Lalu, kuambil dompet usang yang sudah bertahun-tahun menemani. Kuintip perlahan. Isi di dalamnya membuatku tercengang. Ternyata, hanya tersisa dua lembar. Aku hanya tidak habis pikir. Kalau semua ini dikasihkan orang, kami tidak memegang sepeser pun untuk berbelanja kebutuhan satu minggu selanjutnya.
“Tinggal segini saja, Sayang.” Kusodorkan dua lembar lima ribuan yang telah berhasil kukeluarkan dari dompet kesayangan dengan hati gamang.
“Nggak masalah, Sayang. Barangkali, itu adalah rezekinya yang dititipkanNya pada kita. Percaya, deh! Ada Allah yang akan mencukupkan,” ucap suamiku dengan mantap.
Aku pun segera berlalu dengan langkah gontai. Pikiranku menerawang jauh ke angkasa. Rasanya campur aduk.
“Sayang, sini!” Suamiku meyuruhku duduk di sampingnya. Lantas, aku menurut saja.
Dengan perlahan, kurebahkan diri tepat di sebelahnya. Setelah itu, ia menuntunku untuk bersandar di bahunya. Diusap pucuk kepalaku dengan penuh cinta. Aku terbuai. Pikiranku yang sedang berkecamuk sedikit berkurang. Ia biarkan diriku menumpahkan bulir bening yang sedari tadi tertahan. Rona mukaku sudah tak beraturan. Sebenarnya, aku malu. Namun, aku hanya ingin meluapkan segenap resah yang harus segera dimusnahkan.
Setelah tangisku reda, suamiku itu menggeser posisinya. Ia duduk di depanku sembari menatap lekat netraku, “Sayang yakin sama Allah?” tanyanya yang hanya kubalas dengan anggukan.
“Jika rasa percaya kita pada Allah sudah menggunung. Maka, Dia yang akan menguatkan. Dia pula yang akan memudahkan segala kesusahan,” ujar suamiku, berusaha lebih menenangkan.
Kurenungi setiap kata yang baru saja keluar dari lisan suamiku. Sejuk. Air pegunungan seolah-olah mengalir deras membasahi sanubari. Airmataku kembali pecah. Kali ini bukan tangis kesedihan yang menyapa. Namun, ungkapan kebahagiaan yang berhasil luruh seketika. Aku bangga sekaligus bahagia. Diriku yang masih jauh dari sempurna ini merasa beruntung memiliki seorang pasangan hidup seperti lelaki di hadapanku ini. Ia mampu menenangkan kala gundah menguasai pikiran.
Aku ingat sekali saat aku memutuskan untuk memilihnya. Banyak anggota keluarga yang meragukan kesanggupannya menjadi pemimpin rumah tangga. Pengetahuan agamanya dibilang masih kurang mumpuni dan masih banyak lagi perumpamaan penolakan lainnya. Menurutku, alasan semacam itu tidak berdasar. Itu hanya penilaian subjektif dari mereka. Aku pun masih tetap pada pendirianku. Aku yakin ia mampu membuktikan kemampuannya seiring berjalannya waktu.
Pernah suatu ketika ia bertanya,”Bagaimana kalau mereka benar, aku tidak mampu menjadi imam yang baik bagimu?”