Berawal dari sinyalemen Menteri Agama Jenderal (Purn.) Fachrul Razi bahwa paham radikalisme di masjid-masjid di tengah masyarakat dibawa masuk melalui agen-agen radikal yang "hafiz good looking".
"Caranya masuk mereka gampang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk," tutur Fachrul Razi, sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, dalam webinar bertajuk "Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara" di kanal Youtube Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) pada Rabu, 2 September 2020.
"Lalu masuk teman-temannya. Dan masuk ide-idenya yang kita takutkan," lanjut Fachrul Razi yang mantan perwira Kopassus dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal agama Islam tersebut.
Pernyataan sang menteri yang memantik kontroversi di tengah publik tersebut kemudian berkali-kali diklarifikasi oleh para pejabat Kementerian Agama, termasuk "menetralisasi" program sertifikasi pemuka agama Islam menjadi program bimbingan teknis penguatan kompetensi bagi seluruh pemuka agama, tidak hanya agama Islam, di Indonesia, yang tidak lagi bersifat wajib tetapi sukarela.
Kenapa "Good Looking" jika ada "Rupawan"?
Terlepas dari keabsahan logika relasi "good looking" dengan radikalisme, menarik untuk menilik kata "good looking" yang digunakan oleh salah satu menteri yang baru saja terkonfirmasi positif COVID 19 tersebut.
Dalam kamus Merriam Webster, "good looking" didefinisikan sebagai "having a pleasing or attractive appearance". Dalam versi terjemahan bahasa Indonesia, "memiliki penampilan yang menyenangkan atau menarik".
Sebetulnya ada padanan bahasa Indonesia untuk "good looking" yakni "rupawan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi "rupawan" adalah "elok rupanya; cantik".
"Rupawan" tidak hanya dilekatkan pada keindahan wanita, sebagaimana yang dipersepsikan masyarakat kebanyakan selama ini. Karena, secara leksikal, "rupawan" juga menyangkut kecantikan dan ketampanan seseorang.
Alhasil, jika pun Fachrul Razi memaksudkan para agen radikalisme itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, maka kata "rupawan" tetap dapat digunakan.
Legislasi tentang penggunaan bahasa Indonesia
Di sisi lain, dalam posisinya sebagai pejabat negara, terlebih lagi di level menteri, sudah semestinya Fachrul Razi mencontohkan menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pernyataan-pernyataan publiknya. Terlebih lagi sudah ada Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang mengatur tentang prioritas penggunaan bahasa Indonesia, terutama bagi para pejabat negara.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2019, yang merupakan peraturan turunan dari UU No. 24 Tahun 2009, disebutkan dalam Pasal 5 bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri".
Dan pada pasal 6 dalam perpres tersebut, jabatan menteri termasuk dalam definisi "pejabat negara yang lain".
Jikalau ada argumen pembelaan bahwa Menag melontarkan kata "good looking" itu bukan dalam pidato resmi, patut diingat bahwa lontaran itu terjadi dalam webinar (seminar virtual atau jarak jauh) yang diselenggarakan oleh Kemenpan RB. Dan hal itu masuk dalam ranah "komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah".
Pasal 28 ayat 1 Perpres No. Â 63 Tahun 2019, yang ditandatangani Presiden Jokowi, jelas menyatakan bahwa "bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta".
Singlish, dialek Anak Jaksel, dan Indonglish
Pernah dengar istilah Singlish atau Singaporean English?
Long time no see you, misalnya, untuk I haven't seen you for a long time.
Saat wisata kantor pada April 2012, salah seorang pedagang cendera mata di Bugis Street, salah satu pasar masyhur di Singapura, memilih berbahasa Singlish sewaktu saya ajak berbicara dalam bahasa Inggris.
"Halga boleh kulang sikit-sikitlah. No ploblem. Malket juga balu open," ujarnya dengan lidah celat khas Tionghoa. Saat itu sekitar pukul 9 pagi waktu Singapura atau pukul 8 pagi WIB.
Jangan dikira model bahasa gado-gado seperti Singlish itu tidak menjangkiti bangsa kita, Indonesia. Silakan saja amati pembicaraan di sekitar kita, di dunia maya dan di dunia nyata. Atau bahkan kita sendiri juga tak ayal kerap melakukannya.
Barangkali kita familiar dengan model gaya bahasa berikut ini:"Aku nggak aware lho kalo dia care sama aku. Aku kira dia gak bisa fall in love lagi sama cewek lain, which is beda tipe sama mantannya. It's really amazing! Malah kamu ya yang concern banget. Gak nyangka juga kalo dia bisa move on."
Paham?
Jika tidak, itulah yang disebut Indonesian English alias Indonglish.
Publik secara serampangan menahbiskannya sebagai "dialek anak Jaksel". Hal ini tampaknya merujuk pada banyaknya lembaga pendidikan atau sekolah internasional di kawasan Jakarta Selatan (Jaksel) yang menggunakan bahasa pengantar bilingual atau bahasa Inggris.
Sepanjang karier saya sebagai penerjemah sejak 2002, sepertinya sepuluh tahun belakangan ini makin banyak klien baik klien lepas maupun klien kantor yang lebih gemar menggunakan istilah asing tinimbang padanan bakunya dalam bahasa Indonesia.
Demi tuntutan klien, saya kerap harus mengalahkan idealisme bahasa saya dengan tidak menerjemahkan suatu istilah bahasa Inggris, meskipun padanan bahasa Indonesianya sudah sangat lazim.
Alasannya? Bahasa Inggris lebih keren, lebih efisien dan lebih komunikatif atau lebih bisa mengartikulasikan makna suatu kata, demikian katanya.
Yang terakhir ini sebetulnya dapat disiasati dengan menambahkan keterangan penjelas setelah padanan bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Inggris yang dimaksudkan. Contohnya, Codeshare Agreement dipadankan dengan "Perjanjian Pengaturan Bersama Kursi Penumpang (Codeshare)" atau Frequent Flyer Concession dengan "Konsesi bagi Pelanggan Rutin (Frequent Flyer)".
Namun, jangankan di lingkup pergaulan sehari-hari atau pergaulan bisnis, di tingkat pejabat atau petinggi negara pun demikian. Selain kasus "good looking"-nya Menag Fachrul Razi, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan kemampuan penguasaan bahasa Inggris yang sederhana, tak luput terjangkit wabah Indonglish tersebut.
Bahkan sebelum era Jokowi, kita pun mafhum dengan pidato-pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bertaburan dengan istilah-istilah bahasa Inggris yang sebetulnya sudah ada padanan bahasa Indonesianya.
Ironisnya, jauh sebelum menjabat sebagai presiden, SBY pernah dinobatkan sebagai salah satu tokoh publik yang berbahasa Indonesia dengan baik dan benar oleh salah satu institusi pers tersohor di Indonesia pada 1996.
Epidemi Indonglish, bisakah ditangkal?
Namun kurang tepat jika teori "ikan busuk dari kepala" melulu dipersalahkan sebagai sebab utama epidemi bahasa tersebut. Peranan media massa, terutama televisi dan radio (yang kini diambil alih media sosial di Internet) yang teramat besar sejak awal era Reformasi pada 1998, dapat dikatakan lebih bertanggung jawab atas meluasnya wabah Indonglish.
Sejarah media massa domestik mencatat derasnya penggunaan Indonglish sejak era MTV (Music Television) (kerja sama salah satu TV swasta Indonesia dengan sebuah TV asing) pada kurun waktu 1990-an dengan pembawa acara atau VJ (Video Jockey) seperti Sarah Sechan dkk yang berpenampilan dan berbahasa gaul yang sangat populer di kalangan anak muda yang merupakan segmen populasi terbesar dalam struktur demograsi Indonesia.
Dalam konteks zaman, inilah dampak globalisasi selepas Perang Dingin yang dimenangi Amerika Serikat, sebagai negara Adidaya tunggal, yang terangkai dengan glasnost & perestroika (yang berakibat ambruknya negara Uni Soviet) di sejumlah negara satelit Uni Soviet atau kawasan Eropa Timur (baca: blok Komunis). Di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara yang mencakup Indonesia, globalisasi merembes dalam bentuk investasi modal keuangan dan budaya pop.
Secara tidak langsung, sikap serbaboleh atau permisif rezim pemerintahan saat itu dalam memberikan perizinan (investasi asing) MTV tidak terlepas dari mental rendah diri akibat tekanan IMF (International Monetary Fund) dan negara-negara donor asing. Krisis ekonomi, yang berimbas pada krisis identitas dan krisis nasionalisme, yang kemudian mendera Indonesia pada 1998 waktu itu menambah parahnya keadaan.
Dalam teori perubahan sosial, jika kaum muda yang notabene kaum berpengaruh di tiap negara sudah terpengaruh oleh ide, budaya atau bahasa tertentu, dapat dipastikan ide, budaya atau bahasa tersebut akan menghegemoni negara dan bangsa tersebut.
Apatah lagi jika fenomena budaya atau bahasa itu sudah "distempel" (baca: diresmikan) oleh kalangan petinggi negeri dengan kelakuan sok nginggris dalam budaya tutur lisan dan tulisan di forum resmi atau acara kenegaraan.
Jika sudah demikian adanya, seruan kalangan penggiat bahasa berpotensi hanya menjadi teriakan parau di gurun pasir.
Akan tetapi tentu tidak ada upaya yang sia-sia sepanjang upaya tersebut dilakukan secara tekun dan berkelanjutan. Sepanjang masih ada kelompok anak bangsa yang peduli akan keberlangsungan bahasa Indonesia baku niscaya epidemi Indonglish dan gerombolannya (sebut saja bahasa alay dll) hanya akan bersifat sebagai wabah penyakit akut semata, yang sekadar singgah dan sifatnya musiman, bukan semacam kanker yang laten apalagi yang berstadium kronis.
Semoga saja.
Jakarta, 22 September 2020
Referensi:
1. https://www.hops.id/ubah-sertifikasi-ulama/
2. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200902172733-20-542083/menag-sebut-radikalisme-masuk-masjid-lewat-anak-good-looking
3. https://www.merriam-webster.com/dictionary/good-looking
4. https://kbbi.web.id/rupawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H