Saya sebetulnya belum terlalu lama memahami betul perbedaan makna "sahabat" dan "teman". Secara teori kognitif, perbedaan semantik tersebut sudah saya kunyah dan mamah sejak SMP. Namun secara maknawiyah atau nilai rasa mungkin baru sekian tahun belakangan.
Terlebih ketika saya memasuki gerbang kehidupan berumah tangga dengan segenap suka dukanya pada 2007, tiga belas tahun silam.
Ketika banyak orang menyangka seseorang yang sudah menikah, dengan asumsi punya istri atau suami sebagai teman hidup juga sahabat hidup, otomatis tak butuh sahabat, sejatinya kebutuhan akan sahabat itu sebenarnya tetap sama. Bahkan bisa jadi lebih besar dari fase kehidupan sebelumnya.
"Tenang, Lam, gue bantu elo deh nanti. Gue utang budi sama elo."
Janji seorang teman zaman kuliah itu masih terdengar nyaring di telinga saya. Kendati telah bertahun-tahun lamanya ia berikrar demikian selepas sebuah jasa yang saya berikan kepadanya. Jasa tanpa pamrih, sebetulnya. Hanya menolong saja, itulah niatan saya saat itu.
Soal janjinya adalah kesalahan saya yang bertahun-tahun kemudian, di waktu saya sulit, menganggapnya sebagai tali penyelamat ketika arus terlalu deras untuk dilawan seorang diri.
"Wah, sorry, Lam, gue baru bayar untuk ikutan seminar profesi. Lain kali deh gue pasti bantu elo!"
Glek. Ia menyebut sekian jumlah nominal yang saat itu lebih daripada yang ingin yang saya pinjam.
Waktu itu saya terjerat utang besar selepas pailitnya bisnis bimbingan belajar (bimbel) saya. Tidak besar, mungkin, untuk ukurannya yang sedang cemerlang kariernya selepas kuliah.
Apalagi, setelah penolakannya tersebut, entah ia sadar atau tidak, setiap kali ia mencapai kesuksesan materi (beli mobil, tanah, cicil rumah dll) ia selalu bercerita dengan bangga kepada saya, dan tak lupa diakhiri dengan repetisi ikrar yang sama.
Saat itu saya masih memandangnya sebagai "sahabat".
Namun ketika kesulitan yang sama selalu saja menimpa saya (hingga saya sempat berpikir untuk minta diruwat atau dirukyah) dan penolakan sang "sahabat" selalu sama, dan ia terhenti sampai di batas itu tanpa ada sodoran alternatif yang lebih empatik maka saya mulai meninjau ulang dan menarik batas baru. Ia kini sekadar "teman" bukan lagi "sahabat".
Dasar filosofis penarikan garis demarkasi tersebut, saat itu, sederhana saja: a friend indeed is a friend in need. Sahabat adalah teman di kala susah.
Dalam perjalanan waktu berikutnya saya mendapati kebenaran adagium tersebut.
Tapi, seiring matangnya usia dalam artian semakin bertumbuhnya uban, tampaknya saya "dipaksa" memberi pengayaan dan pemaknaan yang lebih atas definisi "sahabat" dan "teman".
Para sahabat baru
"Mas, butuh bantuan apa?"
"Aku sudah transfer ya ke rekeningmu..."
"Ini sedekah dari saya..."
Peristiwa banjir bandang Jakarta pada Februari 2007 adalah salah satu titik balik dalam hidup saya.
Menjelang pernikahan, yang saya rencanakan pada April 2007 yang terpaksa diundur hingga akhir 2007, segenap harta benda lenyap termasuk aset biro penerjemahan yang saya kumpulkan dan tabung bertahun-tahun.
Yang menyedihkan, saat itu hanya segelintir sahabat yang datang menengok.
Padahal, bukan soal mereka bawa bantuan atau tidak, tapi kehadiran mereka setidaknya bisa menjadi obat penawar duka lara.
Ketika kepala terasa pecah dengan beban berat, niscaya akan plong dengan bercerita kepada seseorang. Di sisi lain, peristiwa banjir itu juga mengubah cara saya bercermin diri.
Allah menunjukkan, dengan sederet sms di atas, bahwa definisi "sahabat" yang lain yang juga saya pegang bahwa adalah "mereka yang akrab secara fisik atau kerap bertatap muka" adalah tidak cukup untuk menggambarkan keragaman makna persahabatan.
Para pengirim sms tersebut adalah sahabat-sahabat daring (online) di sebuah milis kepenulisan.
Ketika kepala saya penat dan hati remuk dan solusi terbaik adalah bercerita, salah satunya melalui postingan tulisan di milis dan blog, resonansi energi tersebut menggetarkan dawai empati kalbu mereka.
Padahal seorang kawan pernah berujar,"Tak ada yang tahu apakah yang berada di depan komputer saat online itu seekor anjing atau bukan."
Artinya, dibutuhkan rasa kepercayaan yang luar biasa besar dari para sahabat "baru" tersebut untuk mengirimkan bantuan kepada saya ketimbang para sahabat "lama" saya yang entah ada di mana saat itu, yang sebagian bahkan sudah saya kenal bertahun-tahun.
Air mata saya menetes waktu itu.
"You should not judge another person until you have walked two moons in their moccasins." (pepatah Indian kuno)
Sahabat itu ibarat tanaman di pekarangan. Ia harus dirawat dan dipupuk. Jika tidak, ia akan mati meranggas. Selayaknya tanaman, ia juga berbeda-beda jenis. Sehingga berbeda-beda pula perlakuan kita untuk lebih menyuburkannya.
Dalam suatu titik waktu dalam hidup saya, saya pernah merenungi bagaimana saya memperlakukan orang-orang di sekitar saya, keluarga, teman dan sahabat.
Dalam sebuah daftar yang pernah saya buat, saya mendapati dahulu saya adalah orang yang tidak pandai merawat sahabat.
Dulu, sebelum menikah, jangankan mengucapkan tahniah ultah, memenuhi undangan pernikahan mereka kadang saya tidak datang dengan alasan sepele, semisal "tak enak badan" atau 5A (Afwan, Akhi, Ana Ada Acara).
Kelahiran anak, bagi saya yang waktu itu masih melajang, adalah hal biasa, teramat biasa. Orang lahir dan mati, itu sunnatullah, hukum alam biasa.
Maka saya tidak merasa berdosa ketika hanya bisa ucapkan tahniah untuk sang sahabat yang sedang berbahagia itu. Dan saya terkadang bingung ketika mendapati orang yang rungsing hanya karena belum sempat menjenguk tetangganya yang melahirkan. Hey, is it a problem?
Mungkin itu bukan masalah jika kita tak memandangnya sebagai masalah. Tapi, saat kita menganggapnya bukan masalah, sebenarnya itulah masalah sebenarnya.
Saat ada noda hitam di wajah kita saat bercermin bisa jadi masalahnya bukanlah di wajah kita tetapi masalahnya di cermin yang memang bernoda hitam.
"Berjalanlah dengan sepatu orang lain" mengandung makna empati terhadap orang lain.
Pepatah Indian kuno tersebut mengisyaratkan bahwa "perjalanan dua purnama dengan mokasin (sepatu atau alas kaki suku Indian)" pun baru sekadar menempatkan kita pada posisi "memahami".
Apatah lagi, tentu butuh energi lebih, untuk mendorongnya ke arah "membantu".
Di sinilah dimensi waktu turut berperan.
Maka, dalam konteks itulah, dalam sebuah muhasabah atau renungan, saya kian takjub dengan para sahabat baru saya dengan gempuran sedekahnya.
Kami belumlah saling kenal dalam kurun waktu kurang dari setahun. Dalam kesempatan yang sama, saya menjadi semakin malu dengan diri saya sendiri, yang kerap abai dengan orang lain.
Ketika istri saya melahirkan anak pertama kami pada 2008, terasa betul di hati saya bahwa saya dulu tidak adil memperlakukan kerabat atau para sahabat, yang mereka atau para istrinya melahirkan lebih dulu.
Ketika saya sempat sakit parah beberapa tahun setelahnya, nyatalah bahwa keberadaan sahabat itu diperlukan. Ini bukan soal finansial. Tapi soal keberadaan orang-orang yang memberi kita hidup, dalam artian semangat dan keceriaan menjalani kehidupan.
"Laugh, and the world laugh with you. Weep, and you will weep alone."
Tertawalah, maka dunia tertawa bersamamu. Menangislah, dan kamu akan menangis sendirian. Perkataan Ella Wheeler Wincox tersebut mengena betul. Tapi kini, saya bersyukur dapat memandangnya dari sudut yang lebih leluasa.
Ikhlaslah memberi dan berbagi
Ikhlaslah memberi dan berbagi, tak peduli apa pun balasan yang akan diterima (apakah pahit, manis atau masam). Tampaknya itu esensi merawat sahabat.
Toh, Tuhan Maha Tahu akan hamba-Nya. Ia takkan pernah alpa akan, hatta, setitik pun debu di penjuru bumi.
Betul, bahwa sahabat adalah orang yang, terutama, datang di waktu duka.
Betul, bahwa saat duka, cenderung kita hanya akan mendapati diri kita seorang diri. Apalagi jika saat menangis itu, tampang kita menjadi jelek sekali. Tidak enak dilihat.
Tapi hidup ini bukan soal betul atau salah seperti soal ujian di sekolah. Ia adalah kumpulan hikmah, yang terkadang perlu dilihat dari sudut yang lebih kaya dengan kelapangan hati karena sifatnya yang misterius.
Maka saya putuskan untuk berdamai dengan masa lalu, dengan sebuah perspektif baru.
"Lam, gue mau tes TOEFL nih. Bantuin ya!"
Lagi-lagi sang "sahabat" meminta bantuan via sms.
"OK."
Itu saja yang saya ketik.
Ia pun menelpon saya dan berkonsultasi panjang lebar. Hingga sejam lebih. Di tengah malam itu.
Jakarta, 24 November 2020
Baca Juga:
1. Satu
2. dua
3. tiga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H