“Aku memang tidak mencari imam. Kalau imam itu … nanti bakal banyak makmumnya, kan? Aku nggak mau,” jawabku dengan enteng.
“Tuh, kan! Malah bercanda,” tuturnya lagi.
“Aku serius. Aku memang bukan sedang mencari imam. Aku hanya ingin mencari partner hidup, yang nantinya akan saling mengingatkan jika ada kesalahan dan saling menguatkan jika ada permasalahan.”
Kuucapkan itu dengan penuh keyakinan. Sebab, menurutku, suatu pernikahan itu tidak akan lengkap jika tanpa ada kesalingan di dalamnya. Dalam suatu ikatan suci memang butuh pemimpin, tetapi seorang wanita sejati hanya menginginkan kedamaian. Ia tidak menghendaki seorang pemimpin yang hobinya memerintah. Menurutnya, hal seperti itu akan mengurangi keharmonisan.
Sekarang terbukti bahwa pilihanku tepat. Kutemui lelaki idaman yang patut diandalkan. Kupandangi ia dengan saksama. Aku bangga sama kamu, Mas, bisikku dalam hati.
Senyumku sudah kembali seperti sedia kala. Gurat bahagia terpancar pada suamiku juga. Ia tampak lega. Pandanganku beralih di bagian tubuhku yang lain. Kulihat suamiku mengusap lembut perutku yang sudah tampak tidak simetris lagi.
“Maaf, ya, Sayang, jika sampai detik ini masih belum mampu menjadi suami dan calon bapak yang baik buat kalian,” ucapnya lirih yang tentu saja masih mampu tertangkap indra pendengaranku dengan jelas. Kulihat mendung mewarnai netranya. Aku terenyuh melihatnya. Segera kupeluk ia dengan mesra. Kupastikan tidak ada lagi hujan yang akan merampas aura bahagia yang baru saja tercipta.
“Assalamualaikum.” Tiba-tiba saja kami dikagetkan dengan suara dari luar.
“Waalaikumussalam,” jawab kami bersamaan.
Suamiku segera meluncur ke depan. Kudengar suara bisik-bisik dari dalam. Aku tidak dapat mendengarnya. Hanya selentingan kata-kata yang berhasil kucerna. Sehingga, aku hanya perlu menunggunya dengan sabar untuk meminta penjelasan.
“Sayang, Pisang Raja di depan rumah itu ditawar orang,” kata suamiku.