Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Tarhib Ramadhan] Ramadhan sebagai Madrasah Pengorbanan

10 Februari 2021   03:03 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:08 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ramadhan/Foto:pixabay.com

No pain no gain, kata orang bule. 

Maknanya sama seperti pepatah Melayu, "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian". 

Atau ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi: "jer basuki mawa bea", untuk mendapatkan keberuntungan diperlukan biaya atau harga yang harus dibayar. 

Intinya, segala keberhasilan atau keberuntungan tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia harus diraih melalui kerja keras. Ada harga yang harus dibayar. Dalam satu kata, kita bisa simpulkan bahwa kunci sukses hidup itu adalah "pengorbanan".

Dalam konteks hablumminallah, Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah, 9:111: "Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman dengan memberikan surga untuk mereka; mereka berperang di jalan Allah, sebab itu mereka membunuh dan terbunuh menurut janji sebenarnya dari Tuhan di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Siapakah yang lebih memenuhi janjinya selain Allah? Sebab itu bergembiralah kamu terhadap perjanjian yang telah ada antara kamu dengan Tuhan. Dan itulah keberuntungan yang besar."

Di bagian yang lain,"Katakan: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, kalau semua itu lebih kamu cintai daripada Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintah-Nya dan Allah tidak memberikan pimpinan kepada kaum yang jahat." (Surah At-Taubah, 9:24).

Nah, apakah Allah biarkan ummat manusia berkorban begitu saja tanpa memberikannya tuntutan dan pelatihan? 

Tentu tidak. 

Sebagai Sang Pencipta yang Maha-Adil, Allah telah sempurna menciptakan segala pranata bagi manusia yang ingin sukses dunia-akhirat. 

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan  atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Surah Al Baqoroh, 2:183). 

Diperjelas lagi pada ayat 185: "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)..."

Ramadhan adalah pelatnas, kawah candradimuka, sekolah atau madrasah yang melatih kita berkorban untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar, kesuksesan dunia-akhirat. 

Pengorbanan sendiri terkait erat dengan ketaatan, tanggung jawab, rasa memiliki (sense of belonging) dan cinta kasih. 

Seseorang akan rela berkorban jika terdapat elemen-elemen tersebut yang melandasi tindakannya. Memang banyak pula faktor-faktor lain seperti mengharap popularitas, nama besar atau laba finansial. 

Misalnya, seorang petinju yang rela berkorban bertarung habis-habisan demi mengharap nama besar dan keuntungan materi jika berhasil menang. Tapi masih diragukan apakah bentuk pengorbanan tersebut suatu bentuk yang sejatinya tulus ikhlas. 

Yang jelas ada sense of belonging yang dimiliki petinju tersebut terhadap profesinya. Ia rela berjibaku mati-matian hingga babak-belur dan bercucur darah karena merasa itulah profesinya dan adalah tanggung jawabnya untuk bertarung habis-habisan di atas ring.

Dengan analogi tersebut barangkali kita dapat memahami makna ayat 111 dari Surah At-Taubah di atas yakni "transaksi antara Allah dan orang Mukmin" sebagai sebuah kata kunci mengapa kita harus berkorban demi agama yang kita yakini. Masalah pengorbanan dalam konteks tersebut bukan masalah mau atau tidak mau namun pertanda bukti keimanan dan suatu kemutlakan eksistensi seorang Muslim.

"Seorang Muslim dapat didefinisikan dengan kepatuhan kepada Tauhid, dengan pengakuannya akan keesaan dan transendensi Allah sebagai prinsip tertinggi dari seluruh ciptaan, semua wujud dan kehidupan dari seluruh agama," tulis Ismail Razi Al-Faruqi, seorang cendekiawan Muslim internasional, dalam bukunya yang berjudul Tauhid. 

"Mematuhi Tuhan yakni merealisasikan perintah-perintah-Nya, dan mengaktualisasikan pola-Nya berarti memperoleh falah atau keberhasilan. Tidak berbuat demikian yakni tidak mematuhi-Nya berarti mengundang hukuman, penderitaan, dan kesengsaraan akibat kegagalan. Setiap pembacaan surah-surah Al Qur'an yang diwahyukan di Mekah akan mengukuhkan pengalaman tentang hubungan antara Tuhan dan manusia yang bersifat perjanjian timbal balik. Ia juga merupakan pemahaman dari semua nabi sebelumnya beserta para pengikut mereka. Jiwa perjanjian yang sama menjadi landasan agama dan moral bagi bangsa-bangsa kuno. Ini jelas terlihat dari Enuma Elish dari Mesopotamia dengan kode hukum Lippit Ihtar dan Hammurabi," demikian uraian sang guru besar universitas di Amerika Serikat yang syahid dibunuh Mossad (dinas rahasia Israel) di era 1980-an karena aktif menyerukan perjuangan kemerdekaan Palestina di dunia internasional.

Inti pengorbanan adalah komitmen terhadap Tauhid, mengesakan Allah sebagai satu-satunya Rabb (zat dominan, sembahan, causa prima atau pengatur). 

Nabi Ibrahim Alaihissalam mengajarkan kepada kita makna tauhid yang sebenarnya dengan sebaris doanya yang diabadikan dalam Al-Qur'an:"Sesungguhnya sholatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaaan Allah rabbul 'alamin. Tidak ada syarikat bagi-Nya dan aku diperintah untuk itu, serta aku termasuk orang yang pertama berserah diri." (Surah Al An'am, 6:162-163).

Dalam Al-Qur'an, Nabi Ibrahim digambarkan sebagai orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sehingga perintah apa pun ia lakukan kendati bertentangan dengan pikiran dan perasaannya. 

Ketika Ismail lahir, anak pertama yang ditunggu Ibrahim sekian lama, datang wahyu dari Allah agar Ibrahim menempatkan Siti Hajar dan anaknya yang masih bayi merah tersebut di sebuah lembah gersang di gurun pasir. 

Tatkala Ibrahim meninggalkan mereka dengan bekal sebuah ghirbah (semacam wadah air yang terbuat dari kulit binatang), Siti Hajar bertanya,"Mau kemana engkau, Ibrahim? Engkau tinggalkan kami di lembah yang tiada siapapun dan apapun?"

Ibrahim tidak menjawab.

"Kepada siapa engkau titipkan kami di sini?" tanya Siti Hajar lagi.

"Kepada Allah," jawab Ibrahim pendek.

"Kalau begitu aku rela karena Allah," ujar Siti Hajar mantap penuh keimanan.

Ucapan Siti Hajar tersebut senada dengan pernyataan seorang sahabat Rasulullah SAW, Sa'ad bin Mu'adz, ketika diminta pandangannya mengenai keberangkatan kaum kafir Quraisy dari Mekah menjelang Perang Badar. 

Rasulullah saat itu meminta pendapat para sahabat apakah hendak menghadang pasukan itu di luar kota Madinah atau tidak. 

Dengan penuh keyakinan, Sa'ad berkata,"Kami telah beriman kepada Anda (Rasulullah SAW) dan kami pun telah membenarkan kenabian dan kerasulan Anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang Anda bawa adalah benar. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk senantiasa taat dan setia kepada Anda. Jalankanlah apa yang Anda kehendaki, kami tetap bersama Anda. Demi Allah, seandainya Anda menghadapi lautan dan Anda terjun ke dalamnya, kami pasti akan terjun bersama Anda."

Dalam salah satu kutipan Siroh Nabawiyah yang disusun oleh Dr. M. Sa'id Ramadhan Al Buthy tersebut sungguh tergambar suatu keyakinan kokoh atas landasan iman sejati, dan bukan berdasarkan fanatisme buta atas kharisma seorang tokoh(terlepas dari apakah kharisma itu pancaran murni atau hasil rekayasa pencitraan).

Pengorbanan merupakan indikator keimanan seorang Muslim. 

Pengorbanan dalam beragam bentuknya adalah prasyarat apakah seorang Muslim dapat digolongkan sebagai Muslim sejati atau tidak. Itulah sunnatullah atau hukum besi semesta yang lazim berlaku sejak orang-orang terdahulu. 

"Alif Laam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan,"Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS Al Ankabut, 29:1-3).

Sebagai agama atau ad-dien yang kaffah (sempurna dan utuh), Islam tidak hanya mensyaratkan ummatnya berkorban untuk urusan ritual (ibadah mahdoh) saja.

"Perumpamaan kaum mukminin dalam hal jalinanan kasih sayang, kecintaan dan kesetiakawanan adalah sama seperti satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit maka seluruh anggotanya menunjukkan simpati dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah riwayat lain yang dikisahkan oleh Doktor Jalaluddin Rahmat (Islam Alternatif, 1991) dikisahkan pertemuan antara dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di dekat Kabah pada musim haji. Salah satu malaikat bertanya,"Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?"

"Sekian ratus ribu," jawab malaikat yang lain.

"Berapa orang yang hajinya mabrur (diterima Allah) di antara mereka?"

"Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri."

Lalu diceritakan bahwa ketika si fulan itu sudah siap berangkat haji dengan perbekalan secukupnya tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa anak yatim yang amat membutuhkan. 

Alhasil, dia serahkan seluruh bekalnya kepada janda dan anak-anak yatim itu sehingga ia terpaksa mengurungkan niatnya berhaji. Namun justru karena pengorbanannya itulah Allah menerima ibadah hajinya meskipun ia baru berniat.

Atau seperti teladan Rasulullah SAW ketika beliau hendak dijamu oleh Aus bin Khaulah dengan susu dan madu selepas perjalanan jauh yang melelahkan. 

Rasulullah menolaknya seraya berkata,"Aku tidak mengatakan bahwa ini haram tetapi aku tidak ingin pada hari kiamat nanti Allah bertanya padaku tentang hidup berlebihan di dunia ini." (Hadis Riwayat Ahmad bin Hambal).

Ramadhan mengajarkan itu semua kepada kita. 

Ketika puasa atau shaum tidak hanya sekadar menahan haus dan lapar tetapi juga menahan nafsu duniawi untuk menumpuk harta dan menumbuhkan jiwa berbagi kepada kita, terbentuklah pribadi-pribadi yang rela berkorban, hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. 

Dalam Ramadhan tidak hanya ada pranata sholat tarawih yang memberikan kita kesempatan berasyik-masyuk sendiri dengan Allah dan berjamaah namun juga ada pranata zakat fitrah dan zakat maal (harta) yang "memaksa" kita beramal saleh sehingga kita saleh ritual dan juga saleh sosial.

Jika tidak, alamat bencana akan bertubi-tubi menimpa kita sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW,"Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat dan musuh yang mengancam." (Hadis Riwayat Ad-Dailami).

Dalam hitungan puluhan hari jelang Ramadhan, mari kita pancangkan niat: Semoga kita menjadi pemelajar yang baik di bulan berkah tersebut, dan lulus dari madrasahnya dengan baik agar "terlahir kembali seperti bayi yang suci dari kandungan ibunya".

Jakarta, jelang Ramadhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun