Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perawan Itu Mutlak atau Pilihan?

2 September 2020   03:40 Diperbarui: 17 September 2020   18:10 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: shutterstock.com

Pelikkah pertanyaan tersebut?

Sejatinya sudah sejak 80-an, sang ratu dangdut Elvi Sukaesih yang berduet dengan Mansyur S. melontarkan wacana serupa dalam lagu tenar berjudul Gadis atau Janda.

Kau masih gadis atau sudah janda?

Katakan saja jangan malu...

Namun makna syair tersebut mungkin tidak terlalu relevan saat ini. Zaman sudah berubah. Nilai moral konon berubah-ubah sesuai standar masyarakat. Alhasil, masyarakat pun berubah-ubah perilaku dan cara pandangnya dalam menilai sesuatu.

Masih ingat busana keluarga Laura Ingalls dalam novel Little House on The Prairie yang kemudian difilmkan dan pernah ditayangkan di TVRI di era 1980-an?

Ya, mereka mengenakan busana yang tertutup rapat nan sopan dengan rok panjang menggembung. Itulah potret masyarakat Amerika Serikat pada suatu kurun waktu. Di kurun waktu yang lain, busana seperti itu hanya jadi cerita masa lalu dari zaman kakek-nenek mereka.

Tak heran jika Sayyid Quthb, sang aktivis pergerakan dan sastrawan Mesir, menelurkan formula dalam teori pembentukan masyarakat madani (civil society). Dalam teori sang tokoh Ikhwanul Muslimin tersebut, jika enam puluh persen masyarakat sudah berperilaku beradab maka masyarakat itu dapat dikatakan sebuah masyarakat ideal.

Juga tak heran, dalam catatan seorang sosiolog, tatkala di tahun 1950-an beredar foto mesum Nurnaningsih, seorang aktris cantik orbitan sutradara Usmar Ismail, sang bapak perfilman Indonesia, kontan banyak pasangan kekasih yang bubaran dan juga para istri yang menuntut cerai karena pasangan mereka kedapatan memiliki foto sang artis tersebut. Konon foto sang bom seks tersebut dianggap mesum di zaman itu karena memperlihatkan belahan dada dan sedikit bagian paha yang terbuka bebas.

Pertanyaan "gadis atau janda?" mungkin sangat amat relevan ketika sebuah keperawanan (virginity) menjadi tolok ukur dan standar moral mutlak dalam suatu masyarakat.

Novel karya sastrawan feminis Mesir/Sumber: goodreads.com
Novel karya sastrawan feminis Mesir/Sumber: goodreads.com

Sebagaimana dituturkan Nawal El Saadawi dalam novel Woman at Point Zero (1975) (versi terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Perempuan Di Titik Nol yang diterbitkan Pustaka Obor Indonesia) mengenai kebiasaan masyarakat tradisional Arab mengarak potongan kain bernoda darah keperawanan seorang pengantin wanita pada malam pertamanya. 

Sebuah tradisi yang dilestarikan untuk menjunjung nilai sebuah keperawanan sebagai simbol peradaban moral. Namun juga sebuah tradisi yang dapat dikatakan naif.

 Dalam tinjauan medis, seorang pengantin yang paling perawan sekalipun bisa saja tidak mengeluarkan darah pada malam pertamanya disebabkan alotnya hymen alias selaput dara yang dimilikinya. Atau justru ia kehilangan "keperawanan" saat memanjat pohon atau gemar bersepeda sewaktu remaja. Lagi-lagi, karena tipisnya si selaput dara.

Perawan tulen atau perawan teknis?

Di belahan bumi Eropa pada abad pertengahan, para bangsawan kerajaan juga tak kalah naifnya. Para perawan mereka dilengkapi dengan chastity belt, sabuk keperawanan, yang terbuat dari besi yang dilengkapi gembok dan lubang kunci untuk menjaga kesucian mereka. Benar-benar sebuah penjagaan dalam arti sebenarnya.

Dalam film Robinhood: Prince of Thieves (1991) yang dibintangi oleh Kevin Costner, digambarkan seorang bandit rival Robinhood yang ingin menodai Marion, kekasih Robinhood, harus berjibaku berebut anak kunci guna melampiaskan birahinya. Karena kendati busana sang puteri jelita sudah tuntas terlucuti namun niatnya terhalang sabuk keperawanan yang dikenakan Marion. Alhasil, penyelesaian akhir pun kandas!

Sabuk keperawanan itu sebetulnya ide kreatif. Permasalahannya, bagaimana jika sang bakal korban sendiri yang secara sukarela membukanya atau, dalam bahasa populer kasus perzinaan, suka sama suka?

"Keperawanan hanyalah masalah selisih beberapa detik saja," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu kumpulan cerpennya. Ini masalah teknis saja, maksudnya.

Secara teknis, seorang wanita bisa jadi masih perawan semata-mata hanya karena tidak ada penetrasi alat tumpul ke dalam gua garbanya. Tapi, bagaimana secara hakikatnya?

Inilah makna di balik ucapan populer berbahasa Inggris," Don't touch me!"

Simpel namun dalam maknanya.

Jika para gadis konsekuen mengamalkan ucapan tersebut dalam pengertian sebenarnya, niscaya mereka tidak sekadar technically virgin (secara teknis perawan) karena tubuhnya sudah dijamah karena etos "sedikit bicara banyak kerja" yang populer dalam kamus umum bebogohan (baca: pacaran) era modern. Tapi juga mereka dapat berbangga sebagai originally virgin (perawan tulen atau perawan tingting).

Namun soal keperawanan juga persoalan ekstremitas.

Di satu kutub, sebagian orang mengagungkan keperawanan dalam pemaknaan yang sempit seperti dalam tradisi "pengarakan kain pada malam pertama" di jazirah Arab yang dilukiskan secara apik dalam novel El Saadawi.

Di kutub yang lain, sebagian orang menggampangkan keperawanan seperti gampangnya orang buang hajat. Diobral atau bahkan dilelang. Dalam varian kutub ini, keperawanan diperlakukan sebagai hal yang relatif. Sebagaimana relatifnya sebagian anak muda memaknai pernikahan atau perkawinan.

Dua kata yang bahkan dalam undang-undang atau dokumen negara dapat saling dipertukarkan dan dianggap sama maknanya itu ternyata dapat ditafsirkan berbeda, bahkan secara diametral. Kendati barangkali dalam level guyonan belaka.

"Sudah kawin?"

"Kawin sudah, nikah belum."

"Lho, apa bedanya?"

"Kawin pakai urat, nikah pakai surat."

Ketika segala sesuatu direlatifkan maka ia menjadi conditional atau bersyarat. Kabur dan ambigu.

Sama relatifnya seperti, dalam pandangan teori relativitas, usia seseorang astronot di luar angkasa dan ketika berada di muka bumi. Ada standar-standar yang berbeda yang tak ketemu jika dikompromikan.

Di sinilah titik benturan yang keras dengan nilai-nilai moral dan agama yang, dalam pandangan sebagian orang, dianggap rigid atau kaku.

Bujang tapi bukan perjaka

Masih terkait perihal relativitas, bagaimana jika soal keperawanan ditudingkan balik kepada kaum laki-laki?

Kenapa tidak?

Jika seorang perempuan dihadapkan pada masalah originally virgin atau technically virgin, sesungguhnya lelaki berhak pula dipertanyakan kadar "keperawanan" yang dimilikinya.

Dalam bahasa Inggris, kata virgin atau virginity juga berlaku sama bagi kedua gender. Bagi laki-laki, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai "keperjakaan".

Terlepas dari fakta anatomis bahwa lelaki cenderung tidak memiliki "bekas" ketika sudah tidak "perjaka", merupakan diskursus yang menarik ketika seorang lelaki dikatakan "bujang tapi bukan perjaka". Persis sebagaimana seorang perempuan yang disebut "gadis tapi bukan perawan", atau, lebih ekstremnya "gadis rasa janda".

Apakah si lelaki juga "perjaka tulen" dalam artian tidak pernah berhubungan seks maupun aktivitas seks yang menjurus seperti masturbasi, petting (bercumbu) atau seks oral (fellatio atau cunnilingus)?

Ataukah ia hanya "perjaka teknis" yakni "hanya" tidak pernah berhubungan seks dalam artian senggama, sementara yang lain sudah khatam dijalaninya?

Soal relevansi keperawanan atau keperjakaan sebagai standar moral dalam masyarakat yang berubah cepat seiring turbulensi berbagai sistem nilai dan peradaban ini tampaknya sealot kepentingan syahwat yang melingkupinya baik syahwat politik, bisnis atau syahwat seksual.

Lagi-lagi jika demikian, kendati klise, segalanya terpulang pada nurani, yang dalam pemaknaan Cak Nur atau Nurcholish Madjid, merupakan "tempat yang mendapat cahaya (nur) Ilahiah".

Jika manusia mengandalkan logika dan nafsu belaka, niscaya penjara ekstremitas akan selalu mengungkungnya. Bukankah, menurut Ali Syari'ati, seorang tokoh intelektual Iran, salah satu "penjara" dalam hidup manusia adalah dirinya sendiri?

Termasuk ketika memaknai, minimal untuk pegangan pribadi, apakah keperawanan atau keperjakaan itu kemutlakan atau pilihan.

Jakarta, 2 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun