Mohon tunggu...
Nur Rokhman
Nur Rokhman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Music is my lifestyle

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi: Analisis Perbandingan Pendapat Ulama di Media Sosial dengan Fatwa DSN MUI Terkait Kesyariahan Asuransi Syariah

28 Mei 2024   00:11 Diperbarui: 28 Mei 2024   00:49 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama                                             : Nur Rokhman

NIM                                              : 212111026

Kelas                                             : HES 6A

Matkul                                           : Asuransi Syariah (UAS)

Dosen                                            : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Tema Review Skripsi                  : Pendapat-Pendapat Ulama Tentang Asuransi dan Fatwa Asuransi Syariah

Judul Skripsi                                : ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPAT PARA MUBALIGH DI MEDIA SOSIAL TENTANG KESYARIAHAN ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA PRESPEKTIF FATWA DSN MUI

Penulis                                          : Cahya Utami Aldana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022

Pendahuluan                                

Perkembangan dunia modern yang semakin pesat senantiasa menuntut kebutuhan manusia untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia saat ini. Kebutuhan manusia yang semakin berkembang dan tidak terbatas sejatinya tidak akan lepas dari banyaknya  resiko juga yang mungkin terjadi. Resiko-resiko tersebut dapat menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri ataupun manusia lainnya. Dari hal tersebut maka diperlukan berbagai cara yang harus dilakukan untuk melindungi kepentinngan pribadi khususnya dan kepentingan publik pada umumnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menjaminkan diri dan segala harta yang dimiliki kepada perusahaan asuransi yang terpercaya.

Di Indonesia dikenal 2 jenis asuransi yakni Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional. Dua jenis asuransi ini pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi manusia atas resiko-resiko yang mungkin mngancam manusia tersebut di masa depan. Dalam operasionalnya, asuransi syariah berjalan berdasarkan prinsip syariah. 

Prinsip syariah yang dianut dalan asuransi syariah yakni  pertama, ta'awun atau dapat diartiakn sebagai prinsip tolong menolong, tidak menitikberatkan apada keuantungan dan bisnis semata serta melindungi penderitaan sesama umat manusia. Kedua, prinsip saling bertanggung jawab antar sesama nasabah. Ketiga, prinsip saling kerja sama antar umat Islam untuk memperbanyak dana guna saling membantu antar sesama muslim jika suatu saat terjadi sesuatu yang mengancam jiwa dan harta umat muslim.

     Adapun prinsip syariah yang tercantum dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan bahwa prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam urursan penetapan fatwa dinamakan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sampai dengan saat ini perkembangan perusahaan asuransi syariah semakain banayak di Indonesia. Hal ini menjadi dasar bagi DSN MUI untuk menerbitkan fatwa terkait dengan asuransi agar tidak terjadi kekosongan hukum tentang sistem operasional asuransi dan menjadikan sebuah buku panduan dalam pengaplikasian konsep syatiah asuransi.

     Setidaknya terdapat sembilan fatwa tentang asuransi diantaranya Fatwa DSN MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah. Fatwa ini menjadi payung hukum asuransi syariah. Adapun selanjutnya Fatwa No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji. Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah. Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Wakalah bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Fatwa No. 53/DSN MUI/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Fatwa No. 81/DSN-MUI/III/2011 tentang Pengembalian Kontribusi Tabarru' Bagi Peserta Asuransi yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir. Fatwa No. 106/DSN-MUI/III/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah. Fatwa No. 128/DSN-MUI/VII/2019 tentang Penyelanggaran Usaha Pialang Asuransi dan Usaha Pialang Reasuransi Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa No. 139/DSN-MUI/VIII/2021 Pemasaran Produk Asuransi Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh DSN MUI dijadikan dasar atau rujukan asuransi syariah di Indonesia dalam operasinya.

