Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat baru memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak hamil dua bulan karena gangguan kesehatan.
Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah.
Bagi manusia, tanpa pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing asal berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang sudah dicatatkan-Nya di Lauhul Mahfuz di atas sana untuk anakku.
Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Saat itu bahkan hingga kini.
Pelajaran pertama yang kucatat, saat permohonan kasbonku ditolak bos, yang notabene sahabat sendiri, adalah hanya Tuhan yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung.
Sedekat apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.
Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar. Aku ajukan kesanggupan dan minta klien-klienku tersebut setor uang muka (Down Payment atau DP) terlebih dulu.
Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas ngantor aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua orderan tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi biaya operasi caesar istriku.
Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat. Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya. Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak terlupakan.
Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua orderan terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar) bayi dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam sekali.
Alhasil, aku ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak ngantor. Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk resign, berhenti bekerja. Setelah kondisiku agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.