam hidupku setelah berita zaman SD dulu. 

Terutama karena, sebagai orang bertipe pemikir, aku kerap memikirkan dari berbagai aspek dan sudut pandang. Hingga kerap "overthinking" atau lewah pikir menyerang.

Ketika sekian belasan tahun silam Robot Gedek menghabisi para bocah laki-laki yang disodominya dengan cara menyilet perut mereka dan mengisap darah dari bekas siletan tersebut layaknya drakula, aku masih bisa membaca beritanya dengan penuh kontrol diri. 

Tentu saja bulu kuduk agak meremang karena ngeri. Demikian juga ketika nama sang pemakan mayat, Soemanto, beredar menjadi kegegeran nasional, reaksiku masih wajar-wajar saja. Ada ngeri, jijik. Tapi sebatas kadar normal. 

Namun, sang Soemanti, julukan dari wartawan untuk sang pemakan bayi dari Depok ini, sungguh luar biasa kadar terornya. Entahlah bagi pembaca yang lain. Bagiku, ya, sangat terasa.

Sering aku berpikir apakah aku yang kelewat lewah pikir. 

Sejujurnya, aku bukan orang yang gampang jijik atau ngeri dengan sesuatu. 

Ketika teman-teman semasa kecilku mengorek-ngorek selokan kotor dengan sepotong kayu bahkan bersarung tangan untuk mencari cacing guna umpan ikan cupang, tren hewan piaraan bocah zaman SD era 80-90an yang kini merebak kembali di kalangan dewasa, aku santai saja mengorek-ngoreknya dengan tangan telanjang. 

Aku juga tidak seperti salah satu temanku yangdijuluki  Mr. Waterman. Ia dapat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk cuci tangan atau wudhu. 

Menurutnya, setiap kali mencuci tangan atau mandi, seakan ada bayangan yang mengawasinya dan kadang memperingatinya bahwa ia belum mencuci atau mandi dengan bersih. Sehingga ia harus melakukannya berulang-ulang. Tampaknya ini lebih mendekati paranoia.

Namun, jika saat ini banyak di antara kita yang mengalami  gejala "overthinking" atau lewah pikir, tampaknya wajar saja. Kondisi pandemi dan kondisi negeri ini memang sangat kondusif untuk itu. 

Ketika pandemi virus korona, krisis ekonomi, ketidakpercayaan sosial (social distrust) saling berjalin berkelindan serta berkembang di antara kalangan masyarakat.

Ketika kekerasan sering jadi bahasa pamungkas untuk mengatasi perselisihan dan perbedaan.

Ketika ikatan kekeluargaan melonggar dan menjadikan sesama anggota keluarga asing dengan tetangga bahkan saudaranya sendiri. 

Di banyak daerah di Tanah Air bahkan kerap kali tawuran atau perkelahian pelajar atau antarkampung terjadi hanya karena saling bersirobok pandang.

Semestinya para pemimpin negeri inilah yang mengalami "overthinking"

Dan yang semestinya terserang "overthinking" atau lewah pikir adalah seharusnya para pemimpin negeri ini.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa jika ada seekor keledai mati kelaparan di tepi sungai Eufrat di Irak, yang termasuk wilayah imperium kekuasaannya saat itu yang membentang dari jazirah Arab Saudi hingga Somalia dan sebagian Afrika, maka itu adalah tanggung jawabnya yang akan dimintakan pertanggungannya di hari akhir. 

Lantas bagaimana para pemimpin negeri tidak lewah pikir?

Bagaimana nasib para pemimpin negeri ini di tingkat lokal dan nasional di hari akhir nanti jika dimintai pertanggungjawabannya karena seorang Jiwo terpaksa memakan bayinya karena kelaparan akibat sulitnya ekonomi di bawah kepemimpinan mereka? 

Orang waras saja banyak yang susah makan dan tak terurus negara. Apatah lagi orang gila. 

Meskipun sebenarnya konstitusi negara mengamatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tentu maksudnya tidak dipelihara agar eksistensi kemiskinannya tetap abadi. Namun dientaskan, diangkat harkat dan martabat kehidupannya.

Jika para pemimpin itu selalu bilang sulit dan sulit, memang seperti itulah adanya. Jadi pemimpin memang semestinya tidak enak. 

Leiden is lijden, memimpin adalah menderita, ujar Kyai Haji Agus Salim, menteri luar negeri pertama republik ini yang poliglot (fasih dalam) sembilan bahasa asing, yang semasa hidupnya tinggal di rumah kontrakan kecil dengan ketujuh anaknya di sebuah gang becek dan sempit di Jakarta. 

Bukankah pemimpin sejatinya adalah orang yang paling dulu lapar dan paling akhir kenyang demi mendahulukan perut rakyatnya?

Wajarlah jika mereka akan dan semestinya mengalami lewah pikir atau "overthinking".

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/60635f698ede486e84147062/teroris-mati-di-jalan-raya-bukan-di-jalan-allah

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/606100168ede4812606ba4c4/menulislah-seikhlas-buang-hajat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun