Novel yang ditulis oleh Adhitya Mulya berjudul "Sabtu Bersama Bapak" ini menarik perhatian saya untuk mengulas isi  di dalamnya. Bukan hanya saya, akan tetapi seorang produser film, Ody Mulya Hidayat, tertarik untuk menjadikan novel ini sebagai sebuah film.Â
Tema yang diangkat oleh Adhitya Mulya tidaklah asing, tetapi juga tidak umum, yakni tentang keluarga. Tidak sampai di situ saja, novel ini juga mengandung unsur romansa yang tak terduga. Berkisah tentang sebuah keluarga yang berdomisili di Kota Kembang Bandung, Jawa Barat. Beranggotakan seorang bapak berusia 38 tahun, Gunawan Garnida yang beristrikan Itje, wanita berusia 35 tahun.Â
Mereka berdua dikaruniai dua jagoan, Satya Garnida dan Cakra Garnida. Akan tetapi kebaahagiaan dalam keluarga mereka terenggut ketika sang bapak meninggal dunia akibat penyakit kanker yang diderita.
"Sabtu sore yang dingin. Itje menggendong Cakra yang masih berumur lima tahun dan menggandeng Satya yang berusia delapan tahun. Mereka masuk ke sebuah ruang. Kedua anak itu masih menangis. Sudah sekitar dua minggu mereka selalu sedih. Itje tahu dia harus kuat untuk anak-anak. Dia tahu, sekarang dialah yang menjadi satu-satunya pilot dalam pesawat yang bernama Keluarga Garnida ini. Gunawan, sang suami, sudah menyiapkan semua bagi mereka. Sesuatu yang menurut Itje sangat cerdas." (halaman 3)
Kutipan di atas cukup terang dalam menyampaikan tema dari cerita yang akan dibawakan pada novel. Pada bagian prakata dan prolog juga terdapat hal-hal yang menyinggung tema keseluruhan dari novel ini.
Tokoh-tokoh di dalam Novel Sabtu Bersama Bapak ini beragam dan memiliki gambaran karakter yang cukup unik dan identik. Jujur saja, ketika saya membaca novel ini, saya terus saja terbayang akan tokoh-tokoh yang telah dipilih di dalam filmnya. Kebetulan, saya membaca novel ini jauh setelah film tayang di layar lebar, bahkan layar televisi. Bagi saya, film Sabtu Bersama Bapak tidaklah mengecawakan jika dibandingkan dengan novelnya.Â
Bagian-bagian pada film takada yang jauh berbeda dari novelnya. Tokoh dalam novel pun tervisualisasikan dengan cukup baik dan harmonis. Pertama, Gunawan Garnida, sosok seorang bapak dan suami yang tegas bagi keluarganya, bijaksana dengan segala perencanaan sempurnanya, serta berhasil menjadi kepala keluarga yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya.
"Video dimulai dengan sebuah kursi kosong di kamar Pak Gunawan. Dia muncul di dalam gambar dan duduk di kursi. Dia langsung berbicara ke arah handycam.
"Hari ini Bapak punya cerita. Cerita tentang Bapak dan Mamah sebelum kalian lahir."
Dia membetulkan sikap duduknya.
"Planning is everything. Ini adalah sesuatu yang bapak pelajari agak terlambat. Bapak tidak ingin kalian terlambat juga. Bapak masih ingat, waktu lulus kuliah, abis itu dapat kerja, kemudian pacaran dengan Ibu kalian. Gak lama, Bapak gagah-gagah aja ngelamar Ibu kamu. Kita tentukan tanggal nikah. Waktu itu masih gak mikir. Semuanya baru kepikiran ketika hari pernikahan udah dekat. Ternyata selama ini Bapak tidak mengatur keuangan dengan baik." (halaman 18)
Sepenggal dari video Pak Gunawan yang ditinggalkan untuk kedua anaknya. Pak Gunawan tak ingin kehilangan kesepatan beliau untuk ikut mendidik dan membentuk karakter jagoan-jagoan mereka. Tercetuslah ide untuk merekam hal-hal yang ia ingin sampaikan kepada anak-anaknya. Terlebih lagi, kedua buah hati mereka adalah seorang laki-laki.
Satya Garnida, putra sulung Keluarga Garnida yang berpedoman pada ajaran-ajaran yang disampaikan oleh bapaknya. Alhasil, Satya menjadi seorang yang sangat disiplin dan tegas. Â Bahkan menjadi sangat cadas dan takjarang menjadi sosok yang keras kepala. Fisik Satya memang jauh berbeda dengan adiknya, Cakra. Satya berpostur ideal dan lebih tampan, tak heran banyak wanita yang tergila-gila padanya. Walaupun pada akhirnya, Satya melabuhkan cintanya kepada Rissa. Wanita cantik dan cerdas, yang kini telah memberinya 3 buah hati.
"Satya Garnida sekarang berumur 33 tahun dan menjadi seorang geophysicist untuk NOG. Tinggi, tegap, tampan tapi sedikit buncit. Tampak jelas bahwa dia sudah lama tidak work out. Dia sedang duduk dan berbicara pada Ryan, anak sulungnya di telepon. Emosinya memuncak.
"RYAN! BAPAK GAK SUKA! MASAK GITU AJA GAK BISA! COME ON RYAN! COME ON!"
Suara tangisan pecah di seberang telepon. Kemudian nada putus.
"RYAN! RYAN!"
Satya membanting telepon ke meja itu dengan keras. Dan lagi." (halaman 24)
      Satya menjadi sangat keras kepada anaknya. Sampai istri dan anak-anaknya merasa tertekan setiap kali ia pulang dari kilang minyak (tempat kerjanya). Rissa, istri Satya yang masih sangat cantik dan postur tubuhnya masih seperti gadis, walaupun sudah melahirkan tiga kali. Usianya tak terpaut jauh dengan Satya, hanya berjarak satu tahun, 32. Rissa dan Satya memiliki pola asuh anak (parenting) yang berbeda, itulah yang membuat mereka  semakin sering berselisih paham. Seperti dalam kutipan berikut ini.
            "Dia mendengar Rissa menarik napas dalam-dalam.
"Kamu jangan marah-marah dong, Kang."
"GIMANA GAK MARAH!??? Waktu saya sebesar dia saya udah bisa kerjakan apa yang saya tanya! GIMANA SIH KAMU DIDIK ANAK-ANAK KITA?"
"DIA BUKAN KAMU!" Rissa meledak "DAN SAYA JUGA BUKAN KAMU!"..." (halaman 25)
Berbeda dengan kakak sulungnya, Cakra Garnida merupakan seorang laki-laki mapan yang cerdas dan professional dalam bekerja. Akan tetapi karena wajah pas-pasan dan styleyang kurang modern menjadikan dia susah mendapatkan sosok istri, bahkan pacar. Selain karena fisik, Cakra juga merupakan sosok yang terlalu kaku, apalagi terhadap perempuan.
"Ibu Itje melihat betapa si Bungsu, di umurnya yang 30 ini, tetap bermuka komik, setiap kali berbicara." (halaman 17)
"Cakra sekarang sudah menjadi pria yang agak sedikit tampan. Sebuah anugerah yang jatuh jauh lebih banyak kepada kakaknya, Satya. Cakra berambut ikal dan menjadi gimbal tak terkendali setiap kali terlambat potong rambut.itu sebabnya dia selalu memotong rambutnya pendek. Nyaris cepak. Cakra memiliki tinggi rata-rata, yah, tidak cukup untuk ikutan ajang Jajaka.berat badan pun standar, tidak kurus, tidak gemuk." (halaman 10)
"... "Pagi, Pak Cakra."
"Pagi, Wati." Cakra membalas sapa salah satu sales yang duduk tidak jauh dari ruang kantornya.
"Udah sarapan, Pak?"
"Udah, Wati."
"Udah punya pacar, Pak?"
"Diam kamu, Wati." Cakra masuk ke dalam ruangannya dan membuka laptop. ..."(halaman 43)
"... "Nama saya Cakra. Dan hari ini saya akan membawa..."
Mata Cakra menangkap Ayu, sosok wanita paling cantik yang dia pernah lihat di POD.
"Membawa... bawa.. membawakan presencantik sekali untuk divisi... baju putih rada nerawang."
Semua orang menatapnya dengan bingung. ..." (halaman 68)
Kutipan-kutipan di atas kurang lebih menjelaskan sosok Cakra yang hingga berusia 30 tahun masih saja menjomblo. Hal itu membuat sang ibu, Ibu Itje selalu terpikir akan putra bungsunya yang belum juga menpunyai seorang istri ataupun pacar.Â
Seringkali, Ibu Itje menawari Cakra untuk berkenalan dengan anak gadis temannya. Ibu Itje adalah seorang ibu yang sangat tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Ibu Itje sangat mandiri dan melaksanakan amanah sang suami untuk menjadi orang yang berguna bagi lingkungan dan orang sekitar. Atau minimal, tidak menjadi beban bagi orang lain.
"Wanita tua itu duduk di atas sofa, di samping anaknya. "Kamu, ih, masih main game ajah. Kapan mau cari pacar?"
"Iya, Saka juga baru mulai nyari kok, Mah."
"Mau Mamah bantu?"
"Yaah... topik ini lagi." Satu hal yang membuat Cakra lebih malas membahas topik jodoh adalah topik dijodohkan.
"Beberapa teman Mamah ingin mengenalkan anak mereka sma kamu."
"Gak deh, Mah. Risih dijodohin gitu."... ." (halaman 15-16)
"... "Mamah selalu gak mau kita bantu. Padahal itu cara kita untuk berterima kasih kepada Mamah. Ngurangin beban Mamah,"
Ibu Itje berhenti menggendong Ryan dan menatap kedua anaknya.
"Kita udah bahas ini berkali-kali. Kalian ingin support Mamah. Nyatanya Mamah juga mampu, kok. Malah lebih mampu dari kalian." ..." (halaman 84)
"Dan di keluarga kita, kita gak nyusahin orang lain." (halaman 85)
            Hingga akhirnya Cakra mau menuruti apa yang dimita sang ibu. Cakra di kenalkan dengan gadis yang bernama Retna. Gadis itu tak lain adalah Ayu, gadis yang menarik perhatian Cakra beberapa bulan terakhir. Ayu adalah wanita yang cantik, lembut, sopan, santun dan penyayang.
"... Retna memang cantik. Tapi ia berhasil mencuri perhatian dari caranya berinteraksi dengan sang ibu dan keponakan. Santun dan penuh senyuman. Jauh berbeda dengan tipikal anak yang kesal setiap kali diajak orangtua pergi ke resepsi pernikahan. Jauh berbeda dari tipikal anak muda yang terus memperhatikan HP-nya. Cucu Bu Tyas menangis saat prosesi berlangsung dengan sigap Retna mencoba menenangkan anak kecil itu. Ibu Itje melihat betapa pantas dan halusnya Retna. Kecantikan fisik Retna dalam ruangan akad nikah ini kalah oleh kecantikan batinnya sendiri."(halaman 36)
Dalam novel ini, Adhitya Mulya juga memasukkan kepribadian dirinya yang humoris dalam diri Cakra Garnida. Adhitya Mulya memang selalu memasukkan sosok pria protagonis, humoris dan salah tingkah di depan perempuan yang dia suka. Seperti Agus dalam novelnya yang berjudul "Jomblo", Cakra dalam Novel Sabtu Bersama Bapak, dan Gege dalam Novel Gege Mengejar Cinta. Novel Sabtu Bersama Bapak ini adalah novel terlama yang ia tulis.
Kisah dalam novel ini berlatarkan Kota Kembang Bandung, Kota Metropolitan Jakarta dan Kota Karlsunde, Denmark. Mengambil latar sosial yang sederhana, Adhitya Mulya menuliskan detail secara jelas dan ringkas. Kota Bandung yang sejuk tergambar pada setiap latar yang tersurat. Suasana tegang, haru dan bahagia juga tak jarang muncul menghiasi rangkaian cerita. Berikut kutipan-kutipan latar termpat, suasana, dan waktu.
"Selepas subuh. Udara pagi di daerah Sukajadi, Bandung, memang masih segar pada waktu seperti ini. Lingkungan di sana asri dan hijau, penuh dengan pepohonan dan jalanan yang sepi. Beberapa warga tampak berlari pagi. Ibu Itje duduk di bangku taman, di samping rumahnya, ditemani secangkir teh panas. Sekilas, banyak yang akan bertanya bagaimana seorang janda beranak dua yang tidak pernah menikah lagi, dapat tinggal di lingkungan seperti ini. Karena memang harus diakui, ini bukan lingkungan yang terjangkau oleh banyak kalangan. Jawabannya datang dari tiga hal: perencanaan sang suami, kecerdasan sang istri, dan izin dari yang Di Atas." (halaman 29)
"Minggu sore pada pertengahan September, 2016. Hari yang penuh dengan hujan, angin, dan awan tebal di tengah laut ini. Tipikal tahun dan area yang selalu dihindari nelayan. Badai yang menghantam Laut Utara menghalangi di atas perairan yang kaya kandungan minyak ini. Mathilde II mengapung dan mengalun beberapa sentimeter ke kiri dan ke kanan, dengan elegan menyerap energy yang badai itu hempaskan padanya. Mathilde II adalah salah satu kilang minyak milik Norse Oil og Gas (NOG) yang memiliki struktur baik dan lentur. Secara spesifik didesain untuk lentur mengikuti badai." (halaman 23)
"Awal September, 2016. Minggu pagi yang cerah di kawasan perumahan Jatipadang, Jakarta Selatan. Cukup cerah untuk membuat suasana ceria, tapi tidak cukup panas untuk membuat orang mandi keringat---kecuali bagi mereka yang mandinya memang memakai keringat." (halaman 9)
"Karlslunde, Sabtu pagi. Setelah tujuh jam perjalanan helicopter dan tiga jam perjalanan taksi, Satya mulai melewati daerah perumahan. Semua rumah berderet dengan bata merah. Apik, rapi, dan teratur. Ada jalan raya, jalur untuk pedestrian, dan jalur untuk sepeda." (halaman 71)
"Dia melirik jendela. Badai itu semakin gelap. Dia menelepon rumah kembali. Nada sambung. Rissa, istrinya, 32 tahun, mengangkat telepon.
"Kamu ngomong apa sama Ryan? Kok sampek nangis kejer gitu?"
"Come on Ris, dia itu udah gede! Tadi saya tanya-tanya soal Matematika. Dia gak bisa! Ngapain aja dia di sana?" Suara suami Rissa itu kembali meninggi.
 Dia mendengar Rissa menarik napas dalam-dalam.
"Kamu jangan marah-marah dong, Kang."
"GIMANA GAK MARAH!??? Waktu saya sebesar dia saya udah bisa kerjakan apa yang saya tanya! GIMANA SIH KAMU DIDIK ANAK-ANAK KITA?"
"DIA BUKAN KAMU!" Rissa meledak "DAN SAYA JUGA BUKAN KAMU!"..." (halaman 24-25)
Dari kutipan-kutipan di atas, tergambar latar waktu, tempat, suasana, dan sosial yang muncul dalam kisah hidup keluarga Garnida ini. Dalam kisah selanjutnya, Satya mengalami perubahan sikap setelah sang istri menegurnya melalui surat elektronik yang dikirimkan kepadanya. Satya yang semula mudah terpancing dan naik daun, kemudian berubah menjadi lebih sabar dan menahan emosinya agar tidak menanjak.
"Telapak kaki lecet karena lego? Satya berusaha diam kali ini. Mainan mobil pecah karena terinjak? Diam. Biarkan. Boneka singa dengan kepala gundul? Biarkan. Meja kecil dengan tumpukan origami? Biarkan. Biasanya Satya memberikan disiplin yang tinggi. Semua itu tidak boleh ada. Kali ini dia tidak ingin marah karena hal-hal tersebut. Dia belajar menjadi bapak yang lebih baik." (halaman 75)
Alur yang disajikan cukup sederhana, sedikit maju-mundur. Terkadang hanya sekilas bayangan tentang masa lalu yang tertulis. Di beberapa bagian, Ibu Itje mengenang sang suami, atau Satya dan Cakra menceritakan kembali apa yang bapaknya katakan di video. Hal itulah yang membuat pembaca berimajinasi lebih bebas. Dalam Film Sabtu Bersama Bapak sendiri, alur mundur juga muncul ketika menceritakan pesan sang bapak yang ada dalam video. Selain itu, Ibu Itje juga beberapa kali mengingat kembali akan janji sang suami, dalam filmnya. Alur tersebut bisa kita lihat pada kutipan-kutipan berikut.
"Janji Suami Dulu
Bandung, 7 September 1979
Selesai ijab Kabul. Gunawan dan Itje, yang baru menikah, bersalaman dengan semua tamu.
Gunawan menarik istrinya keluar dari keramaian. Dia ingin mengatakan sesuatu. Itje tahu ketika lelaki belahan jiwanya ini menariknya dari keramaian, itu artinya Pak Gunawan ingin berkata sesuatu serius. ..." (halaman 37)
" ..."Boys, Bapak punya cerita. Mau dengar?"
"Cerita apa?"
"Cerita waktu Bapak kecil dulu."
6 Juni 1992
Handycam dinyalakan dengan shaky. Pak Gunawan tampak gusar. Dia menghempaskan alat itu di atas sebuah meja. Terlihat Satya dan Cakra duduk masih memakai seragam sekolah mereka. Sang Bapak duduk di sebelah mereka. ..." (halaman 206)
Adhitya Mulya merupakan lulusan ElectromedicalEngineering dari Stikes Widya Husada Semarang angkatan ke-18. Selain menulis novel, lelaki berusia 41 tahun juga merambah ke dunia perfilman yaitu sebagai penulis skenario. Novel pertamanya bertajuk Jomblo terbitan tahun 2003. Semenjak itu, beliau aktif menulis dan menghasilkan kurang lebih satu buku dalam satu tahun. Banyak pula film yang mengadaptasi novel miliknya. Film Sabtu Bersama Bapak juga telah meraih berbagai penghargaan dalam dunia perfilman Indonesia.
Sudut pandang dalam novel Sabtu Bersama Bapak tidak mengacu pada salah satu tokoh di dalam novel. Adhitya Mulya, atau sang penulis, menyajikan tulisannya dalam sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal itu bisa kita lihat pada setiap detail tokoh yang tanpa berbicara pun kita bisa tahu isi hati dan pikirannya dengan mudah. Sudut pandang orang ketiga serba tahu ini semakin memudahkan pembaca dalam memahami rangkaian cerita yang tersurat dalam novel setebal 291 halaman ini.
"Ayu sedikit cair. Cakra terus mengejutkan dia hari ini. Ada sesuatu yang lebih memikat dari pria ini dari yang sebelumnya dia kira." (halaman 212)
"Satya membuat secangkir kopi dan duduk di dapur. Dia mengamati sang istri. Perempuan itu mondar-mandir di antara kompor dan meja makan. Memasak sambil memantau pergerakan market news NYSE di laptop. Hati Satya kembali dirisaukan oleh rasa bersalah." (halaman 233)
Kisah keluarga Garnida ini syarat akan makna kehidupan dan pelajaran hidup serta bagaimana kita menyikap hidup dari sisi mana saja. Novel dan Film Sabtu Bersama Bapak sama-sama bernilai moral tinggi dan mendidik. Bukan hanya untuk kalangan remaja, terlebih untuk orang tua. Ilmu parenting tersaji begitu rapi serta dikemas dengan unik dan khas. Novel ini mengajarkan pembaca banyak hal yang tidak biasa orang pikirkan. Pemikiran yang sangat masuk dalam akal logika namun tak terpikirkan dengan singkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H