Kowani dianggap kurang agresif dan progresif mengemban misi perjuangan pembangkitan hak-hak perempuan di Indonesia. Demikian tudingan yang terlontar dari kalangan kiri terutama Gerwani yang memang dikenal sangat progresif mendorong agenda perjuangan perempuan Indonesia terutama budaya poligami saat itu.
Pemilihan istilah "Hari Ibu" alih-alih "Hari Perempuan" konon sedikit banyak merupakan indikasi dianggap kurang progresifnya Kowani saat ini. Dengan mengambil istilah "ibu" alih-alih "perempuan", tampaknya Kowani tidak ingin berkonflik terlalu dalamdan frontal dengan budaya patriarki yang masih teramat mengakar kuat di era itu.Â
Alih-alih mengadopsi semangat Women's Lib di dunia Barat yang terkesan lebih radikal dan berkonfrontir dengan kalangan pria patriarkis, Kowani memilih pendekatan kultural khas Indonesia yang lebih membumi, alon-alon asal kelakon.
Alhasil, kata "ibu" dipilih sebagai simbol kompromi. Namun bukan sekadar ibu rumah tangga yang urusannya sekadar dapur, sumur dan kasur, namun ibu yang berdaya dan memberdayakan. Persis sebagaimana tema nasional Hari Ibu 2020 yakni "ibu berdaya, negara maju".
Memuliakan ibu, memuliakan perempuan
Ibu yang berpredikat mulia adalah perempuan. Kaum yang juga dimuliakan Tuhan dan para Nabi dan dijamin kedudukannya yang sama sesuai fitrah Tuhan.Â
Dalam Islam, jika Anda punya dua anak perempuan, ada sebuah privilege di akhirat sana bagi orang tua yang mampu mengasuh dan membesarkan kedua putrinya tersebut dengan baik dan berakhlak. Konon diperlukan perjuangan lebih keras untuk mengasuh dua anak perempuan baik secara sosial atau mental.
Namun, melihat ke belakang, Anda mungkin terhenyak membaca sebuah peraturan resmi yang terpahat di sebuah monumen kota di Fulgham v. State, Alabama, Amerikat Serikat, pada 1871: "Adalah suatu privilege dari nenek moyang bahwa seorang suami yang memukul istrinya dengan tongkat, menjambak rambut, mencekik, meludahi muka atau menendangi serta membebankan benda berat di atas tubuhnya sebagai tanda penghinaan tidak dinyatakan bersalah dalam hukum."
Di belahan bumi lain, perempuan India harus bekerja keras mengumpulkan mahar bagi sang calon suami agar tidak dianggap "sampah hidup" yang membebani keluarga karena terlahir sebagai perempuan.
Di masa Arab jahiliyah, sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di tengah gurun panas.
Di Nusantara, dunia R.A Kartini dan Dewi Sartika pun terbelenggu dalam tiga ruang: dapur, sumur dan kasur.Â