     Keberadaan asuransi syariah di Indonesia berdasarkan fatwa DSN MUI itu diperbolehkan karena mengandung unsur perlindungan, kebaikan, dan yang paling identik adalah berbagi resiko. Akan tetapi perkembangan asuransi syariah di Indonesia masih diperdebatkan kesyariahannya oleh para mubaligh yang viral di media sosial saat ini. Salah satu pendapat mubaligh yang beranggapan bahwa asuransi itu haram karena dianulir terdapat manipulasi maksud yang sebenarnya dalam asuransi syariah hanya menjanjikan suatu hal yang belum tentu/pasti hasilnya. Ketidaksebandingan antara klaim dengan jumlah premi yang harus dibayarkan dianggap asuransi hanya menjual ketakutan manusia. Selain itu menurut persepsi para mubalugh,asuransi syariah juga belum lepas dari unsur maysir (judi), gharar (spekulasi), dan riba karena masih ada perusahaan asuransi yang berusaha untuk mengembalikan dana nasabah dalam kurun waktu tertentu ketika tidak terjadi resiko.

     Perbedaan pendapat tersebut tentunya mengakibatkan keraguan dibenak para nasabah dan pastinya mengurangi kepercayaan nasabah terhadap eksistenti lembaga asuransi syariah terkait kesyariahannya. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai adanya adanya perbedaan pendapat antara para mubaligh di media sosial dengan fatwa-fatwa yang diterbitkan DSN MUI tentang asuransi apakah tidak sesuai dengan prinsip syariah atau terdapat perbedaan pendapat kesyariahan antara yang disampaikan oleh mubaligh di media sosial dan yang telah disampaikan oleh DSN MUI. 

Alasan Memilih Judul Skripsi Diatas: 

Masa sekarang ini banyak orang yang bertanya-tanya bahkan bingung terkait apakah asuransi syariah itu benar-benar syariah. Disisi lain banyak dakwah ulama yang viral di media sosial terkhusus membahas asuransi syariah yang sebenarnya tidak syariah. Hal ini menambah kegusaran hati para masyarakat terkhusus yang sudah mengikuti asuransi syariah. Maka dari itu review skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan bahwa sebenarnya asuransi syariah benar-benar telah memegang kesyariahannya dan dijamin dengan adanya ketentuan Fatwa DSN MUI tentang Asuransi Syariah

Pembahasan

A. Pendapat-Pendapat Ulama di Media Sosial Tentang Asuransi Syariah

1.) Pendapat Buya Yahya 

Menurut Buya Yahya, penggunaan label syariah pada suatu aktivitas muamalah adalah suatu hal yang penting dan sudah sepantasnya kita percaya. Hal ini karena adanya istilah syariah hadir karena adanya suatu hal yang tidak syariah.Sebagai contoh adanya bank syariah pasti ada juga bank yang tidak syariah. Hal ini juga berlaku pada asuransi syariah. Diluar asuransi syariah maka terdapat asuransi yang tidak syariah, seperti asuransi konvensional. Asuransi konvensional rentan terjadi perjudian didalamnya. Berbeda dengan asuransi syariah didalamnya terdapat unsur tabarru' atau tolong menolong. "...memberi dalam asuransi syariah niatnya adalah untuk tolong menolong bukan untuk mengambil ...".

Adanya asuransi syariah dan asuransi konvensional cenderung membuat orang yang kurang paham tentang esensinya sering keliru memahaminya. Hal tersebut wajar dalam kegiatan muamalah. Akan tetapi kesalahan semacam itu tidak perlu dilebih-lebihkan dan dijadikan alasan untuk menghancurkan label asuransi syariah. Hal yang patut dilakukan adalah menegurnya dan memberikan edukasi.

2.) Pendapat Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Perdebatan terkait halal dan haramnya asuransi syariah sudah tidak asing lagi dibenak masyarakat Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia yang ragu akan kehalalan asuransi syariah karena dianggap masih terdapat unsur gharar seperti pada asuransi konvensional. Padahal sudah jelas asuransi syariah itu telah dijamin kehalalannya oleh fatwa yang dikeluarkan DSN MUI.

Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA memberikan perumpamaan jika asuransi syariah terdapat unsur riba dan gharar. Gharar  dalam asuransi syariah dapat diatasi dengan adanya akad tabarru.Adanay akad ini menjadikan setiap peserta  yang menyerahkan uang untuk kontribusi bukan lagi berharap untuk mendapat ganti akan tetapi untuk membantu sesama anggota lain ketika terkena musibah/resiko. Meskipun begitu, pada dasarnya orang yang mengikuti akad tabarru juga dibatasi. "...Para peserta kemudian tidak mempunyai waktu untuk mengelola, maka mereka tunjuk pihak ke dua untuk mengelola yaitu pihak perusahaan asuransi. Pihak asuransi akan mendapatkan fee atau ujrah untuk pengelolaan ini, karena sudah dapat fee maka bila uang yang terkumpul surplus atau ada sisa maka tidak boleh diambil oleh perusahaan asuransi, bila juga terdapat kekurangan tidak boleh ditutupi harus dikembalikan kepada peserta asuransi syariah seluruhnya.." Ucap Ustads Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

3.) Pendapat Ustadz Khalid Basalamah, MA.

Ustadz Khalid Basalamah berpendapat mengenai asuransi syariah dalam youtubenya bahwasanya asuransi sekalipun syariah tetap tidak menjamin dilindingui Allah SWT. Menurutnya juga asuransi syariah terdapat gharar karena jika pembatalan polis dikenai biaya pembatalan sebesar 70%. Hal ini dianggap zalim. Beliau juga menambahkan asuransi tidak ada hubungannya dengan investasi. Beliau lebih menyarankan menabung dan investasi karena itu lebih baik dari asuransi.

4.) Pendapat Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA.   

Menurut Ustadz Muhammad Arifin Badri, reasuransi pada asuransi syariah adalah bentuk ketidakpercayaan asuransi pada perusahaannya sendiri. Hal ini karena perusahaan asuransi tujuan utamanya memberikan jaminan pada nasabah tetapi nyatanya menjaminkan dirinya pula. "...saya ditawarkan produk kesehatan terbaru sesuai dengan syariat. Saya bilang, perusahaan asuransi di asuransikan juga nggak? Perusahaan asuransi itu ternyata diasuransikan juga. Padahal mereka bisnisnya apa? Jangan khawatir nanti kalau bapak sakit kita berikan jaminan. Padahal mereka sendiri tidak percaya dengan asuransi sendiri..." kata Ustaz Muhammad Arifin Badri.

Selain itu beliau juga berpendapat walaupun asuransi dengan label syariah hukumnya tetap sama dengan asuransi pada umumnya Apalagi jika tidak ada claim masih juga ada aspek hangus. Tidak ada dasarnya menghanguskan uang peserta karena peserta tidak memakan harta perusahaan. Kemudian perusahaan juga tidak memberi barang kepada peserta, dan tidak juga memberi jasa kepada peserta. Oleh karena itu masih adanya kedzaliman, memakan harta orang lain dengan cara-cara yang dzalim. "...jika uang kita rubah menjadi barang, kemudian nanti menjadi uang kembali maka itu bisnis. Uang kita digunakan untuk dapatkan jasa layanan kemudian mendapatkan keuntungan, maka itu namanya bisnis dan itu halal. Tapi kalau uang dengan uang menghasilkan keuntungan maka sudah dipastikan kalau itu riba...". Kata Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri dalam channel youtubenya.

5.) Pendapat Ustadz Condro Dwi Triono, Ph.D.

Terdapat suatu hadis yang menjadi dasar kebolehan asuransi syariah yakni sabda Rasulullah SAW , "kaum asy'ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata diantara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan akupun bagian dari mereka". (H.R. Muttafaq 'Alaih). Akan tetapi menurut Ustadz Condro hadis tersebut belum bisa dijadikan dalil yang membolehkan asuransi syariah. Pasalnya, maksud dalam hadis ini bahaya/resiko terjadi terlebih dahulu kemudian baru tolong menolong. Hal ini nyatanya sejalan dengan prinsip asuransi syariah sekarang ini, belum ada resiko tetapi sudah ada pengadaan dana tabarru (dana tolong menolong).

Selain hal diatas, terdapat beberapa alasan lain mengenai haramnya asuransi syariah menurut Ustadz Condro yakni pertama,terdapat unsur multi akad. Hal ini ditujukan pada mekanisme asuransi syariah saving dan non-saving. Dalam asuransi syariah berbasis non-saving mengandung akad hibah dan ijarah,sedangkan pada asuransi berbasis saving  terdapat akad hibah,ijarah, dan mudharabah. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW transaksi multiakad adalah haram dan hal itu dilarang, "Rasulullah SAW melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)". (H.R. Imam Ahmad).

Kedua, adanya akad hibah yang diharamkan. Secara syariat yang dimaksud dengan hibah yakni kepemilikan tanpa kompensasi/pemberian cuma-cuma. Akan tetapi penerapan akad hibah dalam asuransi syariah mengharapkan adanaya pengembalia berupa kompensasi. Hal inilah yang tidak dibenarkan menurut hadis Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sabdanya,"orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya". (H.R. Bukhari dan Muslim). Ketiga, adanya maysir (judi). Hal ini ditunjukan dengan adanya pihak yang terlibat, adanya harta yang disetorkan, adanya pertaruhan, dan ada yang menang dan ada pula yang kalah. Keempat, mengandung gharar. Unsur ini dalam ppenrapan asuransi syariah ditunjukan ketika peserta tidak mengetahui dengan jelas dalam akad investasi perusahaan bertindak sebagai pengelola atau pengelola sekaligus pemodal ketika perusahaan melempar dana ke pihak ketiga.

6.) Pendapat Ustadz Dr.Syafiq Riza Basalamah, MA.

Dalam channel youtubenya pada ceramah yang berjudul Hukum Asuransi, Asuransi terbaik dalam Islam beliau menjelaskan bahwa asuransi yan palin tepat adalah mengasurasikan diri kita langsung kepada Allah SWT. Terkait asuransi syariah jika hanya bersifat menabung boleh saja dan akadnya jelas, "...jika asuransi hanya menabung sifatnya, tidak ada keuntungan apa-apa, tidak ada riba nya, ya silahkan..." kata Ustadz Dr.Syafiq Riza Basalamah, MA.

7.) Pendapat  Ustadz Ammi Nur Baits

Menurut beliau terkait asuransi syariah, prinsip asuransi sejatinya seseorang bisa memeperoleh keuntungan dari orang lain sesuai perjanjian yang dibuat, yang pastinya ada unsur mukhtarah, ada pula spekulasi/ gharar.Hal ini terwujud ketika membayar senilai tertentu (premi), kemudian perusahaan asuransi akan memberikan jaminan resiko.

B. Analisis Pendapat Para Ulama Persperktif Fatwa DSN MUI

1. Identifikasi Isu Pada Asuransi Syariah Menurut Pendapat Ulama di Media Sosial

Jika kita berkaca pada hukum dasar muamalah yang mubah (boleh) selama belum ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya, maka asuransi syariah pada dasarnya diperbolehkan . Akan tetapi seiring berjalannya perkembangan asuransi syariah banyak isu-isu yang membuat masyarakat khususnya nasabah asuransi menjadi ragu akan kehalalan asuransi syariah. Hal seperti ini juga yang turut menjadi perdebatan oleh para ulama yang viral di media sosial. Terdapat beberapa isu yang hangat menjadi perdebatan para ulama tersebut antaralain :

  • Gharar : Menurut bahasa arab kata gharar  berarti menipu. Secara istilah gaharar dapat diartikan sebagai sebuah kemungkinan dimana kemungkinan adalah suatu kejadian  yang belum jelas atau belum tentu terjadi. Dalam muamalah suatu kesepakatan yang mengandung ketidakpastian dilarang oleh syariat. Diatas telah disinggung oleh pendapat Ustadz Condro bahwasanya gharar dalam asuransi syariah terlihat ketidakjelasan posisi perusahaan asuransi saat melakukan investasi dana nasabah, apakah sebagai pemodal atau pengelola. Selain itu dana yang diinvestasikan juga tidak jelas. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Ustadz Ammi Nur baits dimana premi yang dibayarkan nasabah bisa jadi mendapatkan hasil bisa juga hilang. Hal ini tidak jelas dan merupakan spekulasi karena adanya prinsip untung-untungan.
  • Maysir : Maysir (perjudian) dapat diartikan sebagai suatu transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih yang bertujuan menguasai suatu harta dengan adanya pertaruahan yang menang dan kalah. Dalam kegiatan muamalah, maysir jelas dilarang karena tidak sesuai dengan syariah. Pandangan mengenai adanya maysir dalam asuransi syariah disampaikan oleh Ustadz Condro yakni letak maysir akan tampak ketika adanya permainan yang dipertaruhkan oleh nasabah yakni pertaruhan terkait resiko atau musibah. Karena klaim asuransi akan lebih cepat diperoleh ketika nasabah mengalami musibah. Ditambah lagi dengan adanya sistem untung rugi, bagi nasabah yang mengalami musibah akan memperoleh ganti rugi dari nasabah lain sedangkan nasabah lainnya akan kehilangan uangnya. Pendapat lain yang serupa juga disampaikan Ustadz Ammi Nur Baits dimana dalam asuransi syariah nasabah yang uangnya sedikit bisa mendapat untung besar. Hal tersebut mirip dengan judi.
  • Riba: Dalam konteks muamalah, riba artinya tambahan. Tambahan bisa pada harta pokok ataupun pada setoran awal modal. Riba dalam asuransi syariah nampak ketika nasabah membayar polis ataupun pada saat pengajuan klaim. Secara detail dijelaskan pendapat Ustadz Khalid Basalamah bahwasanya riba pada asuransi syariah terjadi ketika adanya tambahanan dana saat investasi karena telah mencapai target tahunan. Selain itu adanya denda yang tetapkan ketika nasabah mengambil dana yang disetorkanny sebelum jatuh tempo. Hal ini menurutnya termasuk dalm praktik muamalah yang tidak syariah.
  • Ujrah : Secara bahasa ujrah artinya upah. Dalam asuransi syariah, perusahaan akan mengelola dana asuransi tersebut kemudian bila terjadi surplus atau keuntungan, maka keuntungan tersebut akan diberikan kepada nasabah. Maka dalam hal ini, uang (premi) yang diberikan haruslah diberikan kepada nasabah sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan perusahaan, tidak boleh mengambil keuntungan (fee) dari hasil uang (premi) yang disetorkan.
  • Hibah yang diharamkan: Hibah artinya pemberian cuma-cuma/ pemberian tanpa kompensasi. Dalam pelaksanaan asuransi syariah, hibah diharamkan menurut Ustadz Condro yakni ketika dana hibah/tabarru' diberikan tetapi peserta masih mengharap kompensasi. Ditambah lagi ketika adanya perubahan akad yakni dari akad tabarru' (tolong-menolong) menjadi akad tijarah (jual beli). Hal ini tidak sesuai syariah dikarenakan ada hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut. "Orang yang menarik kembali hibahnya, sama seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya" (H.R. Bukhari Muslim).

2. Analisis Persamaan Pendapat  Para Ulama di Media Sosial dengan Fatwa DSN MUI

a.) Persamaan Pendapat Ustadz Dr. Erwansi Tarmizi, MA

Beliau berpendapat bahwasanya pihak perusahaan asuransi yang mengelola dana nasabahnya berhak mendapatkan upah / ujrah . Pendapat ini nyatanya sama dengan ketentuan Fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 yang menyebutkan bagi perusahaan asuransi syariah boleh mendapatkan ujroh atau fee dari pengelolaan akad tabarru' dengan menggunakan akad wakalah bil ujrah sesuai dengan Fatwa DSN MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006. Perlu dikaetahui bahwa ujrah perusahaan asuransi syariah bukan berasal dari dana tabarru' ataupun premi nasabah melainkan atas besaran yang telah disepakati bersama dengan  nasabah.

b.) Persamaan Pendapat Ustadz  Condro Dwi Wibowo, Ph.D

Beliau berpendapat bahwa riba menjadi fokus utama yeng perlu dihapuskan dari segala macam lembaga keuanagan syariah adalah masalah riba. Hal Ini sejalan dengan aturan yang tercantum dalam Fatwa DSN MUI No. 53/ DSN MUI/ III/ 2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah. Asuransi syariah sendiri merupakan salah satu lembaga keuangan yang menggukanan akad tabarru' dalam pelakasanaannya. Akad tabarru' ini ditunjukan dengan dana yang dibayarkan diawal akad guna tujuan kebaikan yaknki nantinya akan dihibahkan kepada anggota lain yang terkena resiko. Hal ini untuk menghilangkan riba dalam pelaksnaan asuransi syariah.

c.) Persamaan Pendapat Ustadz  Buya Yahya

Menurut beliau, asuransi syariah itu sudah sesuai dengan aturan syara'. Masyarakat tidak perlu risau lagi akan kehalalan asuransi syariah karena asuransi syariah berbeda dengan asuransi lainya. Didalamnya terdapat akad tabarru' yang tidak ada dalam asuransi konvensional. Selain itu asuransi syariah telah dijamin kehalalannya dalam fatwa DSN MUI. Kita patut percaya karena orang-orang yang berada di DSN MUI bukanlah orang orang sembarangan. Proses penerbitan fatwa tentang asuransi syariah juga melaui proses yang panjang sehingga memiliki nilai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa  mereka semua memiliki kesamaan pendapat terkait bolehnya menjalankan asuransi syariah karena dianggap telah memenuhi ketentuan syara' bukan hanya bersumber pada nash dan sunnah  akan tetapi mengandung maslahat bagi masyarakat.

C. Analsis Perbedaan Pendapat Ulama di Media Sosial dengan Fatwa DSN MUI

1. Perbedaan Pendapat Ustadz Khalid Basalamah,MA.

Pendapat yang dikemukakan beliau menyebutkan bahwa tidaka ada bedanya antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Mengikuti asuransi syariah adalah bukti tidak percaya kepada Allah SWT menurutnya. Hal ini karena bergabungnya peserta asuransi awalnya hasil bujukan perusahaan asuransi dimana akhirnya dalam diri peserta tertanam rasa takut akan resiko. Pendapat tersebut dinilai bertentangan dengan konsep asuransi syariah yang sebenarnya. Didalam asuransi syariah terdapat prinsip tolong-menolong (tabarru') dimana antar sesama peserta asuransi salaing merasakan penderitaan sesama. Dalam konsep asuransi syariah yang sesungguhnya juga mengajarkan setiap peserta asuransi untuk bertawakal dan bukan tidak percaya pada perlindungan Allah SWT.

Terkait pendapat Ustadz Khalid Basalamah yang menyebutkan bahwa terdapat gharar dan kedzaliman dalam asuransi syariah karena disetiap pembatalan polis dikenakan denda 70% hal itu juga bertentangan dengan ketentuan Fatwa DSN MUI No. 81/ DSN-MUI/III/2011. Hal ini karena yang benar adalah setiap peserta asuransi tidak dibenarkan jika mengambil kembali dana tabarru' yang telah diabayarkan karena perjanjian dana tabarru' harus dilandasi keikhlasan.

