Ya, membumi dan realistis. Itulah yang kadang kita lupakan tidak hanya ketika merangkai dialog namun juga dalam menyusun narasi maupun logika cerita atau argumentasi tulisan.
Membumi dan realistis bukan hanya soal dialog atau kalimat. Realistis juga soal kesesuaian dengan konteks sikon atau situasi kondisi.
Sewaktu SD, sebuah karangan saya luput dapat nilai tertinggi di kelas hanya karena satu kalimat, yakni "Setiap pagi nelayan berangkat melaut".
Menurut sang guru, saya lupa realitas bahwa pekerjaan nelayan tidaklah sama dengan orang kantoran yang berangkat kerja tiap pagi. Nelayan justru berangkat kerja setiap petang jelang malam.Â
Meskipun bertahun-tahun kemudian, dengan tambahan bekal bacaan yang lebih luas, ternyata ada juga sebagian nelayan (untuk jenis ikan atau hewan laut atau di perairan tertentu) yang berangkat kerja pagi hari.
Memori puluhan tahun lalu itu seakan deja vu atau terngiang kembali ketika saya membantu seorang kawan menerjemahkan sebuah novelet dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris beberapa tahun lalu.
Dalam novelet perdananya itu, sang penulis memberi nama tokoh-tokohnya dengan nama-nama modern ala milenial, seperti Reva, Shierly dan Ricky.
Apakah setting atau latarnya di kota metropolitan?
Tidak, latarnya adalah sebuah desa terpencil di pedalaman Provinsi Bengkulu di era 80-an. Dan deretan nama itu adalah nama-nama anak petani.
Alhasil, saya mengendus aroma mabuk sinetron yang kental dalam raga tulisan sinetron itu!
Kawan, membumi dan realistis adalah juga soal pengayaan jiwa dan tulisan kita.