Pengorbanan merupakan indikator keimanan seorang Muslim.Â
Pengorbanan dalam beragam bentuknya adalah prasyarat apakah seorang Muslim dapat digolongkan sebagai Muslim sejati atau tidak. Itulah sunnatullah atau hukum besi semesta yang lazim berlaku sejak orang-orang terdahulu.Â
"Alif Laam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan,"Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS Al Ankabut, 29:1-3).
Sebagai agama atau ad-dien yang kaffah (sempurna dan utuh), Islam tidak hanya mensyaratkan ummatnya berkorban untuk urusan ritual (ibadah mahdoh) saja.
"Perumpamaan kaum mukminin dalam hal jalinanan kasih sayang, kecintaan dan kesetiakawanan adalah sama seperti satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit maka seluruh anggotanya menunjukkan simpati dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah riwayat lain yang dikisahkan oleh Doktor Jalaluddin Rahmat (Islam Alternatif, 1991) dikisahkan pertemuan antara dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di dekat Kabah pada musim haji. Salah satu malaikat bertanya,"Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?"
"Sekian ratus ribu," jawab malaikat yang lain.
"Berapa orang yang hajinya mabrur (diterima Allah) di antara mereka?"
"Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri."
Lalu diceritakan bahwa ketika si fulan itu sudah siap berangkat haji dengan perbekalan secukupnya tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa anak yatim yang amat membutuhkan.Â
Alhasil, dia serahkan seluruh bekalnya kepada janda dan anak-anak yatim itu sehingga ia terpaksa mengurungkan niatnya berhaji. Namun justru karena pengorbanannya itulah Allah menerima ibadah hajinya meskipun ia baru berniat.