Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Harus Mendoakan Pemimpin Zalim Dapat Hidayah?

12 Januari 2021   07:07 Diperbarui: 12 Januari 2021   07:57 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muslim yang berdoa/Foto: pixabay.com

Sering sekali ditemui, entah di media sosial atau grup perpesanan (messaging group) seperti Whatsapp (WA), Telegram atau Line, pelbagai seruan untuk mendoakan para pemimpin negeri agar mendapat hidayah.

Dalilnya? Itu ajaran agama, katanya.

Okelah, jika mereka para pemimpin yang adil dan welas asih kepada rakyatnya.

Bagaimana jika pemimpinnya tergolong atau dapat dikategorikan pemimpin zalim? Mengapa harus didoakan agar mendapat hidayah?

Di sinilah hikmah mengapa ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah ayat yang berbicara tentang membaca (Iqro'). Karena membaca, dalam pengertian luas, juga mengajak kita berpikir kritis dengan pemahaman penuh, termasuk untuk menyikapi seruan kosong dan tidak berdalil tersebut.

Mari kita sigi dan teroka secara saksama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "zalim" diartikan sebagai "bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam".

Sementara, hidayah, juga menurut versi KBBI, adalah "petunjuk atau bimbingan dari Tuhan".

Jika seruan itu dimaksudkan dalam konteks sosial kemanusiaan, terlepas dari apa pun motifnya, tentulah dapat dimaklumi.

Namun jika dikait-kaitkan dengan dalil keagamaan, tentu beda soal. Persoalannya beda lagi, ranahnya pun berbeda.

Sepanjang pengetahuan saya sebagai anak madrasah dan mantan santri kota (yang pernah mengenyam pendidikan Ma'had dalam bidang agama Islam) selain berkuliah di universitas umum, tidak pernah ditemui ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi Muhamad Shallalahu 'Alaihi Wasallam (SAW) yang memerintahkan untuk mendoakan pemimpin yang zalim agar mendapat hidayah.

Memang ada segelintir kalangan salafi yang menganut paham jabbariyan (apatisme) bahwa mematuhi 'ulil amri (pemerintah atau penguasa) adalah kewajiban mutlak tanpa syarat.

Bahkan, "meskipun sang penguasa tersebut memukul punggung kalian", demikian disebutkan oleh sebagian ulama mereka. Hingga berdemonstrasi (munashoroh) pun mereka masukkan dalam kategori makar dan disebut pengkhianat (bughot).

Inilah yang kemudian menjadi dalil legitimasi keagamaan bagi banyak rezim penguasa di negara-negara Arab atau Timur Tengah untuk melanggengkan kekuasaan despotik mereka.

Sehingga cap bughot pun tidak ayal dilabelkan dan ditudingkan pada kalangan oposan dan para demonstran dalam demonstrasi massal Arab Springs (Musim Semi Arab) yang menumbangkan sebagian dari deretan rezim otoritarian tersebut.

Inilah pula fenomena menyedihkan yang disitir oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam ungkapannya "Al-Islaamu mahjuubun bil muslimiin". 

(Cahaya) Islam tertutup oleh (perilaku) kaum Muslim, demikian makna ucapan sang tokoh pembaharu pemikiran Islam di era 1930-an tersebut.

Api Islam, sebagaimana diistilahkan oleh Bung Karno, kerap kali tertutup atau terpadamkan oleh pemikiran atau perilaku umat Islam atau kaum Muslim yang tidak mempraktikkan agamanya sesuai nash keagamaannya.

Sendi utama Islam adalah keadilan sosial. Lawan keadilan adalah kezaliman. Alhasil, kezaliman dalam bentuk apa pun, dan para pelakunya adalah bagian yang harus dilawan, bukan sekadar dimaklumi apalagi ditoleransi.

Dalam beberapa hal, tampaknya perihal "mendoakan pemimpin zalim dapat hidayah" itu diqiyaskan atau dianalogikan dengan doa Rasulullah saat dihujani batu oleh warga Kota Thaif dalam suatu kunjungan dakwah beliau ke kota tersebut.

Padahal ketika itu Malaikat Jibril sudah menawarkan diri kepada Rasulullah untuk memusnahkan Bani Thaif dengan siap melemparkan gunung Thaif ke atas kaum zalim tersebut.

Namun Rasulullah justru mencegahnya, dan justru mendoakan agar warga Thaif dan anak keturunannya diberikan hidayah dan beriman memeluk Islam. Dan itu memang terbukti di belakangan hari saat seluruh semenanjung Arab akhirnya memeluk agama Islam.

Tapi patut dilihat juga konteks peristiwa dan hadis tersebut. Siapa yang berdoa dan seperti apakah kualitas keimanannya hingga Rasulullah berdoa selapang hati dan seadiluhung itu yang melebihi para nabi sebelumnya.

Dan qiyas itu tidaklah berbicara spesifik tentang mendoakan penguasa zalim agar dapat hidayah.

Relasi Bani Thaif dan Rasulullah saat itu bukanlah dalam konteks hubungan penguasa dan rakyat yang dipimpin. Alhasil, qiyas tersebut pun tidak dapat dijadikan sandaran atau legitimasi dalil mendoakan pemimpin zalim dapat hidayah.

Dalil yang valid dan sahih yang berbicara tentang kezaliman justru hadis tentang menolong orang zalim.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, "Tolonglah saudaramu, baik yang zalim maupun yang dizalimi."

Ketika itu para sahabat yang menyimaknya lantas bertanya, "Bagaimana cara menolong orang yang zalim, wahai Rasulullah?"

Beliau menjawab, "Engkau mencegah dia dari berbuat zalim. Maka sesungguhnya engkau telah menolongnya."

Jadi, jika qiyas atau analogi "saudara" juga mencakup "pemimpin" secara lebih luas, maka pemimpin yang zalim justru harus dicegah berbuat zalim, alih-alih didoakan agar dapat hidayah.

Dicegah itu dapat dengan cara diteriaki beramai-ramai atau ditumbangkan, jika sudah kelewatan.

Bukan justru dimaklumi apalagi dimaafkan. Karena jika demikian, jatuhnya malah jadi syaithanun akhrosy (setan bisu), bagi orang yang mendiamkan atau menoleransi kezaliman.

Hal itu juga diisyaratkan dalam hadis Rasulullah SAW yang lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.

"Aku (Abu Sa'id Al Khudri) pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan kedua tangannya. Jika tidak mampu melakukannya, maka hendaknya dengan lisannya. Jika tidak mampu lagi, maka hendaknya (mencegah kemungkaran) dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."

Dalam kitab Ar-Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, "Yang tidak menyuarakan kebenaran adalah setan bisu."

Ungkapan tersebut bukan ayat Al-Qur'an atau hadis, tetapi dikutip oleh banyak ulama dalam fatwa dan kitab-kitab mereka. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitab Majmu' Fatawa. Ibnu al-Qayyim juga menukilnya dalam beberapa kitab karangannya.

Syahdan, setan bisu atawa setan gagu itu bahkan lebih berbahaya daripada urban legend setan budeg (tuli) yang umumnya diketahui masyarakat yang bermukim di sekitaran rel kereta api Jabodetabek.

Sebetulnya lebih berbahaya lagi jika setan gagu dan setan budeg berkoalisi dengan setan bego atau setan goblok.

Dan senantiasa belajar serta berpikir kritis dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah dalam menyerap dan mencerap fenomena dan apa pun situasi kondisi yang ada di sekitar kita adalah bagian dari ikhtiar kita agar tidak terjebak jeratan syahwat trio setan tersebut, dan juga garda iblis beserta antek-anteknya, hingga akhirnya kita dapat selamat di dunia dan akhirat.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Jagakarsa, 12 Januari 2021

Baca Juga: 

[Cerita Rakyat] Tiga Jurus Hikmah dari Si Pitung  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun