Ibu adalah predikat yang mulia. Sangat mulia. Hingga Kanjeng Nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam (SAW) bersabda,"Al jannatu tahta aqdamil ummahat." Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.
Ketika sang ibu menyabung nyawa melahirkan, Tuhan pun menghargainya sebagai setara jihad di jalan-Nya dengan imbalan surga. Begitu mulianya. Hingga ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad dan bertanya berkali-kali siapa yang harus dihormatinya, sang Nabi tiga kali menjawab,"Ibumu." Barulah pada pertanyaan keempat, beliau mengatakan,"Ayahmu."
Demikian juga ketika lelaki yang lain mengutarakan hasratnya untuk berzina dengan perempuan, Rasulullah pun mengajukan pertanyaan apakah ia juga akan tega melakukan hal nista terhadap ibunya, dan kaum ibunya. Alhasil, teramat mulialah seorang ibu.
Hingga ketika seorang Alqomah melalaikan ibunya yang telah renta karena diasyikkan dengan istrinya yang jelita, nyawanya pun tersangkut di kerongkongan dengan mata mendelik mengerikan. Mati tidak, hidup pun sekarat. Suatu akhir hidup yang ironis mengingat jasa-jasanya dalam berbagai peperangan membela Islam bersama sang Nabi.
Rasulullah tidak kuasa berbuat, karena luka hati ibu Alqomah yang terzalimi adalah tanpa hijab menembus kemakbulan takdir Ilahi.Â
Rasulullah hanya dapat meminta disiapkan tumpukan kayu bakar untuk membakar tubuh Alqomah yang sekarat agar berpulang dengan tenang. Karena hanya itulah penebus dosa kelalaiannya pada sang ibu.
Namun ibu adalah senantiasa seorang ibu.Â
Sang ibu pun memaafkan karena tak rela buah susuannya dibakar hidup-hidup. Ia lupakan luka hatinya yang terabaikan bertahun-tahun demi buah hati yang dikandung selama sembilan bulan dan disusui dua tahun dengan kasih sayang dan tanpa bayaran.Â
Alqomah pun meregang nyawa dengan tenang berkat ridho ibunya.
Malin Kundang adalah Alqomah yang bahkan lebih bejad.
Bertahun-tahun merantau tanpa kabar, ketika pulang dengan predikat saudagar kaya, ia campakkan ibunya yang dianggapnya tak sederajat dengannya.
Berhati-hatilah dengan kutukan seorang ibu yang terlanjur luka hatinya digarami. Laut pun bergejolak dahsyat. Alam meradang hebat. Kapal mewah sang anak durhaka pecah dihantam ombak. Karam.
Si Malin pun membatu, sebatu hatinya saat menolak mengakui sang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkannya.
Kenapa disebut Hari Ibu alih-alih Hari Perempuan?
Demikian pertanyaan yang mengemuka.
Hal yang wajar dan logis jika ada pertanyaan demikian.Â
Karena sejatinya sejarah terlahirnya peringatan Hari Ibu (Mother's Day) di Indonesia berawal dari Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Dengan dihadiri kurang lebih 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera, rapat akbar para pejuang perempuan itu dianggap sebagai titik tolak persatuan perjuangan perempuan Indonesia di tengah masa penjajahan Belanda dan hegemoni patriarkisme.Â
Dan salah satu hasil dari rapat tersebut salah adalah pembentukan Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang masih berdiri hingga saat ini.Â
Kendati, dalam pasang surut perjalanannya, Kowani tidak lagi berperan sebagai wadah tunggal pergerakan perempuan Indonesia.Â
Di era 50-an, Kowani ditinggalkan sejumlah organisasi perjuangan perempuan yang terafiliasi golongan kiri, seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang belakangan populer dan ditumpas Orde Baru selepas peristiwa 30 September 1965 atau G-30 S PKI.
Kowani dianggap kurang agresif dan progresif mengemban misi perjuangan pembangkitan hak-hak perempuan di Indonesia. Demikian tudingan yang terlontar dari kalangan kiri terutama Gerwani yang memang dikenal sangat progresif mendorong agenda perjuangan perempuan Indonesia terutama budaya poligami saat itu.
Pemilihan istilah "Hari Ibu" alih-alih "Hari Perempuan" konon sedikit banyak merupakan indikasi dianggap kurang progresifnya Kowani saat ini. Dengan mengambil istilah "ibu" alih-alih "perempuan", tampaknya Kowani tidak ingin berkonflik terlalu dalamdan frontal dengan budaya patriarki yang masih teramat mengakar kuat di era itu.Â
Alih-alih mengadopsi semangat Women's Lib di dunia Barat yang terkesan lebih radikal dan berkonfrontir dengan kalangan pria patriarkis, Kowani memilih pendekatan kultural khas Indonesia yang lebih membumi, alon-alon asal kelakon.
Alhasil, kata "ibu" dipilih sebagai simbol kompromi. Namun bukan sekadar ibu rumah tangga yang urusannya sekadar dapur, sumur dan kasur, namun ibu yang berdaya dan memberdayakan. Persis sebagaimana tema nasional Hari Ibu 2020 yakni "ibu berdaya, negara maju".
Memuliakan ibu, memuliakan perempuan
Ibu yang berpredikat mulia adalah perempuan. Kaum yang juga dimuliakan Tuhan dan para Nabi dan dijamin kedudukannya yang sama sesuai fitrah Tuhan.Â
Dalam Islam, jika Anda punya dua anak perempuan, ada sebuah privilege di akhirat sana bagi orang tua yang mampu mengasuh dan membesarkan kedua putrinya tersebut dengan baik dan berakhlak. Konon diperlukan perjuangan lebih keras untuk mengasuh dua anak perempuan baik secara sosial atau mental.
Namun, melihat ke belakang, Anda mungkin terhenyak membaca sebuah peraturan resmi yang terpahat di sebuah monumen kota di Fulgham v. State, Alabama, Amerikat Serikat, pada 1871: "Adalah suatu privilege dari nenek moyang bahwa seorang suami yang memukul istrinya dengan tongkat, menjambak rambut, mencekik, meludahi muka atau menendangi serta membebankan benda berat di atas tubuhnya sebagai tanda penghinaan tidak dinyatakan bersalah dalam hukum."
Di belahan bumi lain, perempuan India harus bekerja keras mengumpulkan mahar bagi sang calon suami agar tidak dianggap "sampah hidup" yang membebani keluarga karena terlahir sebagai perempuan.
Di masa Arab jahiliyah, sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di tengah gurun panas.
Di Nusantara, dunia R.A Kartini dan Dewi Sartika pun terbelenggu dalam tiga ruang: dapur, sumur dan kasur.Â
Bahkan ada pepatah Jawa yang menyatakan sebagai segaraning jiwo (belahan jiwa) laki-laki, perempuan harus mengikuti suaminya kemana pun, baik surga atau neraka.Â
Hal itu bernyawa betul dengan syair Sabda Alam yang populer pada 1950-an gubahan Ismail Marzuki,"Sejak dulu wanita dijajah pria....."
Bahkan dalam sebagian kepercayaan di muka bumi, disebutkan Hawa (dalam versi lain, disebut juga "Eva") adalah pangkal terusirnya manusia dari surga.Â
Iblis penggoda yang yang dikisahkan menyamar sebagai ular mula-mula membujuk Hawa untuk memakan buah keabadian (yang dalam literatur Islam disebut sebagai buah "khuldi").Â
Konon Hawa menelan buah itu, namun tersadar saat buah yang ditelan berada di dada. Konon, jadilah buah itu menetap permanen menjadi buah dada.Â
Sementara Adam yang dikisahkan lebih rasional tersadar lebih dahulu, dan berusaha memuntahkan kembali. Terlambat. Buah laknat itu terlanjut tersangkut di kerongkongannya, dan menjadi tanda pembeda antara Adam dan Hawa. Itulah jakun, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai "Adam's apple".
Mitos itulah yang menyuburkan stereotipe perempuan dalam banyak kebudayaan di dunia sebagai sumber bencana, yang lemah dan tak berdaya.Â
Disinyalir asal muasal perilaku selibat (baca: tidak menikah selamanya) merupakan manifestasi keyakinan pada mitos tersebut. Antara lain, karena takut derajat kesucian mereka sebagai laki-laki terkotori dengan menikahi perempuan. Persoalan bagaimana mereka melampiaskan nafsu kodrati kepada lawan jenis yang notabene merupakan fitrah Tuhan yang tidak terelakkan tentu merupakan bab persoalan lain lagi.
Di zaman modern pun sebagian pakar biologi yang pro-patriarkis menganggap tingkat evolusi perempuan berada di bawah laki-laki. Sebuah mitos superioritas gender yang menjustifikasi seseorang untuk menasihati bocak laki-laki yang menangis karena terjatuh dengan ucapan,"Eh, jangan nangis. Kamu kan laki-laki!"
Lebih jauh, bahkan Sigmund Freud, dalam kerangka teori psiko-analisisnya, membedakan lelaki dan perempuan hanya pada satu hal yakni ada tidaknya phallus (lingga, penis) sebagai lambang kemaluan laki-laki.Â
Definisi lelaki adalah makhluk yang memiliki phallus, sementara perempuan adalah makhluk yang "tidak punya apa-apa".
Jadi, menurut Freud, kerap terjadi persaingan dan kecemburuan perempuan terhadap laki-laki atas "apa yang tidak dipunyainya" itu. Kelak, muncul derivat teori Freud tersebut dalam seksologi untuk menjustifikasi kecenderungan perempuan dan laki-laki terhadap perilaku seks fellatio dan cunnilingus.
Namun kegelapan tidaklah abadi. Selalu ada fajar sadik ketika malam kian gelap.Â
Ketika gerakan Women's Lib mengusung emansipasi perempuan pada awal 60-an, dengan puncaknya pada 1978, kalangan aktivis perempuan bergerak menuntut hak-hak kebebasan di segala bidang.Â
Akan tetapi jika air bah terlalu lama dibendung maka bendungan akan jebol juga. Dari ekstrem ditindas pun pendulum perubahan meluncur menuju ekstremitas yang lain.
Wacana pro-choice (pro-aborsi) dan sederet anomali yang menentang hukum besi alam dan fitrah Tuhan bermunculan dengan merujuk pada prinsip Women's Lib bahwa "perempuan berhak sepenuhnya atas tubuhnya dalam melakukan aborsi, hubungan seks dan menampilkan keindahan tubuhnya di depan khalayak".
Padahal Hak Asasi Manusia (HAM) sejati yang diakui pada 10 Desember 1948 di San Francisco, Amerika Serikat (menurut World Book Dictionary), adalah "the rights of all human being to fair treatment and justice and to all basic needs such as food, shelter and education."Â
Hak-hak seluruh umat manusia atas perlakuan yang adil dan keadilan dan atas seluruh kebutuhan dasar seperti makanan, perlindungan dan pendidikan.
Ada hukum besi pergaulan yang banyak dikutip para begawan motivasi mulai dari Napoleon Hill hingga Stephen Covey bahwa kita harus menghargai diri kita dahulu sebelum menghargai orang lain.Â
Seberapa layak kita menghargai diri kita sendiri semelimpah itu pula orang akan menghargai kita. Demikianlah semestinya kita memposisikan perempuan dalam fitrah Tuhan.
Muliakan perempuan, muliakan ibu kita.Â
Jika bunda atau mamakmu masih di sisimu, ambil tangannya dan ciumi mesra dengan ikrar janji takkan lagi kita menyakiti dia punya hati.Â
Jika bunda telah tiada, panjatkan doa untuknya dan perpanjang silaturahim dengan sahabat-sahabatnya.
 Selamat Hari Ibu!
Jakarta, 22 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H