Di sinilah dimensi waktu turut berperan.
Maka, dalam konteks itulah, dalam sebuah muhasabah atau renungan, saya kian takjub dengan para sahabat baru saya dengan gempuran sedekahnya.
Kami belumlah saling kenal dalam kurun waktu kurang dari setahun. Dalam kesempatan yang sama, saya menjadi semakin malu dengan diri saya sendiri, yang kerap abai dengan orang lain.
Ketika istri saya melahirkan anak pertama kami pada 2008, terasa betul di hati saya bahwa saya dulu tidak adil memperlakukan kerabat atau para sahabat, yang mereka atau para istrinya melahirkan lebih dulu.
Ketika saya sempat sakit parah beberapa tahun setelahnya, nyatalah bahwa keberadaan sahabat itu diperlukan. Ini bukan soal finansial. Tapi soal keberadaan orang-orang yang memberi kita hidup, dalam artian semangat dan keceriaan menjalani kehidupan.
"Laugh, and the world laugh with you. Weep, and you will weep alone."
Tertawalah, maka dunia tertawa bersamamu. Menangislah, dan kamu akan menangis sendirian. Perkataan Ella Wheeler Wincox tersebut mengena betul. Tapi kini, saya bersyukur dapat memandangnya dari sudut yang lebih leluasa.
Ikhlaslah memberi dan berbagi
Ikhlaslah memberi dan berbagi, tak peduli apa pun balasan yang akan diterima (apakah pahit, manis atau masam). Tampaknya itu esensi merawat sahabat.
Toh, Tuhan Maha Tahu akan hamba-Nya. Ia takkan pernah alpa akan, hatta, setitik pun debu di penjuru bumi.
Betul, bahwa sahabat adalah orang yang, terutama, datang di waktu duka.