Yang menyedihkan, saat itu hanya segelintir sahabat yang datang menengok.
Padahal, bukan soal mereka bawa bantuan atau tidak, tapi kehadiran mereka setidaknya bisa menjadi obat penawar duka lara.
Ketika kepala terasa pecah dengan beban berat, niscaya akan plong dengan bercerita kepada seseorang. Di sisi lain, peristiwa banjir itu juga mengubah cara saya bercermin diri.
Allah menunjukkan, dengan sederet sms di atas, bahwa definisi "sahabat" yang lain yang juga saya pegang bahwa adalah "mereka yang akrab secara fisik atau kerap bertatap muka" adalah tidak cukup untuk menggambarkan keragaman makna persahabatan.
Para pengirim sms tersebut adalah sahabat-sahabat daring (online) di sebuah milis kepenulisan.
Ketika kepala saya penat dan hati remuk dan solusi terbaik adalah bercerita, salah satunya melalui postingan tulisan di milis dan blog, resonansi energi tersebut menggetarkan dawai empati kalbu mereka.
Padahal seorang kawan pernah berujar,"Tak ada yang tahu apakah yang berada di depan komputer saat online itu seekor anjing atau bukan."
Artinya, dibutuhkan rasa kepercayaan yang luar biasa besar dari para sahabat "baru" tersebut untuk mengirimkan bantuan kepada saya ketimbang para sahabat "lama" saya yang entah ada di mana saat itu, yang sebagian bahkan sudah saya kenal bertahun-tahun.
Air mata saya menetes waktu itu.
"You should not judge another person until you have walked two moons in their moccasins." (pepatah Indian kuno)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!