Sama relatifnya seperti, dalam pandangan teori relativitas, usia seseorang astronot di luar angkasa dan ketika berada di muka bumi. Ada standar-standar yang berbeda yang tak ketemu jika dikompromikan.
Di sinilah titik benturan yang keras dengan nilai-nilai moral dan agama yang, dalam pandangan sebagian orang, dianggap rigid atau kaku.
Bujang tapi bukan perjaka
Masih terkait perihal relativitas, bagaimana jika soal keperawanan ditudingkan balik kepada kaum laki-laki?
Kenapa tidak?
Jika seorang perempuan dihadapkan pada masalah originally virgin atau technically virgin, sesungguhnya lelaki berhak pula dipertanyakan kadar "keperawanan" yang dimilikinya.
Dalam bahasa Inggris, kata virgin atau virginity juga berlaku sama bagi kedua gender. Bagi laki-laki, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai "keperjakaan".
Terlepas dari fakta anatomis bahwa lelaki cenderung tidak memiliki "bekas" ketika sudah tidak "perjaka", merupakan diskursus yang menarik ketika seorang lelaki dikatakan "bujang tapi bukan perjaka". Persis sebagaimana seorang perempuan yang disebut "gadis tapi bukan perawan", atau, lebih ekstremnya "gadis rasa janda".
Apakah si lelaki juga "perjaka tulen" dalam artian tidak pernah berhubungan seks maupun aktivitas seks yang menjurus seperti masturbasi, petting (bercumbu) atau seks oral (fellatio atau cunnilingus)?
Ataukah ia hanya "perjaka teknis" yakni "hanya" tidak pernah berhubungan seks dalam artian senggama, sementara yang lain sudah khatam dijalaninya?
Soal relevansi keperawanan atau keperjakaan sebagai standar moral dalam masyarakat yang berubah cepat seiring turbulensi berbagai sistem nilai dan peradaban ini tampaknya sealot kepentingan syahwat yang melingkupinya baik syahwat politik, bisnis atau syahwat seksual.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!