Sepanjang pengetahuan saya sebagai anak madrasah dan mantan santri kota (yang pernah mengenyam pendidikan Ma'had dalam bidang agama Islam) selain berkuliah di universitas umum, tidak pernah ditemui ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi Muhamad Shallalahu 'Alaihi Wasallam (SAW) yang memerintahkan untuk mendoakan pemimpin yang zalim agar mendapat hidayah.
Memang ada segelintir kalangan salafi yang menganut paham jabbariyan (apatisme) bahwa mematuhi 'ulil amri (pemerintah atau penguasa) adalah kewajiban mutlak tanpa syarat.
Bahkan, "meskipun sang penguasa tersebut memukul punggung kalian", demikian disebutkan oleh sebagian ulama mereka. Hingga berdemonstrasi (munashoroh) pun mereka masukkan dalam kategori makar dan disebut pengkhianat (bughot).
Inilah yang kemudian menjadi dalil legitimasi keagamaan bagi banyak rezim penguasa di negara-negara Arab atau Timur Tengah untuk melanggengkan kekuasaan despotik mereka.
Sehingga cap bughot pun tidak ayal dilabelkan dan ditudingkan pada kalangan oposan dan para demonstran dalam demonstrasi massal Arab Springs (Musim Semi Arab) yang menumbangkan sebagian dari deretan rezim otoritarian tersebut.
Inilah pula fenomena menyedihkan yang disitir oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam ungkapannya "Al-Islaamu mahjuubun bil muslimiin".Â
(Cahaya) Islam tertutup oleh (perilaku) kaum Muslim, demikian makna ucapan sang tokoh pembaharu pemikiran Islam di era 1930-an tersebut.
Api Islam, sebagaimana diistilahkan oleh Bung Karno, kerap kali tertutup atau terpadamkan oleh pemikiran atau perilaku umat Islam atau kaum Muslim yang tidak mempraktikkan agamanya sesuai nash keagamaannya.
Sendi utama Islam adalah keadilan sosial. Lawan keadilan adalah kezaliman. Alhasil, kezaliman dalam bentuk apa pun, dan para pelakunya adalah bagian yang harus dilawan, bukan sekadar dimaklumi apalagi ditoleransi.
Dalam beberapa hal, tampaknya perihal "mendoakan pemimpin zalim dapat hidayah" itu diqiyaskan atau dianalogikan dengan doa Rasulullah saat dihujani batu oleh warga Kota Thaif dalam suatu kunjungan dakwah beliau ke kota tersebut.
Padahal ketika itu Malaikat Jibril sudah menawarkan diri kepada Rasulullah untuk memusnahkan Bani Thaif dengan siap melemparkan gunung Thaif ke atas kaum zalim tersebut.