Ini kisah empat belas tahun silam. Hampir dua windu yang lalu. Namun senantiasa masih terekam kuat di benak saya sebagai salah satu pembelajaran hidup.
Tahun 2006. Saya saat masih bekerja sebagai penerjemah lepas purnawaktu (full-time freelance translator). Saya saat itu kemaruk mengambil orderan terjemahan karena didesak kebutuhan hidup.Â
Sebagai penerjemah lepas, saya tidak berpayung badan hukum.Â
Klien-klien sebagian besar adalah biro-biro penerjemahan yang mensubkontrakkan pekerjaan kepada saya dengan honor terjemahan saat itu yang berkisar Rp 6.000 sampai Rp 10.000 per halaman hasil. Itu tarif 14 tahun silam yang masih sepersepuluh dari tarif pasaran penerjemah non-penerjemah tersumpah (sworn translator) saat ini.
"Mas, ada kerjaan (terjemahan) Inggris-Indonesia, kontrak bisnis, untuk Selasa bisa nggak?" tanya salah seorang klien. Waktu itu hari Jumat.
"Berapa halaman?'
"Banyak nih, 100 halaman. Sanggup tidak? Atau di-split aja?"
Wah, lumayan nih, pikir saya. "Oke, Mas, sanggup. Saya ambil semuanya."
"Oke, nanti kurir saya antar dokumennya ke rumah. Benar ya, Mas, Selasa. Jangan sampai telat. Kalau tidak, kami kena penalty dari klien."
Saya mengiyakan. Saya lupa mengucapkan Insya Allah saat itu. Yang jelas, ini order kakap. Itu saja yang ada dalam pikiran saya.
Tidak lama kemudian masuk lagi satu orderan dari dokumen berbahasa Inggris untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sekitar 30 halaman spasi rapat, untuk tenggat (deadline) hari Rabu. Saya juga menyanggupinya.Â
Dalam hitung-hitungan saya, 30 halaman spasi rapat itu berarti sekitar 90 halaman hasil. Kalikan saja dengan Rp 7000, hasilnya cukup lumayan untuk seorang bujangan seperti saya saat itu.
Eh, ada lagi order terjemahan ekspres atau kilat 10 halaman untuk keesokan harinya. Ini berarti double rate. Honornya saat itu bisa Rp14.000 sampai Rp20.000 per halaman hasil. Juga saya ambil.
Saat itu saya tidak ada niatan untuk mengoper atau mensubkontrakkan sebagian orderan itu ke penerjemah lain.Â
Yang lebih saya pikirkan banyaknya uang yang bakal didapat sendirian. Sebab jika dibagi dengan penerjemah lain otomatis pendapatan berkurang. Bayang-bayang penghasilan sekitar Rp2,5 juta dalam waktu kurang dari sepekan lebih menggiurkan saat itu.
Alhasil keserakahan menyeret saya dalam perjibakuan dari Jumat sampai Selasa dengan ketiga order terjemahan dengan total halaman hasil sekitar 300 halaman lebih. Padahal kemampuan saya saat itu dalam menerjemahkan dokumen adalah 30 halaman spasi dua dalam sehari. Di atas kerja saja, tenggat bakal tidak terpenuhi. Namun, saya tetap nekat.
Alhasil, ketika tenggat mulai berjatuhan, dimulailah bencana itu. Dua orderan memang terkejar tuntas pada waktunya meski di ujung injury time.Â
Namun justru orderan pertama sebanyak 100 halaman tidak kepegang. Saya gagal menyelesaikannya tepat waktu. Selisihnya pun jauh, masih separuh halaman lagi yang belum rampung dikerjakan.
Saya minta maaf pada pemilik biro tersebut yang habis-habisan memaki saya via telepon.Â
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya gratiskan klien tersebut untuk tidak perlu membayar jumlah halaman yang sudah saya kerjakan.Â
Ini musibah besar, pikir saya.Â
Klien itu termasuk klien yang rajin menyuplai order kepada saya. Hubungan bisnis kami pun sudah terbina dua tahun lamanya. Saya sudah berpikir ia akan memasukkan saya dalam daftar hitam penerjemah, yang artinya saya bakal sepi order.
Memang setelah itu order terjemahan sepi. Dalam dua pekan saya hanya dapat satu order terjemahan dokumen 20 halaman. Anjlok. Biasanya 4 sampai 5 dokumen sepekan.Â
Untungnya saya hobi menulis sehingga dapat mengisi waktu yang lowong dengan menulis.Â
Namun hikmahnya adalah dalam waktu sekitar tiga pekan kosong tanpa order terjemahan saya punya banyak waktu luang untuk menemani ngobrol ayah saya yang pensiunan.
Bekerja di rumah tidak serta-merta menjamin kita bisa dekat dengan keluarga atau orang-orang yang kita sayangi. Terlebih jika Anda tipe orang yang gila kerja (workaholic) dan tidak mempekerjakan orang lain untuk membantu pekerjaan Anda.
Saya juga jadi tahu ada tagihan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang belum dibayar ayah saya.Â
Saya tahu itu setelah melihat gelagat aneh beliau.Â
Ayah, yang pensiunan montir mobil, tampak tercenung di suatu siang sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Setelah saya ajak ngobrol, barulah beliau terbuka tentang besarnya tagihan PBB.
Dalam hitungan ayah, sangatlah riskan untuk menggunakan uang hasil kontrakan rumah hanya untuk membayar uang PBB sebesar Rp2,8 juta setahun. Sementara kebutuhan rumah tangga masih banyak.Â
Saat itu di rumah, selepas wafatnya ibu dan beberapa saudara kandung saya, tinggal empat kepala yang tinggal . Ayah, saya, kakak perempuan dan adik bungsu saya.Â
Namun yang berpenghasilan lumayan barulah saya dan kakak saya yang nomor dua yang sudah berkeluarga. Sementara kakak perempuan saya yang merupakan anak tertua adalah pengajar TK Al-Qur'an yang bergaji pas-pasan. Dan adik saya baru masuk bekerja sebagai kerani administrasi di sebuah bimbingan belajar.
Sementara itu setiap tahun tagihan PBB naik.Â
Alhasil, saya menyanggupi menyumbangkan Rp1,2 juta. Agak nekat, karena saat itu tabungan sedang menipis. Tapi saya pikir biarlah, toh kapan-kapan saya bisa pinjam dari ayah jika ada keperluan mendesak atau kepepet membeli sesuatu.Â
Saya pikir itulah sedekah kepada orang tua. Kakak saya yang nomor dua menyanggupi menambahi Rp500 ribu. Jadi ayah cukup perlu mengeluarkan Rp. 1,1 juta.Â
Jumlah sebesar itu dalam hitungan saya tidak akan mengganggu arus kas (cashflow) bisnis kontrakan rumah petakan yang ayah kelola sejak bertahun-tahun selepas memilih bekerja sebagai montir mobil panggilan.
Ayah awalnya menolak tawaran saya. Namun akhirnya beliau bersedia menerima dan sangat berterima kasih. Beliau mendoakan agar rejeki saya lancar mengalir. Â Saya mengaminkan sepenuh hati.
Selang dua hari kemudian datang kurir dari kantor klien yang saya kira sudah mem-blacklist saya. Ada kerjaan baru yang tenggatnya seminggu. Total honor Rp300 ribu. Rupanya mereka masih memberikan kesempatan kedua kepada saya. Alhamdulillah.
Soal besaran honor, tak apalah, yang penting saya masih mendapat kepercayaan. Itu hal yang mahal dalam bisnis, pikir saya.Â
Lantas berturut-turut masuk order terjemahan lain dari biro-biro rekanan yang lain. Total omzet sepekan itu Rp2 juta lebih.
Dalam renungan saya, inilah berkah dari berbakti pada orang tua (birrul walidain). Juga berkah sedekah, berkah dari upaya berbagi dan memberi.Â
Hingga kini, sepeninggal ayah, saya masih meneruskan kebiasaan bersedekah yang memang selalu dicontohkan beliau dan juga ibu saya.Â
Saya ikuti kebiasaan mereka bersedekah rutin tiap Jumat. Juga menjadi donatur tetap untuk sebuah rumah yatim nasional. Terutama ketika saya menjadi penerjemah purnawaktu (full-time legal translator) pada salah satu kantor konsultan hukum sekaligus membangun bisnis biro terjemahan sendiri.
Dan, alhamdulillah, ada saja rejeki saat kondisi pas-pasan. Terutama di saat pandemi seperti sekarang ini. Ada banyak pintu rejeki terbuka, kadang dari arah yang tak disangka-sangka. Persis seperti janji Allah.
Janji Tuhan itu benar. Bersedekahlah, maka Tuhan jamin rejekimu.
Percaya? Yuk, kita lakukan. Jika sudah, mari dilanggengkan dan diperbanyak nominalnya.
Jakarta, 22 November 2020
Baca Juga:Â
1. hrs-langgar-protokol-covid-19-kenapa-jokowi-diam
2. aneka-cerita-anak-home-schooling
3. saat-entong-sayang-dirisak-orang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H