Menulis. Ya, aku ingin menjadi penulis. Itu adalah salah satu yang sudah direkap dalam daftar mimpiku. Jadi, yang harus kulakukan adalah menguasai teori kepenulisan. Di tempat pelarian waktu itu, kumulai mengumpulkan info tentang kelas menulis. Aku bersyukur. Banyak sekali kelas menulis yang sudah kuikuti. Sehingga, waktu yang kuhabiskan di tempat asing itu bermakna. Aku yakin bahwa menulis adalah salah satu self-healing bagi diri yang sempat terluka ini. Sungguh, itu terbukti. Kegelisahan yang menuai resah menyingkir dengan sendirinya.Â
Lalu, apa yang ingin kukuasai?
Setelah teori kepenulisahan telah mengakar di kepala, ku berlanjut mempelajari sesuatu yang ingin kukuasai. Dengan penuh pertimbangan, pilihanku jatuh pada desain grafis. Aku sangat ingin menguasai bidang itu. Rasanya menyenangkan saat mampu mengeksplor berbagai macam warna, membuat berbagai bentuk dengan hanya menggerakkan jari kita. Meskipun terbilang gagal, aku tetap menyukai prosesnya. Dengan begitu, aku mampu sedikit melupa atas sederet masalah yang baru saja menerpa.Â
Menulis dan desain grafis. Dua hal yang tak pernah terbayang sebelumnya.
Dari dua kesibukan itu, ada satu hal yang harus ditanamkan dalam dada. Sebagai penguat diri. Untuk menenangkan hati. Adalah cinta kepada Tuhan harus semakin utuh. Kualitas iman harus kian tangguh. Dialah yang selalu menuntun langkah menuju kebaikan disaat pengharapan pada insan luput dari pandangan. Manusia bisa saja berkhianat, tetapi Dia tidak. CintaNya akan senantiasa penuh, meski diri kerap mengeluh.
Aku percaya bahwa semakin lama proses perjalanan, akan semakin banyak tantangan. Ketidakselarasan hanyalah salah satunya. Bisa jadi itu adalah teguran atas keputusan yang tak sesuai aturan. Cinta antara sang adam dan hawa ini tidak salah. Ia adalah sebentuk fitrah. Hanya saja, caranya saja yang mungkin salah. Sehingga, Tuhan menunjukkan kuasaNya. Mengingatkan diri yang tengah alpa.Â
Dari sekian banyak kemungkinan yang ada, aku percaya bahwa Dia selalu memiliki rencana yang tak kasat mata. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang lebih indah dari yang diharapkan oleh seorang hamba.
Maka dari itu, sakit hati tidak perlu diratapi segitu gilanya. Tidak perlu disesali begitu dalamnya. Cukup nikmati sakitnya. Rasakan perihnya. Alihkan semuanya pada hal-hal yang positif. Sehingga, nilai diri akan semakin meningkat.Â
Kupikir, malah sebaiknya, rasa terima kasih yang teramat harus diberikan pada ia sang pemberi sekarat, sebab secara tak sadar, ia adalah penyumbang energi sesungguhnya. Karenanya, diri ini ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih hebat. Untuk menjadi manusia yang lebih bermartabat.
Terima kasih, kenangan. Karenamu, aku menjadi lebih kuat.
Setelah coffee latte habis tak tersisa, aku terdiam cukup lama. Lalu, tersenyum penuh makna. Ingin sekali kutertawakan kebodohanku saat itu. Bisa-bisanya melarikan diri dari problematika yang didera, bukan malah menghadapinya dengan gagah perkasa. Namun, itu dulu. Sebelum sandaran hati datang menghampiri. Sebelum belahan jiwa berhasil menggenapi.