Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kiat Membuat Tulisan yang Membumi

7 Oktober 2020   19:52 Diperbarui: 9 Oktober 2020   19:56 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Thought Catalog on Unsplash

Ada anggapan salah yang diyakini, bahkan dipropagandakan, sebagian kalangan penulis bahwa tulisan fiksi dan tulisan nonfiksi adalah dua kutub diametral, yang saling bertentangan.

Lebih jauh lagi, kalangan ini bahkan berpendapat bahwa genre (atau "gagrak" menurut mendiang Bondan Winarno, seorang jurnalis sepuh dan belakangan dikenal sebagai pemerhati dunia kuliner) nonfiksi adalah jauh lebih tinggi dan mulia harkat martabatnya daripada genre fiksi.

Benarkah?

Sejatinya, gagrak nonfiksi dan gagrak fiksi, keduanya, bukanlah seteru, justru saling melengkapi.

Penulis nonfiksi belajar mengembangkan imajinasi dan kreativitas merangkai kata dari gagrak fiksi. Sementara penulis fiksi menimba ilmu observasi dan pengamatan dari gagrak nonfiksi.

 Nonfiksi mata air bagi fiksi

"Tulisan nonfiksi adalah mata air bagi tulisan fiksi," ujar Herry Nurdi, seorang jurnalis senior dan juga novelis. Belakangan mantan pemimpin redaksi majalah Sabili, sebuah media Islam yang cukup ditakuti rezim Orde Baru di era 80-an, itu juga aktif sebagai pendakwah agama Islam.

Demikianlah filosofinya.

Jika isi tulisan, bahasa tulisan atau bahasa ngeblog terasa terlalu mengawang, tidak logis atau tidak realistis, mungkin itulah salah satu penyakit utama banyak penulis pemula.

Barangkali, sebagaimana dalam dongeng, obatnya adalah mencari air penyembuh dari mata air abadi.

Mari belajarlah langsung dari sumber, dari mata air abadi. Ia dekat dengan kita, dalam keseharian kita.

Jika mata air sudah berlimpah, tulisan apa pun sebagai muaranya akan memperoleh berkah juga dari kemakmuran sang mata air di hulunya. Karena realistis dan membumi adalah hal pertama dalam hidup seorang manusia yang beradab.

Bukankah pelajaran pertama Nabi Adam adalah ketika Tuhan mengajarkannya nama-nama benda di surga berdasarkan identifikasi dan observasi?

Salah satu cara latihan termudah adalah menuliskan observasi dan renungan kita atas pengalaman sehari-hari dan membagikannya kepada orang lain. Setidaknya ada pahala sedekah yang didapat. Syukur-syukur, kritik dan masukan. Bahkan, dalam sebuah komunitas apa pun, termasuk di Kompasiana, berlimpahnya teman adalah berkah tersendiri dari berbagi cerita dan pengalaman.

Alhasil, jika ada anjuran untuk terlebih dahulu belajar menulis diary atau catatan harian sebelum menulis artikel nonfiksi atau kisah fiksi, itu adalah anjuran yang sungguh tepat, karena selain berlatih memperkuat daya ingat, juga mempertajam kemahiran kita menuliskan hasil observasi dan renungan sehari-hari.

Saya sendiri mengamalkannya sejak SMP sampai sebelum menikah, termasuk juga berkorespondensi dengan sahabat pena lewat surat. Untuk zaman sekarang, bisa juga lewat surel atau blog komunitas seperti Kompasiana ini.

Jika Anda tidak setuju, anggap saja ini sebuah usulan untuk dipertimbangkan. Atau cobalah lihat ke sudut lain, dan baca lagi seruan tadi. Maka ia akan terbaca sebagai: Yuk membumi!

Bagaimana membuat tulisan yang membumi?

Pada kurun waktu 2006-2007, saya bergiat di sebuah kelompok penulisan (writing group) bernama Aris Nugraha Production (ANP) yang dipimpin oleh Aris Nugraha di bilangan Jakarta Selatan.

Saat itu Mas Aris Nugraha tengah mencuat namanya dengan sinetron komedi (sitkom) besutannya yang tayang di salah satu TV swasta berjudul Bajaj Bajuri. Belakangan juga lebih melambung lagi pamornya dengan sitkom Preman Pensiun, Gober, Awas Ada Copet, dan TOP (Tukang Ojek Pengkolan).

Saat saya bergabung bersama beberapa teman seangkatan seperti Melvi Yendra, Prita Khalida, dan Sakti Wibowo, Bajaj Bajuri telah usai tayang, dan ANP bersiap menggarap sitkom baru mengenai pernak-pernik kehidupan para karyawan sebuah gerai waralaba kopi internasional. Judul sitkom itu adalah The Coffee Bean Show, yang juga tayang di stasiun TV yang sama.

Kendati hanya setahunan bergabung, karena selanjutnya saya lebih memfokuskan diri di dunia penerjemahan, banyak pelajaran berharga tentang kepenulisan yang saya dapatkan. Salah satunya adalah tentang bagaimana membuat kalimat atau dialog cerita yang realistis dan membumi.

Mas Aris Nugraha, sang big boss dan mentor, selalu menekankan, dengan gayanya yang khas, agar setiap kalimat atau dialog bernas dan sesuai dengan realitas.

Seorang rekan saya pernah disentilnya karena menuliskan dialog wong cilik dengan bahasa Indonesia dan diksi yang baku persis gaya bicara guru bahasa Indonesia di SMP.

"Masak tukang becak ngomongnya filosofis banget!" semprotnya. "Yang realistislah!"

Kami tersenyum melihat wajah sang rekan yang merah padam karena malu.

Mas Aris memang begitulah adanya, lugas dan ceplas-ceplos tapi juga humoris. Lelaki Asgar (Asli Garut) itu juga tidak pelit berbagi ilmu.

Ada satu trik jitu darinya agar kalimat atau dialog yang kita buat membumi dan realistis.

Setelah suatu kalimat atau dialog dituliskan, lafalkan atau ucapkan kalimat atau dialog itu dengan suara keras secara berulang-ulang. Lalu rasakan dengan hati dan telinga. Janggal tidak terdengar di telinga? Cukup riilkah dengan konteks kalimat dan situasi?

Ini kiat sederhana yang sebenarnya manjur untuk jenis penulisan lain selain skenario atau tulisan fiksi, termasuk juga untuk artikel nonfiksi.

Ya, membumi dan realistis.

Itulah yang, menurut Mas Aris Nugraha, merupakan kunci kesuksesan sitkom masterpiece atau mahakaryanya, Bajaj Bajuri. Suatu realitas kehidupan pengemudi bajaj yang lekat dengan keseharian kita, terutama di wilayah Jabodetabek.

 Yang membuat kita sebagai penonton merasa dekat bahkan mengidentifikasikan diri dengan si Bajuri baik karena solidaritas sesama wong cilik maupun karena pengalaman hidupnya yang terasa kita banget.

Ya, membumi dan realistis. Itulah yang kadang kita lupakan tidak hanya ketika merangkai dialog namun juga dalam menyusun narasi maupun logika cerita atau argumentasi tulisan.

Membumi dan realistis bukan hanya soal dialog atau kalimat. Realistis juga soal kesesuaian dengan konteks sikon atau situasi kondisi.

Sewaktu SD, sebuah karangan saya luput dapat nilai tertinggi di kelas hanya karena satu kalimat, yakni "Setiap pagi nelayan berangkat melaut".

Menurut sang guru, saya lupa realitas bahwa pekerjaan nelayan tidaklah sama dengan orang kantoran yang berangkat kerja tiap pagi. Nelayan justru berangkat kerja setiap petang jelang malam. 

Meskipun bertahun-tahun kemudian, dengan tambahan bekal bacaan yang lebih luas, ternyata ada juga sebagian nelayan (untuk jenis ikan atau hewan laut atau di perairan tertentu) yang berangkat kerja pagi hari.

Memori puluhan tahun lalu itu seakan deja vu atau terngiang kembali ketika saya membantu seorang kawan menerjemahkan sebuah novelet dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris beberapa tahun lalu.

Dalam novelet perdananya itu, sang penulis memberi nama tokoh-tokohnya dengan nama-nama modern ala milenial, seperti Reva, Shierly dan Ricky.

Apakah setting atau latarnya di kota metropolitan?

Tidak, latarnya adalah sebuah desa terpencil di pedalaman Provinsi Bengkulu di era 80-an. Dan deretan nama itu adalah nama-nama anak petani.

Alhasil, saya mengendus aroma mabuk sinetron yang kental dalam raga tulisan sinetron itu!

Kawan, membumi dan realistis adalah juga soal pengayaan jiwa dan tulisan kita.

Ada satu miliar lebih tulisan tentang anak sekolah atau anak kuliahan yang berkisah soal cinta. Seakan dunia ini hanya hidup dan dihidupi dengan cinta. Pemahaman yang realistislah yang membuat suatu kisah cinta yang klasik lebih terasa dekat, realistis dan membumi.

Ada kasus narkoba, korupsi, trafficking (perdagangan manusia) dll yang ada di depan kita, yang kadang luput dan lalai kita tangkap hanya karena kita terlampau mesra berfantasi di dunia mimpi. Sayangnya, dunia mimpinya adalah dunia yang seragam, dan mimpinya adalah mimpi yang terlalu sempurna.

Terkadang kita takut dengan realitas di depan kita, dan menjadikan tulisan sebagai pelarian akan segenap angan-angan dan impian kita yang tidak kesampaian. Tanpa disadari, ia merasuk dalam jiwa dan luber dalam tulisan-tulisan kita. Sehingga tidak jarang kita menjumpai tulisan yang terlalu asyik sendiri, tidak terkoneksi dengan lingkungan sekitarnya atau kelewat mengawang-awang.

Sekali dua pembaca akan memakluminya, entah karena kasihan atau karena tiada alternatif bacaan lain. Namun lama kelamaan, sesuatu akan ada titik jenuh atau titik sadarnya.

Tidak bisa lagi kita pertahankan gaya menulis dengan bahasa ngeblog yang amburadul hanya karena kegengsian tidak puguh. Tidak bisa juga kita nekat bertahan menulis dengan logika atau argumentasi mentah karena segala sesuatu ada batasnya, ada ujungnya, termasuk usia kita dan juga titik kesabaran pembaca.

Bukankah teko kosong tidak akan pernah mengeluarkan air jika tidak ada air di dalamnya untuk dituangkan keluar?

Maka isilah teko otak dan hati kita dengan bacaan yang beragam dan bergizi selayaknya kopi dan teh yang nikmat, taburi dengan diskusi sebagai gula pemanis (jika tidak suka gula, bisa dengan kayu manis), maka yang keluar adalah bukan hanya tulisan yang membumi dan realistis tapi juga bermanfaat atau berfaedah.

Jakarta, 7 Oktober 2020

Baca Juga:  [1] [2]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun