Oh, my God!
Farah mau ikutan sebagai panitia acara saja dia tak mengira sama sekali. Eeh, malah jadi bendahara. Itu kan posisi strategis banget!
"Memangnya apa sih keberatan lu sama Farah?"
Well, ini pertanyaan susah. Icha sendiri sebenarnya bingung, kenapa ia keberatan. Alasan SARA bahwa Farah orang Padang yang diidentikkan irit bahkan pelit? Itu pun sebenarnya pendapat Mama. Ya, that's it! Kayaknya keberatan Icha lebih karena solider dengan sikap Mama.
Icha ingat betul perkataan Mama, yang teramat sangat dihormati dan disayanginya selepas kematian Papa.
"Anisa, pokoknya kamu nggak boleh kawin sama orang Padang. Orang Padang itu pelit, medit. Contohnya tuh, Bu Anwar Chan, tetangga kita. Mentang-mentang dia yang menang arisan. Masak Mama pinjam sedikit aja buat nambahin koleksi anting Mama dia nggak kasih. Padahal Jeng Nani kan jarang-jarang nawarin barang bagus dengan harga murah di arisan!"
Saat itu mata Mama yang besar tampak nyaris meloncat keluar, ngeri Icha sebetulnya.
"Kamu tau apa alasannya? Katanya kalo Mama pinjam untuk yang lebih penting dia pasti pinjemin. Perhiasan apa tidak penting?! Sudah pelit sok ngajarin lagi! Nduk, kamu inget-inget ya pesan Mama tadi!"
Banyak lagi kabar miring tentang keluarga Chaniago yang dibawa Mama dari obrolan sesama ibu rumah tangga. Misalnya, tentang anak-anak Pak Anwar Chan yang dianggap tidak mau bergaul dengan tetangga maupun rumah makan Padang mereka yang digosipkan pakai jimat penglaris.
Di hadapan Mama, Icha cuma manggut-manggut. Tidak berusaha mengkritisi apalagi memperbaiki pandangan Mama.
Sejak keluarga Farah pindah ke rumah bertingkat dua di seberang rumahnya, mereka memang tidak akrab. Pagar pembatas memang hanya berupa jajaran besi setinggi 130-an centi, namun pagar di pikiran Icha jauh lebih tebal dan lebih tinggi lagi.