"Kalau ada kesempatan," Riana berbisik penuh kehati-hatian, kendati dalam kamar kos yang sempit itu hanya ada kalian berdua. "Cium saja pipinya. Kemudian semua akan mengalir."
"Jangan gila," tukasmu. "Aku perempuan. Tak mungkin memulai duluan."
Riana menyeringai. "Ah, dasar pemula. Turuti saja kata-kataku. Kau pasti akan berbahagia dengannya. Hubungan tambah awet, dan kasih sayang tumbuh semakin dalam."
"Memangnya," bisikmu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. "Hubunganmu dan Padi sudah sampai mana?"
Riana tersenyum. "Ingin tahu?"
Kau mengangguk cepat.
"Kapan-kapan saja kuberitahu," kata Riana puas. "Kau tak akan sanggup membayangkannya."
***
Kau tidak mengharapkan hal di luar genggaman tangan kalian dan pelukan yang mengerat ketika udara dingin menerpa. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.
Tetapi tubuhmu berkata lain. Ia berontak, merasa haus luar biasa. Nafsu yang berlindung di dalam tubuh selama belasan tahun itu tiba-tiba menginginkan hal yang lebih. Menghirup aroma tubuhnya di balik kemeja hitam itu, melingkarkan tangan di lehernya, kemudian... ah, kau tak sanggup membayangkan kelanjutannya. Kau mendadak berubah seperti tanaman putri malu yang lunglai begitu terkena sentuhan. Tubuhmu lemas sekaligus membara setiap Alir menyentuh pipimu atau sekadar membelai kepalamu dengan sayang. Ada keinginan lebih menyeruak.
"Ada apa denganmu?" Alir bertanya lembut. "Kau baik-baik saja, kan?"