Pendapat beliau yang bertentangan lainnya adalah terkait tidak ada hubungan antara asuransi syariah dengan investasi. Hal ini tidak dibenarkan karena setiap dana/premi asuransi akan diinvestasikan ke lembaga investasi syariah. Hasil keuntungan investasi nantinya juga akan kembali kepada pada setiap pemegang polis. Selain itu tujuan asuransi dengan investasi juga sama-sama agar memiliki kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang.

2. Perbedaan Pendapat Ustadz Muhammad Arifin Badri

Menurut beliau perusahan asuransi syariah adalah lembaga yang tidak percaya dengan asuransi itu sendiri karena dinilai perusahaan asuransi melakukan reasuransi tau asuransi balik. Hal tersebut tidak dibenarkan karena reasuransi atau asuransi balik merupakan upaya kerjasama yang dilakukan perusahaan aurasasi dan bukan untuk mencari keuntungan secara komersial. Lagipula reasuransi syariah merupakan anjuran yang tercantum dalam  Fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, yang memutuskan bahwa perusahaan asuransi syariah harus mengasuransikan kembali perusahaannya kepada perusahaan reasuransi syariah yang sesuai dengan prinsip syariah.

Pendapat Ustadz Muhammad Arifin Badri lainnya juga ada yang bertentangan terkait keuntungan yang diperoleh dalam asuransi syariah itu bersumber dari premi yang disetorkan. Hal tersebut tidaklah dibenarkan karena dalam konsep asuransi syariah karena sebagian dana premi yang dikumpulakan para peserta setiap bulannya itu disepakati bersama untuk dijadikan dana tabarru' yakni berfungsi untuk menolong peserta lain yang terdampak musibah. Hal tersebut ibarat sodaqah. Dana tabarru' diadakan juga sesuai dengan ketentuan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

3. Perbedaan Pendapat Ustadz Condro Dwi Triono, Ph.D

Terdapat beberapa pendapat beliau yang dianggap bertentangan diantarannya pertama, mengenai dalil Asy'ariyin yang tidak tepat dijadikan dasar pedoman asuransi syariah dianggap karena disebutkan bahaya harus terjadi dahulu, baru pertolongan boleh dilakukan. Kedua, dalam asuransi syariah terdapat multiakad dimana hal tersebut dilarang dalam kegiatan muamalah. Kedua pendapat tersebut bertentangan karena berdasarkan konsep asuransi yang sebenarnya bukanlah terjadi bahaya dahulu baru ditolong, melainkan asuransi syariah membantu meringankan beban setiap peserta baik sebelum atau sesudah terkena resiko. Hal tersebut juga memberikan rasa aman pada diri setiap peserta asuransi. Terkait multiakad dalam asuransi syariah merupakan kelonggaran dan hal itu sudah diatur dalam ketentuan fatwa fatwa DSN MUI No 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Adanya akad ijarah itu untuk tujuan komersil karena perusahaan asuransi sebagai pengelola dana peserta asuransi berhak mendapat ujrah sebagai balas jasa. Sedangkan akad hibah/tabarru untuk kepentingan tolong menolong antar peserta asuransi tidak bisa disamakan dengan akad ijarah. Intinya walaupun adanya multiakad dalam asuransi syariah (ijarah dan hibah)  berjalan sesuai porsi masing-masing tidak serta merta digabungkan.

Rencana Skripsi:

Saya memiliki rencana untuk menulis skripsi terkait Analisis Praktik Pemberian Bonus dalam Simpanan Wadiah Kepada Nasabah Prespektif Akad Wadiah dan Fatwa DSN MUI NO.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. Hal ini karena ada permasalahan yang tidak sesuai dengan teori akad wadiah dan fatwa DSN MUI tersebut di BMT dekat tempat tinggal saya. Hal ini menarik untuk saya telusuri lebih mendalam.

#asuransisyariah

#uinsurakarta2023

#prodiHES

#muhammadjulijanto

#fasyauinsaidsurakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun