Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu, hingga tubuhku bobrok, yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri.
Di kantor tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku. Sehingga aku tahu betul posisi tawar kami. Namun hidup memang keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
Aku bukan super daddy, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti itu. Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan penghidupan yang layak bagi anaknya.
Jalan terbaik, yang ada di pikiranku saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku pikir sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku. Tak urung aku terguncang juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam.
Dua klienku, ketika pekerjaan sudah aku serahkan, lari dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam setengah juta rupiah. Di situlah keimanan dan ketabahan kita sebagai suami atau istri atau pasutri diuji.
Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal lelah untuk memutarnya.
Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja agar anakku nanti tak lemah.
Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa takkan lahir dari seekor kambing?
Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami, para ayah, adalah kehadiran putera-puteri tersayang. Ocehan mereka yang ramai, terutama selepas disusui atau saat menyambut kita pulang kerja, kerap membuatku sadar bahwa ada lebih banyak hal yang patut disyukuri ketimbang disesali dalam hidup ini.
"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan membuatmu kuat," demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno.
Itulah pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berutang, bentuk praktisnya.