Tidak lama kemudian masuk lagi satu orderan dari dokumen berbahasa Inggris untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sekitar 30 halaman spasi rapat, untuk tenggat (deadline) hari Rabu. Saya juga menyanggupinya.Â
Dalam hitung-hitungan saya, 30 halaman spasi rapat itu berarti sekitar 90 halaman hasil. Kalikan saja dengan Rp 7000, hasilnya cukup lumayan untuk seorang bujangan seperti saya saat itu.
Eh, ada lagi order terjemahan ekspres atau kilat 10 halaman untuk keesokan harinya. Ini berarti double rate. Honornya saat itu bisa Rp14.000 sampai Rp20.000 per halaman hasil. Juga saya ambil.
Saat itu saya tidak ada niatan untuk mengoper atau mensubkontrakkan sebagian orderan itu ke penerjemah lain.Â
Yang lebih saya pikirkan banyaknya uang yang bakal didapat sendirian. Sebab jika dibagi dengan penerjemah lain otomatis pendapatan berkurang. Bayang-bayang penghasilan sekitar Rp2,5 juta dalam waktu kurang dari sepekan lebih menggiurkan saat itu.
Alhasil keserakahan menyeret saya dalam perjibakuan dari Jumat sampai Selasa dengan ketiga order terjemahan dengan total halaman hasil sekitar 300 halaman lebih. Padahal kemampuan saya saat itu dalam menerjemahkan dokumen adalah 30 halaman spasi dua dalam sehari. Di atas kerja saja, tenggat bakal tidak terpenuhi. Namun, saya tetap nekat.
Alhasil, ketika tenggat mulai berjatuhan, dimulailah bencana itu. Dua orderan memang terkejar tuntas pada waktunya meski di ujung injury time.Â
Namun justru orderan pertama sebanyak 100 halaman tidak kepegang. Saya gagal menyelesaikannya tepat waktu. Selisihnya pun jauh, masih separuh halaman lagi yang belum rampung dikerjakan.
Saya minta maaf pada pemilik biro tersebut yang habis-habisan memaki saya via telepon.Â
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya gratiskan klien tersebut untuk tidak perlu membayar jumlah halaman yang sudah saya kerjakan.Â
Ini musibah besar, pikir saya.Â