Nah, jika secara fair dibandingkan dengan Anies yang kerap dianggap sebagai rival abadi Ahok, sejatinya keduanya sama-sama piawai berkomunikasi publik dan mahir menata kata. Bedanya, Anies bergaya persuasif argumentatif sementara Ahok cenderung agresif argumentatif.
Jadi, jika Anies lebih dicitrakan "hanya pintar menata kata" ketimbang Ahok atau Jokowi yang dicitrakan "figur pekerja tanpa banyak kata", sebetulnya itu hanya persoalan kemahiran framing atau pembingkaian citra oleh media saja. Lebih-lebih Ahok, yang tidak seotentik Jokowi.
Belum lagi jika Ahok kembali ditunjuk oleh Jokowi sebagai Kepala BO IKN, padahal pada 22 November 2019 atau baru empat bulan sebelumnya ditunjuk sebagai Komut Pertamina, maka citra Ahok sebagai kutu loncat (yang sering berpindah-pindah parpol dan tak tuntas menjalani jabatan politik) dan pengejar jabatan akan terkonfirmasikan dengan kuat.
Alhasil, jalan Ahok ke posisi nomor satu di BO IKN takkan semulus bayangan para pencinta, die-hard fans (penggemar garis keras), serta pendengung politik (buzzer) sang mantan aktivis pemuda gereja tersebut.
Di samping itu usulan-usulan nama yang masuk ke pihak Jokowi untuk ketiga kandidat lainnya, tentu saja bukan usulan sembarangan atau main-main. Para tokoh sekaliber Bambang Brodjonegoro (Menristek/Ketua BRIN), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi dua periode), dan Tumiyana (Dirut PT WIKA), dengan segenap kisah keberhasilan mereka, jelas tak layak dinafikan begitu saja.
Presiden Jokowi, sebagai pihak yang akan menunjuk langsung kepala BO IKN, pastilah akan mempertimbangkan banyak hal. Setidaknya agar figur Kepala BO IKN terpilih kelak tidak menjadi beban baginya semasa periode jabatan terakhirnya hingga 2024.
Jokowi tentu mendambakan husnul khotimah (akhir yang baik) untuk periode terakhirnya ini, setidaknya tanpa catatan kegagalan atau resistensi publik, atau bahkan tidak diturunkan di tengah jalan. Terlebih lagi proyek ibu kota baru atau Ibu Kota Negara (IKN) ini adalah legacy (warisan) sekaligus pertaruhan Jokowi di periode akhir jabatan kepresidenannya.
Nah, seperti apa profil ketiga kandidat lainnya yang bakal bersaing dengan Zhong Wanxue (nama Tionghoa dari BTP) untuk memikul amanat legacy tersebut?
Pertama, Ir. Tumiyana, MBA. Sebagai Direktur Utama PT Wijaya Karya (WIKA), Tbk, Warga Negara Indonesia (WNI) kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 10 Februari 1965 (55 tahun) ini adalah alumnus Fakultas Teknik Sipil Universitas Borobudur Jakarta tahun 1994 dan Magister Manajemen dari Jakarta Institute of Management Studies (IPWI) tahun 1997.Â
Sebelum bergabung dengan WIKA pada 2018, Tumiyana pernah menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Direktur Utama PT PP (Persero) Tbk. Dan saat ini selain menjabat sebagai Dirut WIKA, Tumiyana juga menduduki posisi Komisaris PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sejak 2018 sebagai bagian dari perwakilan konsorsium RI untuk proyek kereta cepat Indonesia dan RRC.
Dalam proyek kerja sama tersebut, Jokowi memberikan mandat kepada para perusahaan BUMN yakni WIKA, Jasa Marga, PT KAI, dan PTPN VIII untuk membentuk konsorsium perwakilan Indonesia sebagai pemegang saham bersama dengan BUMN RRC.