Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pada Penghujung Kepala Dua

15 Agustus 2023   12:56 Diperbarui: 15 Agustus 2023   13:07 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu senja yang temaram, kusesap secangkir coffee latte dalam genggaman. Sebagai teman sepi dalam menyambut sang jingga kembali ke peraduan. Di pinggiran kota ini masih sangat ramai. Hilir mudik kendara berlalu silih berganti. Sesaat kemudian, sekelebat bayangan masa silam tanpa sengaja menghiasi netra. Aku terpekur. Membayangkan segenap resah yang sempat mengisi sukma; tentang pendidikan, pekerjaan, dan juga perjodohan. Ketiga hal itu selalu menjadi momok bagi perempuan sepertiku, yang telah sampai pada titik seperempat abad dalam rentang usiaku. Kata orang, ini dinamakan quarter life crisis.

Penuh perjuangan. Penuh kebimbangan.

Kukira, setelah lulus kuliah, kegelisahan menyoal pekerjaan yang akan mengganggu. Ternyata tidak. Justru perihal jodoh yang tak henti digaungkan kala itu. Seperti mimpi buruk, diburu-buru menggenapkan sedangkan pasangan masih tak nampak jelas dalam pandangan. Tersiksa. Tertekan. Tanpa pegangan. Begitulah sekelumit rasa yang enggan beranjak dari pikiran. Ya, itu mungkin adalah konsekuensi yang harus digenggam ketika berada di lingkup hidup yang tak sehaluan.

"Sudah lulus ya, Mbak? Pasti sebentar lagi dimantu ini."

"Saat ini sudah 25 tahun, kan? Sudah waktunya nikah loo itu. Anakku saja yang masih 23 tahun sudah punya anak."

"Anak Pak RT itu juga baru lulus kuliah tahun lalu. Langsung kerja. Terus, dapat jodoh di tempat kerja. Beruntung ya dia."

Ketika segerombolan insan tukang gosip menyerukan komentar tanpa ragu, rasa hati ingin berteriak dengan sekencang-kencangnya; Terserah. Aku tidak peduli. Namun, apa daya. Aku tak bisa. Hanya senyum termanis yang mampu kuurai, sebagai balasan atas tatapan mengejek yang mereka edarkan. Kurasa, membalas dengan sederet perkataan itu tiada guna. Sebab ia hanya akan semakin memperkeruh suasana.

Andai saja mereka paham, bahwa roda kehidupan tak selalu berjalan sesuai yang mereka gambarkan. Bahwa masalah yang dihadapi tak selalu sama bagi setiap insan. Tentu saja, mereka tidak akan seenaknya memberi penghakiman.

Berkata yang baik atau diam. 

Andai saja kata bijak itu selalu menjadi pegangan. Maka, tak ada orang yang akan terluka karena ringannya umpatan. Tak ada yang akan tersakiti karena berbagai cacian. Sebenarnya, diri ini seringkali ingin menyuarakan isi hati dengan lugasnya, bahwa belum menikah pada usia seperempat abad ini bukanlah aib yang harus digemakan. Namun, apa daya. Aku tak kuasa.

Kubiarkan saja orang mau beranggapan semaunya. Abaikan saja tanggapan miring yang tak jelas manfaatnya. Toh, yang menjalani hidup ini kan diri sendiri. Setelah saatnya tiba, mereka akan diam dengan sendirinya. Memang benar, terkadang perihal semacam itu menjadi beban. Secara tak sadar, spekulasi serampangan seperti itu mampu membunuh mental. Mengikis rasa nyaman perlahan. Namun, ya sudahlah. Tutup mata dan telinga saja, tuk mencipta rasa aman.

Tak terasa, nyaris satu jam aku hanya duduk sambil berkhayal. Secangkir coffee latte di tangan hampir tandas. Aku menghela napas panjang ketika ku kembali teringat kejadian penuh kejutan 5 tahun yang lalu. Setiap menyesap pahitnya minuman, anganku seolah diputar pada masa yang penuh keputusasaan itu, yakni, saat masa pelarian. Aku pergi dari rumah dengan dalih melanjutkan pendidikan, padahal hanya ingin menghindari perjodohan. 

Kala itu, usiaku genap dua puluh lima. Usia yang memang sudah pantas melepas masa lajang, katanya. Namun, itu tidak berlaku bagiku. Masih banyak mimpi yang ingin aku capai. Masih banyak asa yang ingin aku gapai. Selain itu ... Ah, entahlah. Sekadar menyebutkan saja aku ngilu. Ada nyeri yang masih menancap pada dasar hatiku.

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan hatiku baru saja patah?" 

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan janji-janji manis itu telah musnah?"  

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah, sedangkan penggantimu saja belum juga singgah?"  

Segenap tanya semacam itu kerap menggema. Isi kepala seolah penuh seketika. Lalu, di tengah keriuhan yang tiada henti, aku tersadar bahwa aku harus tetap melangkah. Meski bangkit rasanya susah. Berlari seakan payah. Mungkin memang benar, bagi orang yang patah hati, memerdekakan diri lebih tak mudah daripada memerdekakan negeri. Ah, itu konyol. Namun, aku pernah mengalami. 

