Namun Rasulullah justru mencegahnya, dan justru mendoakan agar warga Thaif dan anak keturunannya diberikan hidayah dan beriman memeluk Islam. Dan itu memang terbukti di belakangan hari saat seluruh semenanjung Arab akhirnya memeluk agama Islam.
Tapi patut dilihat juga konteks peristiwa dan hadis tersebut. Siapa yang berdoa dan seperti apakah kualitas keimanannya hingga Rasulullah berdoa selapang hati dan seadiluhung itu yang melebihi para nabi sebelumnya.
Dan qiyas itu tidaklah berbicara spesifik tentang mendoakan penguasa zalim agar dapat hidayah.
Relasi Bani Thaif dan Rasulullah saat itu bukanlah dalam konteks hubungan penguasa dan rakyat yang dipimpin. Alhasil, qiyas tersebut pun tidak dapat dijadikan sandaran atau legitimasi dalil mendoakan pemimpin zalim dapat hidayah.
Dalil yang valid dan sahih yang berbicara tentang kezaliman justru hadis tentang menolong orang zalim.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, "Tolonglah saudaramu, baik yang zalim maupun yang dizalimi."
Ketika itu para sahabat yang menyimaknya lantas bertanya, "Bagaimana cara menolong orang yang zalim, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Engkau mencegah dia dari berbuat zalim. Maka sesungguhnya engkau telah menolongnya."
Jadi, jika qiyas atau analogi "saudara" juga mencakup "pemimpin" secara lebih luas, maka pemimpin yang zalim justru harus dicegah berbuat zalim, alih-alih didoakan agar dapat hidayah.
Dicegah itu dapat dengan cara diteriaki beramai-ramai atau ditumbangkan, jika sudah kelewatan.
Bukan justru dimaklumi apalagi dimaafkan. Karena jika demikian, jatuhnya malah jadi syaithanun akhrosy (setan bisu), bagi orang yang mendiamkan atau menoleransi kezaliman.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!