"Apa, Mbak?" Aku masih belum ngeh dengan maksudnya. Pikiranku sedang melayang entah kemana.Â
Hari itu kami bersebelas menumpang bis dari sebuah acara kunjungan di luar kota. Tepatnya menghadiri diskusi bersama seorang tokoh penulis nasional untuk studi banding Pondok Baca yang akan kami dirikan.
"Itu...jejak asap pesawat itu!" sang kawan yang akrab kupanggil 'Mbak' mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. "Indah ya?"
Aku mengarahkan pandangan ke arah telunjuknya mengarah.Â
Ya, jejak asap putih memanjang ratusan meter seakan ekor ular yang panjang yang hendak merayap naik ke langit. Subhanallah. Pemandangan sederhana yang sebenarnya cukup menggetarkan hati.
"Tapi aku jadi ngeri, Mas," kata si Mbak lagi.Â
Ngeri? Apakah ia alergi asap? Atau fobia ketinggian? terkaku bertubi-tubi dalam benak.
Kawan satu organisasi ini lantas bercerita pengalamannya naik pesawat terbang dari Solo ke Jakarta.Â
Betapa ketika itu ia menangis dan berdoa sekuat-kuatnya tiapkali pesawat lepas landas dan juga saat mendarat.Â
Betapa ia sangat takut nyawanya akan dicabut seketika dan sewaktu-waktu.Â
Betapa ia tak ingin menjemput kematian dalam kondisi seperti para penumpang salah satu maskapai penerbangan yang gugur di tengah laut dalam kecelakaan besar saat itu.