Kala itu, ada sekelumit kisah yang begitu menyiksa diri; tentang kekecewaan dan juga tentang sebuah pengkhianatan. Kepercayaan yang diagungkan hilang. Janji akan sebuah ikatan melayang. Aku rapuh. Kendaliku hampir runtuh. Sebuah pijakan yang diidamkan tak mampu menopang. Aku hanya butuh tempat persembunyian.

Bodoh. Aku bahkan pantas disebut pengecut. Melarikan diri dari segenap titah. Berpaling dari setiap asa yang hampir punah. Rongrongan untuk segera menuntaskan masa lajang sungguh mengganggu. Aku, yang bukan seorang pemberani ini, hampir saja kalah. Aku hampir menyerah atas jalan takdir yang kuanggap sebagai sebentuk masalah.

Setelah menemukan tempat paling aman, aku segera berbenah. Mengambil pena dan buku untuk bertempur dengan segenap gelisah. Merapikan kembali mimpi-mimpi yang hampir tak terarah. Dimulai dari hal yang paling disukai. Berlanjut pada beberapa daftar yang ingin dikuasai. 

Apa yang paling kusukai?

Menulis. Ya, aku ingin menjadi penulis. Itu adalah salah satu yang sudah direkap dalam daftar mimpiku. Jadi, yang harus kulakukan adalah menguasai teori kepenulisan. Di tempat pelarian waktu itu, kumulai mengumpulkan info tentang kelas menulis. Aku bersyukur. Banyak sekali kelas menulis yang sudah kuikuti. Sehingga, waktu yang kuhabiskan di tempat asing itu bermakna. Aku yakin bahwa menulis adalah salah satu self-healing bagi diri yang sempat terluka ini. Sungguh, itu terbukti. Kegelisahan yang menuai resah menyingkir dengan sendirinya. 

Lalu, apa yang ingin kukuasai?

Setelah teori kepenulisahan telah mengakar di kepala, ku berlanjut mempelajari sesuatu yang ingin kukuasai. Dengan penuh pertimbangan, pilihanku jatuh pada desain grafis. Aku sangat ingin menguasai bidang itu. Rasanya menyenangkan saat mampu mengeksplor berbagai macam warna, membuat berbagai bentuk dengan hanya menggerakkan jari kita. Meskipun terbilang gagal, aku tetap menyukai prosesnya. Dengan begitu, aku mampu sedikit melupa atas sederet masalah yang baru saja menerpa. 

Menulis dan desain grafis. Dua hal yang tak pernah terbayang sebelumnya.

Dari dua kesibukan itu, ada satu hal yang harus ditanamkan dalam dada. Sebagai penguat diri. Untuk menenangkan hati. Adalah cinta kepada Tuhan harus semakin utuh. Kualitas iman harus kian tangguh. Dialah yang selalu menuntun langkah menuju kebaikan disaat pengharapan pada insan luput dari pandangan. Manusia bisa saja berkhianat, tetapi Dia tidak. CintaNya akan senantiasa penuh, meski diri kerap mengeluh.

Aku percaya bahwa semakin lama proses perjalanan, akan semakin banyak tantangan. Ketidakselarasan hanyalah salah satunya. Bisa jadi itu adalah teguran atas keputusan yang tak sesuai aturan. Cinta antara sang adam dan hawa ini tidak salah. Ia adalah sebentuk fitrah. Hanya saja, caranya saja yang mungkin salah. Sehingga, Tuhan menunjukkan kuasaNya. Mengingatkan diri yang tengah alpa. 

Dari sekian banyak kemungkinan yang ada, aku percaya bahwa Dia selalu memiliki rencana yang tak kasat mata. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang lebih indah dari yang diharapkan oleh seorang hamba.

Maka dari itu, sakit hati tidak perlu diratapi segitu gilanya. Tidak perlu disesali begitu dalamnya. Cukup nikmati sakitnya. Rasakan perihnya. Alihkan semuanya pada hal-hal yang positif. Sehingga, nilai diri akan semakin meningkat. 

Kupikir, malah sebaiknya, rasa terima kasih yang teramat harus diberikan pada ia sang pemberi sekarat, sebab secara tak sadar, ia adalah penyumbang energi sesungguhnya. Karenanya, diri ini ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih hebat. Untuk menjadi manusia yang lebih bermartabat.

Terima kasih, kenangan. Karenamu, aku menjadi lebih kuat.

Setelah coffee latte habis tak tersisa, aku terdiam cukup lama. Lalu, tersenyum penuh makna. Ingin sekali kutertawakan kebodohanku saat itu. Bisa-bisanya melarikan diri dari problematika yang didera, bukan malah menghadapinya dengan gagah perkasa. Namun, itu dulu. Sebelum sandaran hati datang menghampiri. Sebelum belahan jiwa berhasil menggenapi.

Kini, pada penghujung kepala dua, Dia suguhkan kejutan manis. Bak magis. Seseorang yang tak pernah kusangka hadir membuai rasa. Ia tawarkan kehidupan yang penuh warna. Pesonanya tak mampu kutolak. Akhirnya, kami sepakat untuk memperpendek jarak. Buah dari kesabaran memang luar biasa, hingga aku tak mampu berkata-kata.

Untukmu sang pengobat luka, terima kasih telah berkenan singgah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun