Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pada Penghujung Kepala Dua

15 Agustus 2023   12:56 Diperbarui: 15 Agustus 2023   13:07 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kubiarkan saja orang mau beranggapan semaunya. Abaikan saja tanggapan miring yang tak jelas manfaatnya. Toh, yang menjalani hidup ini kan diri sendiri. Setelah saatnya tiba, mereka akan diam dengan sendirinya. Memang benar, terkadang perihal semacam itu menjadi beban. Secara tak sadar, spekulasi serampangan seperti itu mampu membunuh mental. Mengikis rasa nyaman perlahan. Namun, ya sudahlah. Tutup mata dan telinga saja, tuk mencipta rasa aman.

Tak terasa, nyaris satu jam aku hanya duduk sambil berkhayal. Secangkir coffee latte di tangan hampir tandas. Aku menghela napas panjang ketika ku kembali teringat kejadian penuh kejutan 5 tahun yang lalu. Setiap menyesap pahitnya minuman, anganku seolah diputar pada masa yang penuh keputusasaan itu, yakni, saat masa pelarian. Aku pergi dari rumah dengan dalih melanjutkan pendidikan, padahal hanya ingin menghindari perjodohan. 

Kala itu, usiaku genap dua puluh lima. Usia yang memang sudah pantas melepas masa lajang, katanya. Namun, itu tidak berlaku bagiku. Masih banyak mimpi yang ingin aku capai. Masih banyak asa yang ingin aku gapai. Selain itu ... Ah, entahlah. Sekadar menyebutkan saja aku ngilu. Ada nyeri yang masih menancap pada dasar hatiku.

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan hatiku baru saja patah?" 

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan janji-janji manis itu telah musnah?"  

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan penggantimu saja belum juga singgah?"  

Segenap tanya semacam itu kerap menggema. Isi kepala seolah penuh seketika. Lalu, di tengah keriuhan yang tiada henti, aku tersadar bahwa aku harus tetap melangkah. Meski bangkit rasanya susah. Berlari seakan payah. Mungkin memang benar, bagi orang yang patah hati, memerdekakan diri lebih tak mudah daripada memerdekakan negeri. Ah, itu konyol. Namun, aku pernah mengalami. 

Kala itu, ada sekelumit kisah yang begitu menyiksa diri; tentang kekecewaan dan juga tentang sebuah pengkhianatan. Kepercayaan yang diagungkan hilang. Janji akan sebuah ikatan melayang. Aku rapuh. Kendaliku hampir runtuh. Sebuah pijakan yang diidamkan tak mampu menopang. Aku hanya butuh tempat persembunyian.

Bodoh. Aku bahkan pantas disebut pengecut. Melarikan diri dari segenap titah. Berpaling dari setiap asa yang hampir punah. Rongrongan untuk segera menuntaskan masa lajang sungguh mengganggu. Aku, yang bukan seorang pemberani ini, hampir saja kalah. Aku hampir menyerah atas jalan takdir yang kuanggap sebagai sebentuk masalah.

Setelah menemukan tempat paling aman, aku segera berbenah. Mengambil pena dan buku untuk bertempur dengan segenap gelisah. Merapikan kembali mimpi-mimpi yang hampir tak terarah. Dimulai dari hal yang paling disukai. Berlanjut pada beberapa daftar yang ingin dikuasai. 

Apa yang paling kusukai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun