Pantas sejak tadi aku tidak menemukan mutiara itu, Pangeran Tori membatin.
Ia pun bersemangat mencari.
Dengan sabar, ia ambil setiap batu dan diamatinya. Terus demikian. Ia berusaha menahan diri untuk tidak memaki sedikit pun. Sungguh berat.
Namun ia harus melakukannya. Kata Ayah, mutiara itu akan menjadi miliknya jika ia berhasil menemukannya.
Sejam lagi berlalu. Mutiara itu pun belum ditemukan. Pangeran Tori tidak mengumpat-umpat lagi. Ah, rasanya enak juga, ia membatin.
Tapi karena mutiaranya belum ketemu juga, Pangeran Tori pun naik ke tepi sungai.
"Maaf, Ayah. Aku gagal menemukan mutiara itu," ujar Pangeran Tori.
"Tidak, Nak, kamu sudah berhasil menemukannya. Ayah belum pernah melihat kamu sabar untuk tidak mengumpat selama beberapa menit saja. Sekarang kamu bisa," ujar Raja Tito seraya menepuk bahu putera semata wayangnya itu.
"Betul, Pangeran. Mutiara itu adalah kesabaran. Ia hanya dimiliki orang-orang yang sabar. Ia tidak perlu dicari di dasar laut yang dalam atau di aliran sungai yang deras. Ia ada di dalam hati kita," Penasihat Pinto berpetuah.
Pangeran Tori menunduk malu. Betapa ia selama ini selalu menyakiti hati orang dengan makian-makiannya!
"Sebagai bonus, kamu juga berhak mendapatkan mutiara yang asli," kata Raja Tito sambil mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna keemasan kepada puteranya.