Namun, jangankan di lingkup pergaulan sehari-hari atau pergaulan bisnis, di tingkat pejabat atau petinggi negara pun demikian. Selain kasus "good looking"-nya Menag Fachrul Razi, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan kemampuan penguasaan bahasa Inggris yang sederhana, tak luput terjangkit wabah Indonglish tersebut.
Bahkan sebelum era Jokowi, kita pun mafhum dengan pidato-pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bertaburan dengan istilah-istilah bahasa Inggris yang sebetulnya sudah ada padanan bahasa Indonesianya.
Ironisnya, jauh sebelum menjabat sebagai presiden, SBY pernah dinobatkan sebagai salah satu tokoh publik yang berbahasa Indonesia dengan baik dan benar oleh salah satu institusi pers tersohor di Indonesia pada 1996.
Epidemi Indonglish, bisakah ditangkal?
Namun kurang tepat jika teori "ikan busuk dari kepala" melulu dipersalahkan sebagai sebab utama epidemi bahasa tersebut. Peranan media massa, terutama televisi dan radio (yang kini diambil alih media sosial di Internet) yang teramat besar sejak awal era Reformasi pada 1998, dapat dikatakan lebih bertanggung jawab atas meluasnya wabah Indonglish.
Sejarah media massa domestik mencatat derasnya penggunaan Indonglish sejak era MTV (Music Television) (kerja sama salah satu TV swasta Indonesia dengan sebuah TV asing) pada kurun waktu 1990-an dengan pembawa acara atau VJ (Video Jockey) seperti Sarah Sechan dkk yang berpenampilan dan berbahasa gaul yang sangat populer di kalangan anak muda yang merupakan segmen populasi terbesar dalam struktur demograsi Indonesia.
Dalam konteks zaman, inilah dampak globalisasi selepas Perang Dingin yang dimenangi Amerika Serikat, sebagai negara Adidaya tunggal, yang terangkai dengan glasnost & perestroika (yang berakibat ambruknya negara Uni Soviet) di sejumlah negara satelit Uni Soviet atau kawasan Eropa Timur (baca: blok Komunis). Di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara yang mencakup Indonesia, globalisasi merembes dalam bentuk investasi modal keuangan dan budaya pop.
Secara tidak langsung, sikap serbaboleh atau permisif rezim pemerintahan saat itu dalam memberikan perizinan (investasi asing) MTV tidak terlepas dari mental rendah diri akibat tekanan IMF (International Monetary Fund) dan negara-negara donor asing. Krisis ekonomi, yang berimbas pada krisis identitas dan krisis nasionalisme, yang kemudian mendera Indonesia pada 1998 waktu itu menambah parahnya keadaan.
Dalam teori perubahan sosial, jika kaum muda yang notabene kaum berpengaruh di tiap negara sudah terpengaruh oleh ide, budaya atau bahasa tertentu, dapat dipastikan ide, budaya atau bahasa tersebut akan menghegemoni negara dan bangsa tersebut.
Apatah lagi jika fenomena budaya atau bahasa itu sudah "distempel" (baca: diresmikan) oleh kalangan petinggi negeri dengan kelakuan sok nginggris dalam budaya tutur lisan dan tulisan di forum resmi atau acara kenegaraan.