Ada satu miliar lebih tulisan tentang anak sekolah atau anak kuliahan yang berkisah soal cinta. Seakan dunia ini hanya hidup dan dihidupi dengan cinta. Pemahaman yang realistislah yang membuat suatu kisah cinta yang klasik lebih terasa dekat, realistis dan membumi.
Ada kasus narkoba, korupsi, trafficking (perdagangan manusia) dll yang ada di depan kita, yang kadang luput dan lalai kita tangkap hanya karena kita terlampau mesra berfantasi di dunia mimpi. Sayangnya, dunia mimpinya adalah dunia yang seragam, dan mimpinya adalah mimpi yang terlalu sempurna.
Terkadang kita takut dengan realitas di depan kita, dan menjadikan tulisan sebagai pelarian akan segenap angan-angan dan impian kita yang tidak kesampaian. Tanpa disadari, ia merasuk dalam jiwa dan luber dalam tulisan-tulisan kita. Sehingga tidak jarang kita menjumpai tulisan yang terlalu asyik sendiri, tidak terkoneksi dengan lingkungan sekitarnya atau kelewat mengawang-awang.
Sekali dua pembaca akan memakluminya, entah karena kasihan atau karena tiada alternatif bacaan lain. Namun lama kelamaan, sesuatu akan ada titik jenuh atau titik sadarnya.
Tidak bisa lagi kita pertahankan gaya menulis dengan bahasa ngeblog yang amburadul hanya karena kegengsian tidak puguh. Tidak bisa juga kita nekat bertahan menulis dengan logika atau argumentasi mentah karena segala sesuatu ada batasnya, ada ujungnya, termasuk usia kita dan juga titik kesabaran pembaca.
Bukankah teko kosong tidak akan pernah mengeluarkan air jika tidak ada air di dalamnya untuk dituangkan keluar?
Maka isilah teko otak dan hati kita dengan bacaan yang beragam dan bergizi selayaknya kopi dan teh yang nikmat, taburi dengan diskusi sebagai gula pemanis (jika tidak suka gula, bisa dengan kayu manis), maka yang keluar adalah bukan hanya tulisan yang membumi dan realistis tapi juga bermanfaat atau berfaedah.
Jakarta, 7 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H