Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Cerita Rakyat] Tiga Jurus Hikmah dari Si Pitung

10 Januari 2021   22:51 Diperbarui: 10 Januari 2021   23:00 5226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Si Pitung yang menjadi Museum Si Pitung di Marunda, Jakut/Foto: historia.id

Folklor atau cerita rakyat Betawi tentang Si Pitung sudah sedemikian populernya dikenal masyarakat luas. Hingga dituliskan dalam sebuah novel berjudul Si Pitung pada era 70-an dan juga diangkat ke layar lebar sejak 1930-an. 

Untuk film versi modern pasca-kemerdekaan Indonesia, ada beberapa film bertema tentang perjuangan Si Pitung yang dibintangi oleh Dicky Zulkarnaen (suami aktris senior Mieke Wijaya dan ayah dari aktris Nia Zulkarnaen) dalam kurun waktu 70-80an yang antara lain berjudul Si Pitung, Si Pitung Banteng Betawi, dan Titisan Si Pitung.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), folklor atau cerita rakyat didefinisikan sebagai "(1) adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan; (2) ilmu adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan".

Sementara berdasarkan Oxford Dictionary, folklore (yang diserap menjadi "folklor" oleh bahasa Indonesia) bermakna "traditions and stories of a country or community".

Folklor adalah tradisi dan cerita sebuah negara atau masyarakat atau komunitas, demikian terjemahannya.

Dan sebagai bagian dari komunitas Betawi Jakarta, dari garis silsilah ayah dan ibu, saya mengenal folklor atau cerita rakyat Betawi tentang Si Pitung sejak kecil dari penuturan lisan orang tua dan kisahan tradisional masyarakat Betawi lewat pantun atau pertunjukan Lenong. Tradisi tuturan kepahlawanan itu telah berlangsung dari generasi ke generasi.

Terlepas dari kontroversi apakah Si Pitung itu jawara (pendekar; jagoan) versi masyarakat Betawi atau parewa (penjahat; perusuh) versi catatan Belanda, Si Pitung yang dijuluki Robin Hood van Batavia telah menjadi memori kolektif masyarakat Betawi tentang sosok kepahlawanan heroik melawan kolonialisme Belanda.

Rumah Si Pitung yang menjadi Museum Si Pitung di Marunda, Jakut/Foto: historia.id
Rumah Si Pitung yang menjadi Museum Si Pitung di Marunda, Jakut/Foto: historia.id

Rumah Si Pitung, di Marunda, Jakarta Utara, pun dipugar menjadi cagar budaya Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang dikelola oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. 

Termasuk juga sebuah masjid kampung yang bernama Masjid Alam di dekat rumah Si Pitung yang kabarnya menjadi tempat konsolidasi spiritual dan strategi Si Pitung dalam melawan Kompeni Belanda.

Sayangnya upaya pengajuan Si Pitung sebagai pahlawan nasional selalu kandas dikarenakan kurangnya dokumentasi sejarah tertulis tentang sosok Si Pitung.

Hikayat Si Pitung

Si Pitung, yang bernama asli Salihoen, adalah putera Betawi kelahiran Kampung Pengumben, Rawa Belong, Jakarta Barat, di abad 19 (pada sekitar 1864). Ia adalah anak keempat atau anak bungsu dari pasangan Bang Piun dan Mbak Pinah.

Sebagaimana galibnya anak Betawi di zaman itu, Salihoen belajar mengaji dan maen pukulan (baca: pencak silat) di sebuah pesantren pimpinan Haji Naipin, seorang tokoh agama dan pendekar terkemuka di Rawa Belong.

Awal kisah Salihoen bertransformasi menjadi Si Pitung terjadi ketika uang penjualan kambing yang dijual Salihoen dibegal para rampok. Ayahnya, Bang Piun, yang marah mengetahui uang penjualan kambingnya amblas, segera memerintahkan si bontot merebut kembali uang tersebut.

Bersama-sama teman-teman pesantrennya, Salihoen mencari para perampok tersebut dan bertarung merebut kembali uangnya.

Singkat cerita, Salihoen berhasil mendapatkan kembali uangnya. Selanjutnya Salihoen, setelah mengalahkan para begal itu, justru diangkat menjadi pemimpin mereka dan mengubah namanya menjadi Si Pitung.

Dalam versi lain, nama Pitung, alih-alih merujuk pada nama seseorang, tetapi mengacu pada akronim nama gerakan Pituan Pitulung, yang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya "tujuh sekawan yang saling tolong menolong".

Gerakan perlawanan terhadap Kompeni Belanda itu digerakkan oleh tujuh santri alumni pesantren binaan Haji Naipin di Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta. Hal ini berdasarkan kitab Al-Fatawi karya Datuk Meong Tuntu (1910) yang mengisahkan silsilah para pejuang Jayakarta termasuk Gerakan Pituan Pitulung.

Dalam versi pertama, Si Pitung mengubah kelompok begal yang dipimpinnya menyasar para tuan tanah kaya dan kalangan Belanda yang sering menindas dan mengintimidasi kalangan petani dan buruh di Batavia, terutama di kawasan Ommelanden (sekarang Jabodetabek) atau kawasan di luar tembok Kota Batavia.

Mereka merampok kedua kelompok berkuasa tersebut dan membagi-bagikan harta rampokannya kepada fakir miskin dan dhuafa yang tertindas. Persis sebagaimana yang dilakukan kelompok Robin Hood dari hutan Sherwood, Britania Raya.

Alhasil, Si Pitung menjadi target buruan dan pengejaran pihak kepolisian Batavia yang dipimpin oleh A.M.V Heine, seorang komisaris polisi Karesidenan Batavia.

Di akhir cerita, karena dikhianati sahabatnya, Si Pitung yang dikabarkan memiliki ilmu kebal kehilangan kesaktiannya dan gugur ditembus peluru khusus Kompeni Belanda berupa pelor mas (peluru emas) yang dibuat khusus untuk membunuh Si Pitung.

Dan, konon untuk mencegah Si Pitung hidup kembali berkat ajian Rawarontek yang dimilikinya, Kompeni Belanda memutilasi jenazah Si Pitung menjadi beberapa bagian dan menguburkannya secara terpisah di beberapa tempat, antara lain di Marunda, Kebon Jeruk, dan Jatijajar (Tapos, Jawa Barat).

Tiga jurus hikmah

Apa pun kontroversi seputar Si Pitung, apakah mengacu pada orang perseorangan (natural person) maupun pergerakan (movement) atau kelompok (association), sekurang-kurangnya ada tiga jurus hikmah kehidupan yang dapat kita pelajari dari cerita rakyat Si Pitung.

KBBI mendefinisikan "hikmah" sebagai "(1) kebijaksanaan (dari Allah SWT); (2) sakti; kesaktian; (3) arti atau makna yang dalam; makna yang terkandung di balik suatu peristiwa; manfaat".

Dalam pengertian yang ketigalah kita akan mencerap (mengambil intisari dari suatu kejadian dan sebagainya) pelajaran kehidupan dari folklor legendaris tersebut.

Jurus pertama: Bersatu kita teguh; bercerai kita runtuh. Sebut saja jurus pertama ini jurus persatuan. Nasihat klasik nan lawas yang menjadi hukum besi kehidupan, tidak lekang dimakan zaman atau waktu.

Si Pitung, baik ia sendirian maupun berupa pergerakan, sejatinya karena bersatu maka mereka teguh dan keberadaannya ditakuti.

Dengan organisasi begal yang direorientasikan kembali atau dengan Gerakan Pituan Pitulung, kekuatan para jawara silat Betawi tersebut terkonsolidasi dan melebur. Ditambah lagi dengan kesatuan visi dan misi untuk membela kaum lemah, yakni petani dan buruh, di Batavia dari penindasan kaum tuan tanah dan Kompeni Belanda.

Di sisi lain, di akhir hayatnya, mereka terkalahkan karena tercerai berai. Kelompok Si Pitung yang tidak lagi solid, karena pengkhianatan salah seorang anggota kelompoknya, akhirnya hancur lebur. Si Pitung ditembak mati,  demikian juga beberapa kawan seperjuangannya.

Ada beragam versi kisah pengkhianatan terhadap Si Pitung yang beredar di masyarakat. 

Ada yang mengisahkan Haji Naipin, sang guru Si Pitung, yang sudah berusia lanjut, disiksa dan dipaksa Kompeni Belanda untuk membocorkan posisi kelompok Si Pitung dan rahasia ilmu kebal Si Pitung.

Versi lain mengatakan Ji'ih, salah seorang sahabat terdekat Si Pitung, yang mengungkapkan rahasia jimat kekebalan Si Pitung dengan imbalan uang emas. Dalam versi yang lain lagi, disebutkan Somad, rekan Si Pitung, yang mencukur rambut Si Pitung yang konon merupakan letak kesaktian sang pendekar.

Apa pun versi kisah dan metode pengkhianatannya, ada pepatah Betawi yang pas untuk menggambarkannya, yakni "ibarat nulungin anjing kejepit, ditulungin malah ngegigit".

Jurus kedua: Konsistensi perjuangan akan membuahkan hasil. Inilah jurus kedua, jurus konsistensi.

Konsistensi, atau keistikamahan, ibarat tetesan air yang bertahun-tahun tiada henti jatuh ke atas sebuah batu yang pada akhirnya berhasil melubangi batu tersebut. Demikianlah kekuatan konsistensi.

Konon Kelompok Si Pitung melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda selama kurang lebih dua warsa secara terus-menerus dengan intensitas tinggi. Sehingga keberadaan mereka, yang merampoki para tuan tanah kaya dan orang-orang Belanda, dianggap meresahkan Kompeni Belanda. Mereka pun tak ayal menjadi target DPO (Daftar Pencarian Orang) kepolisian Karesidenan Batavia.

Alhasil, pamor Si Pitung sebagai simbol perlawanan penjajah Belanda mencorong di kalangan pribumi dan meraih simpati dan dukungan dari masyarakat pribumi Batavia. Itulah buah yang manis dari sebuah konsistensi.

Jurus ketiga: Perjuangan butuh pengorbanan. Jurus ketiga, yang merupakan jurus pamungkas, adalah jurus pengorbanan.

No pain, no gain, demikian menurut pepatah Bahasa Inggris. Atau jer besuki mawa bea dalam falsafah Jawa. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap langkah perjuangan yang dilakukan.

Si Pitung, demi visi dan misinya untuk membela kaum lemah Batavia yang tertindas oleh Kompeni Belanda dan para tuan tanah kaya yang pro-Kompeni Belanda, rela melepaskan kenikmatan hidup bersenang-senang dan berlimpah harta serta uang.

Kendati, sebagai buronan nomor satu Kompeni Belanda di Batavia saat itu, Si Pitung sudah ditawari limpahan uang dan harta jika saja bersedia menyerah dan menghentikan aksi perlawanannya. 

Dengan kemampuan silat yang mumpuni, sebetulnya jangankan posisi centeng Kompeni, posisi Demang pun, sebagai kaki tangan Kompeni, mudah saja diraih Si Pitung andai ia bersikap kooperatif.

Namun, demikianlah prinsip hidup atau perjuangan yang sejatinya nilainya tidak dapat ditukarkan dengan kenikmatan duniawi, dan memerlukan pengorbanan sebagai syarat sukses perjuangan.

Jagakarsa, 10 Januari 2021

Referensi:

1. Wikipedia.com

2.  Historia.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun