Judul buku         : Asas-Asas Hukum Muamalat
Penulis             : KH. Ahmad Azhar Basyir, MA
Penerbit            : UII PRESS YOGYAKARTA (anggota IKAPI)
Tahun Terbit       : 2004
A. Muamalat
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang- orang lain disebut muamalat. Setiap orang mempunyai hak yang wajib selalu diperhatikan orang lain dan dalam waktu sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. Hubungan hak dan kewajiban itu diatur dengan kaidah-kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antara berbagai kepentingan. Kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat itu disebut hukum muamalat.
Muamalat dengan pengertian pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungan dengan orang lain yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban itu merupakan bagian terbesar dalam hidup manusia. Oleh karenanya, agama Islam menempatkan bidang muamalat ini sedemikian penting hingga hadis Nabi mengajarkan bahwa agama adalah muamalat. Adapun sumber hukum muamalat yaitu Al-quran, sunah Rasul dan ra'yu atau ijtihad. Hukum muamalat Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Alquran dan sunah Rasul.
- Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
- Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Objek hukum muamalat, dalam pengertiannya yang terbatas, hanya menyangkut urusan-urusan keperdataan dalam hubungan kebendaan, dan meliputi tiga masalah pokok yaitu yang pertama Hak dan pendukungnya, kedua Benda dan milik atasnya dan yang ketig Perikatan hukum (akad).
B. Hak Dan Pendukungnya
Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari sesuatu hal. Misalnya, dalam perikatan jual beli, pihak pembeli berhak menerima barang yang dibelinya, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga menyerahkan harganya. Demikian pula pihak penjual, ia berhak menerima harga penjualan barang, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga menyerahkan barangnya. Di dalam hukum Islam mengenal berbagai macam hak yang pada pokoknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: hak Allah, hak manusia dan hak gabungan antara keduanya.
Hak yang dapat diwariskan adalah yang menyangkut kebendaan, misalnya hak jangka waktu dalam utang piutang. Jika seseorang berutang kepada orang lain sejumlah uang tertentu dalam jangka waktu tertentu (satu tahun misalnya), tiba-tiba sebelum satu tahun si berutang meningga. Apakah hak jangka waktu utang satu tahun itu dapat diwariskan, dengan akibat bahwa sebelum tiba waktunya untuk membayar utang itu, ahli waris berutang tidak berkewajiban untuk melunasi dengan harta peninggalan si berutang.
Pendukung hak adalah manusia yang memiliki berbagai macam hak kodrati atas pemberian Tuhan. Fikih Islam menggunakan istilah ahliyah untuk menunjuk arti kecakapan. Kecakapan mendukung hak disebut ahliyatul wujub dan kecakapan menggunakan hak terhadap orang lain disebut ahliyatul ada. Ada beberapa hal yang menjadi penghalang kecakapan orang melakukan perbuatan hukum. Penghalang-penghalang itu ada yang berakibal mengurangi, menghilangkan atau mengubah kecakapan. Macam-macam penghalang itu ialah: gila, seperti gila (rusak akal), mabuk, tidur, pingsan, pemboros, dungu, utang, dan sakit yang mengakibatkan kematian.
C. Benda dan  Milik
Menurut istilah Fikih Islam, benda adalah segala sesuatu yang mungkin dimiliki seseorang dan dapat diambil manfaatnya dengan jalan biasa. Maka, segala sesuatu yang telah menjadi milik seseorang, baik berupa tanah, barang-barang, binatang, perhiasan, uang dan sebagainya termasuk benda. Pengelompokan benda dapat didasarkan pada berbagai macam segi. Ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dipindahkan, benda dibagi dua yaitu benda tetap dan benda bergerak. Kemudian ditinjau dari segi dapat atau tidaknya diganti dengan benda lain, benda dibagi dua: benda yang dapat diganti dengan benda lain yang sama (mitsli) dan benda yang hanya dapat diganti dengan harga (qimi). Sedangkan dari segi bernilai atau tidaknya, benda dibagi dua: benda bernilai (mutaqawwam) dan benda tak bernilai (ghairu mutaqawwam).
Sedangkan makna Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak. Meskipun segala macam benda mempunyai sifat dapat dimiliki, ditinjau dari boleh atau tidaknya benda itu dimiliki, terdapat tiga macam benda, yaitu:
- Benda yang sama sekali tidak boleh diserahkan menjadi milik perorangan. yaitu segala macam benda yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti: jalan umum, perpustakaan umum, museum umum dan sebagainya.
- Benda yang pada dasarnya tidak dapat menjadi milik perorangan, tetapi dimungkinkan untuk dimiliki apabila terdapat sebab- sebab yang dibenarkan syarak. Misalnya, harta wakaf dan harta milik baitul mal.
- Benda yang sewaktu-waktu dapat menjadi milik perorangan, yaitu semua benda yang tidak disediakan untuk umum, bukan harta wakaf dan bukan milik baitul mal.
Milik ada dua macam, yaitu milik sempurna dan milik tidak sempurna. Milik sempurna memiliki 2 ciri-cirinya yaitu tidak dibatasi dengan waktu tertentu dan pemilik mempunyai kebebasan menggunakan, memungut hasil dan melakukan tindakan- tindakan terhadap benda miliknya, sesuai dengan keinginannya. Sedangkan milik tidak sempurna ada 3 macam yaitu Milik atas zat benda saja (raqabah) tanpa manfaatnya, Milik atas manfaat atau hak mengambil manfaat benda dalam sifat perorangan dan Hak mengambil manfaat benda dalam sifat kebendaannya yaitu yang disebut hak-hak kebendaan. Cara memperoleh milik sempurna yakni dengan cara menguasai benda mubah, akad (perikatan) pemindahan milik, penggantian milik dari orang yang telah meninggal (warisan), syuf'ah.
D. Akad
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Sedangkan Rukun akad adalah ijab dan kabul sebab akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul. Agar ijab dan kabul benar-benar mempunyai akibat hukum, diperlukan adanya tiga syarat sebagai berikut :
- Ijab dan kabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapan- ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya.
- Ijab dan kabul harus tertuju pada suatu objekyang merupakan objek akad.
- Ijab dan kabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila  dua belah pihak sama-sama hadir, atau sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir.
Pengertian sighat akad yaitu dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul. Sedangkan makna dari keinginan sepihat adalah Orang yang menyatakan keinginan untuk mewakafkan pekarangan guna membangun masjid misalnya berarti telah menetapkan kewajiban terhadap diri sendiri untuk mewakaf- kan pekarangannya tersebut tanpa memerlukan kabul pihak lain.
Dari contoh tersebut di atas dapat diperoleh ketentuan bahwa keinginan sepihak dapat menimbulkan kewajiban terhadap orang yang menyatakan keinginannya, tanpa adanya kabul dari pihak lain. Contoh-contoh lain dapat disebutkan umpamanya hibah, nazar, menang- gung utang orang lain, wasiat, dan sebagainya. Jika keinginan sepihak tersebut kita terapkan dalam akad, yang rukun-rukunnya adalah ijab dan kabul, tidak tergambar adanya suatu akad yang terbentuk dari keinginan sepihak sebab tidak terdapat seseorang dalam satu waktu menyatakan ijab dan kabul untuk diri sendiri. Maka, Imam Syafii berpendapat bahwa suatu akad dipandang tidak sah apabila hanya dinyatakan oleh satu pihak saja, tanpa ada pihak lain.
Dalam akad ini terdapat niat dan perkataan dalam akad, makna niat sendiri adalah suatu gerakan hati untuk melakukan sesuatu. Niat dapat diketahui ada apabila dinyatakan dengan perkataan. Apabila akad terjadi dengan perkataan, tetapi dirasakan atau diduga tidak sesuai dengan niat atau keinginan yang terkandung dalam hati, perkataan dalam akad itu dipandang tidak mempunyai akibat hukum atau diartikan sejalan dengan isi niat atau keinginan yang ada. Dalam hal ini dapat terjadi banyak kemungkinan sebagai berikut :
- Perkataan yang dinyatakan dapat menimbul-kan kewajiban atau membentuk akad, tetapi orang yang mengatakannya tidak mengerti bahwa perkatan itu mempunyai arti demikian.
- Perkataan yang dapat dimengerti oleh yang menyatakan mempunyai akibat hukum, tetapi ia tidak sengaja dalam menyatakannya, main-main atau tidak sadar.
- Perkataan yang mempunyai akibat hukum, orang yang menyatakan mengetahui hal itu dan ia pun menyatakannya dengan sengaja, tetapi ia tidak mempunyai niat atau keinginan untuk menumbuhkan kewajiban atau mengadakan akad dengan perkataannya itu.
- Perkataan yang mempunyai akibat hukum, orang yang menyatakan pun mengetahui hal itu, tetapi ia menyatakan karena dipaksa.
- Perkataan yang menurut pengertian bahasa- nya menunjukkan arti akad atau menimbulkan kewajiban tertentu, tetapi yang bersangkutan menginginkan yang lain.
- Perkataan dalam akad yang dimaksudkan untuk mencapai maksud yang tidak dibolehkan syarak.
Adapun syaratnya ada yang menyangkut rukun akad, ada yang menyangkut objeknya dan ada pula yang menyangkut subjeknya.
a). Syarat objek akad
Telah ada pada waktu akad diadakan, Dapat menerima hukum akad, Dapat di tentukan dan di ketahui dan Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
b). Syarat subjek akad
Ijab dan kabul yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang mengadakan akad. Akan tetapi, tidak semua orang dipandang cakap mengadakan akad, ada yang sama sekali dipandang tidak cakap, yang andaikata menyatakan ijab dan kabul dipandang tidak ada nilainya, ada yang dipandang cakap mengenai sebagian tindakan, tetapi tidak cakap mengenai sebagian tindakan lainnya, ada pula yang dipandang cakap melakukan segala macam tindakan.
Perwalian dalam bahasa Arab disebut wilayah. Bila kekuasaan melakukan tindakan hukum itu dipergunakan untuk diri sendiri disebut wilayah ashliyah. Apabila orang yang sehat akal dan telah balig itu melakukan tindakan hukum atas nama orang lain, yaitu orang-orang yang berkecakapan tidak sempurna, kekuasaan melakukan tindakan hukum atas nama orang lain itu disebut kekuasaan tidak asli, atau wilayah niyabiyah. Istilah perwalian (wilayah) dalam Fikih Islam lebih luas pengertiannya daripada perwalian dalam hukum perdata positif. Wilayah menitikberatkan pada arti kekuasaan melakukan tindakan-tindakan hukum, baik atas nama diri sendiri atau atas nama orang lain, termasuk perwakilan.
a). Macam Perwalian
Perwalian dapat terjadi atas diri orang atau atas harta benda. Perwalian atas diri orang misalnya melakukan hal-hal yang diperlukan bagi hidup anak-anak di bawah umur, seperti mengasuh, mendidik, mengajar, dan mengawinkan.
b). Akad Atas Dasar Kecakapan dan PerwalianÂ
Ada tiga kasus yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan dengan akad yang didasarkan atas pertimbangan tentang adanya kecakapan dan perwalian (kekuasaan).
1. Apabila subjek akad berkecakapan sempurna dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan akad, akad yang diadakannya sah dan dapat diluluskan (dilaksanakan), kecuali apabila mendatangkan kerugian atas orang lain.
2. Akad yang terjadi dari orang yang tidak mempunyai kecakapan dan kekuasaan sama sekali dipandang batal. Misalnya, akad yang dilakukan anak belum tamyiz atau orang sakit gila.
3. Akad yang terjadi dari orang yang berkeca- kapan sempurna, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan akad atas nama orang lain, akad yang dilakukan bergantung pada izin orang lain yang digunakan namanya.Â
c). Syarat wali
Syarat-syarat wali sebagai berikut:
1. Wali anak kecil atas tunjukan ayah atau kakeknya harus dapat dipercaya dan mampu melakukan sesuatu yang dikuasakan kepadanya, kecuali itu juga telah balig.
2. Tidak boleh melakukan tindakan yang mendatangkan kerugian terhadap orang di bawah perwaliannya
d). Akad dan tindakan wakil
Akad atau tindakan- tindakan hukum yang dapat dilakukan wakil tidak terbatas, seperti halnya akad atau tindakan- tindakan hukum yang dapat dilakukan seseorang juga tidak terbatas. Akan tetapi, wakil harus selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan atau batas-batas yang diberikan oleh yang mewakilkan, yang jika dilanggar mengakibatkan tindakan-tindakannya tidak sah.
e). Hukum dan hak akad
Yang dimaksud dengan hukum akad adalah maksud dan tujuannya. Misalnya, dalam akad jual beli, hukum akad adalah pemilikan barang yang diperjualbelikan bagi pembeli dan pemilikan harga barang bagi penjual. Yang dimaksud dengan hak-hak akad adalah perbuatan-perbuatan yang mesti dilakukan guna tercapainya hukum akad. Misalnya, menyerahkan barang yang diperjualbelikan oleh penjual, penerimaan harga barang oleh penjual, mengembalikan barang yang diperjualbelikan karena cacat, hak membatalkan atau melangsungkan akad dan sebagainya.
f). Berakhirnya perwakilan
Suatu perwakilan dipandang telah berakhir dengan salah satu dari banyak hal, dan yang terpenting adalah hal-hal sebagai berikut:
- Apabila maksud perwakilan telah tercapai.
- Apabila yang mewakilkan menangani sendiri hal yang diwakilkan kepada orang lain.
- Apabila wakil dihentikan oleh yang mewakilkan.
- Apabila yang mewakilkan meninggal atau sakit gila yang parah.
- Apabila wakil menarik diri dari akad perkawinan.
- Apabila wakil kehilangan kecakapan karena sakit gila yang parah.
- Apabila yang menjadi objek perwakilan menjadi musnah atau lenyap.
Orang yang melakukan tindakan-tindakan hukum adakalanya atas namanya sendiri karena pertama, memang berkecakapan dan mempunyai kekuasaan asli (wilayah ashliyah), dan adakalanya bertindak atas nama orang lain, kedua, memang mempunyai kecakapan dan memperoleh kuasa dari orang lain untuk itu. Kemungkinan ketiga, seseorang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum, tetapi tidak mempunyai kekuasaan asli atau kekuasaan yang diperoleh dari orang lain untuk melakukannya. Para fukaha tidak sependapat mengenai sah atau tidaknya tindakan orang lancang ini. Fukaha mazhab Hanafi berpendapat bahwa tindakan tersebut sah, tetapi pelaksanaannya digantungkan kepada izin orang yang berkepentingan. Jika ia mengizinkan, dapat dilaksanakan jika tidak, dipandang batal. Pendapat ini dianut para fukaha mazhab Maliki. Kebanyakan fukaha mazhab Syafii berpendapat bahwa tindakan orang lancang tidak sah, meskipun orang yang berkepentingan mengizinkan. Fukaha mazhab Hambali sependapat dengan kebanyakan fukaha Syafiiah.
Adapun Tujuan akad yaitu memperoleh tempat penting untuk menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak, dipandang halal atau haram, seperti pernah dibicarakan di muka mengenai hubungan niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan-perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk berjudi, tidur siang itu menjadi haram.
Syarat tujuan akad
- Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
- Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. Misalnya, dalam akad sewa menyewa rumah dalam jangka dua tahun.
- Tujuan akad harus dibenarkan syarak. Jika syarat ini tidak dipenuhi, akad dinyatakan tidak sah, seperti akad riba dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan cacat pada akad adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hal-hal yang dipandang merusak terjadinya akad adalah: paksaan, kekeliruan, penipuan atau pemalsuan dan tipu muslihat.
Di kalangan fukaha terjadi perbedaan pendapat mengenai sampai di mana orang mempunyai kemerdekaan membuat akad dan syarat-syarat. Perbedaan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan pendapat.
- Ulama-ulama mazhab Zahiri berpendapat bahwa pada dasarnya akad dan syarat yang berhubungan dengannya adalah dilarang, kecuali yang oleh syarak diizinkan.
- Ulama-ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa pada dasarnya akad dan syarat yang berhubungan dengannya adalah mubah, kecuali yang oleh syarak dinyatakan haram.
- Ulama-ulama mazhab Hanafi, Syafii, beberapa ulama pengikut Imam Malik dan Ahmad mirip dengan prinsip mazhab Zahiri, tetapi agak memberikan keluasan dengan adanya prinsip kias dan amal sababat yang dapat dijadikan sumber hukum selain Alquran dan Sunah Rasul. Lebih-lebih di kalangan ulama mazhab Hanafi yang menerima 'urf menjadi salah satu sumber hukum yang kedudukannya amat kuat dan kadang-kadang disejajarkan dengan kekuatan syarak.
Akad dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan yang menjadi segi tinjauan pembagi- annya, misalnya ditinjau dari segi sifat dan hukumnya, dari segi wataknya atau hubungan tujuan dengan sighatnya dan dari segi akibat- akibat hukumnya. Akad yang sah dapat dibagi menjadi dua, yaitu akad yang dapat dilaksanakan tanpa bergantung kepada hal-hal lain, dan akad yang bergantung kepada hal lain.Â
Khiyar menurut arti harfiahnya ialah memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Dalam akad, khiyar berarti hak memilih bagi pihak-pihak bersangkutan untuk melangsungkan atau tidak melangsungkan akad yang telah diadakan bila hal dimaksud menyangkut khiyar syarat, khiyar rukyat atau khiyar cacat. Khiyar berarti hak memiliki antara barang-barang yang diperjualbelikan bilahal dimaksud menyangkut penentuan barang yang akan dibeli (khiyar ta'yin).
Khiyar ta'yin
Apabila seseorang mengadakan akad jual beli yang objeknya tidak hanya berupa sebuah barang, tetapi yang sebenarnya akan menjadi objek hanya salah satu saja, dan oleh pihak penjual, pembeli diperbolehkan memilih mana yang disenangi, hak pembeli untuk menentukan pilihan salah satu barang itu disebut khiyar ta 'yin.
Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah hak memilih antara melangsungkan atau membatalkan akad yang telah terjadi, bagi masing-masing atau salah satu pihak, dalam waktu tertentu.
Khiyar Rukyat
Hak khiyar yang dipunyai pembeli karena melihat barang setelah akad terjadi
Khiyar cacat
Apabila seseorang mengadakan akad, jual beli misalnya, objek akad tidak diketahui atau dinyatakan cacat tiba-tiba setelah pembeli menerima barang terlihat adanya cacat asal, pembeli mempunyai hak khiyar, memilih antara melangsungkan atau mengurungkan akad yang pernah diadakan atas dasar cacat pada barang.
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Tentang masalah kecakapan orang melakukan tindakan-tindakan hukum telah dibicarakan di atas, yaitu yang menyangkut ahliyatul ada'. Yang perlu dibicarakan sekarang adalah masalah perwalian dan masalah-masalah yang erat hubungannya, seperti tindakan wakil, tindakan orang lancang dan sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H