Mas Aris Nugraha, sang big boss dan mentor, selalu menekankan, dengan gayanya yang khas, agar setiap kalimat atau dialog bernas dan sesuai dengan realitas.
Seorang rekan saya pernah disentilnya karena menuliskan dialog wong cilik dengan bahasa Indonesia dan diksi yang baku persis gaya bicara guru bahasa Indonesia di SMP.
"Masak tukang becak ngomongnya filosofis banget!" semprotnya. "Yang realistislah!"
Kami tersenyum melihat wajah sang rekan yang merah padam karena malu.
Mas Aris memang begitulah adanya, lugas dan ceplas-ceplos tapi juga humoris. Lelaki Asgar (Asli Garut) itu juga tidak pelit berbagi ilmu.
Ada satu trik jitu darinya agar kalimat atau dialog yang kita buat membumi dan realistis.
Setelah suatu kalimat atau dialog dituliskan, lafalkan atau ucapkan kalimat atau dialog itu dengan suara keras secara berulang-ulang. Lalu rasakan dengan hati dan telinga. Janggal tidak terdengar di telinga? Cukup riilkah dengan konteks kalimat dan situasi?
Ini kiat sederhana yang sebenarnya manjur untuk jenis penulisan lain selain skenario atau tulisan fiksi, termasuk juga untuk artikel nonfiksi.
Ya, membumi dan realistis.
Itulah yang, menurut Mas Aris Nugraha, merupakan kunci kesuksesan sitkom masterpiece atau mahakaryanya, Bajaj Bajuri. Suatu realitas kehidupan pengemudi bajaj yang lekat dengan keseharian kita, terutama di wilayah Jabodetabek.
 Yang membuat kita sebagai penonton merasa dekat bahkan mengidentifikasikan diri dengan si Bajuri baik karena solidaritas sesama wong cilik maupun karena pengalaman hidupnya yang terasa kita banget.