Sahabat itu ibarat tanaman di pekarangan. Ia harus dirawat dan dipupuk. Jika tidak, ia akan mati meranggas. Selayaknya tanaman, ia juga berbeda-beda jenis. Sehingga berbeda-beda pula perlakuan kita untuk lebih menyuburkannya.
Dalam suatu titik waktu dalam hidup saya, saya pernah merenungi bagaimana saya memperlakukan orang-orang di sekitar saya, keluarga, teman dan sahabat.
Dalam sebuah daftar yang pernah saya buat, saya mendapati dahulu saya adalah orang yang tidak pandai merawat sahabat.
Dulu, sebelum menikah, jangankan mengucapkan tahniah ultah, memenuhi undangan pernikahan mereka kadang saya tidak datang dengan alasan sepele, semisal "tak enak badan" atau 5A (Afwan, Akhi, Ana Ada Acara).
Kelahiran anak, bagi saya yang waktu itu masih melajang, adalah hal biasa, teramat biasa. Orang lahir dan mati, itu sunnatullah, hukum alam biasa.
Maka saya tidak merasa berdosa ketika hanya bisa ucapkan tahniah untuk sang sahabat yang sedang berbahagia itu. Dan saya terkadang bingung ketika mendapati orang yang rungsing hanya karena belum sempat menjenguk tetangganya yang melahirkan. Hey, is it a problem?
Mungkin itu bukan masalah jika kita tak memandangnya sebagai masalah. Tapi, saat kita menganggapnya bukan masalah, sebenarnya itulah masalah sebenarnya.
Saat ada noda hitam di wajah kita saat bercermin bisa jadi masalahnya bukanlah di wajah kita tetapi masalahnya di cermin yang memang bernoda hitam.
"Berjalanlah dengan sepatu orang lain" mengandung makna empati terhadap orang lain.
Pepatah Indian kuno tersebut mengisyaratkan bahwa "perjalanan dua purnama dengan mokasin (sepatu atau alas kaki suku Indian)" pun baru sekadar menempatkan kita pada posisi "memahami".
Apatah lagi, tentu butuh energi lebih, untuk mendorongnya ke arah "membantu".