Pikiranku terasa mengambang siang ini. Aku kaget mendengar cerita itu. Aku mengenalnya dua bulan yang lalu melalui aplikasi dating gratis.
Namaku Erna, usiaku dua puluh lima tahun. Aku tinggal di Bogor. Keseharianku bekerja menjadi koki sebuah restoran makanan Asia. Aku mempunyai satu adik perempuan yang bernama Neneng, usianya lebih muda tiga tahun dariku. Dia sebentar lagi akan menikah. Keluargaku merasa bahagia karena Neneng akan segera menikah. Aku pun begitu. Di sela berkumpul dengan keluarga, ayahku bertanya, "Erna, kapan mengajak calon suamimu ke rumah?".
"Belum ada calonnya," jawabku sambil tersenyum simpul.
"Cari dong, biar cepat menikah seperti Neneng," tandas ayah.
Aku terdiam dan menunduk malu. Setelah selesai berkumpul, aku langsung masuk ke kamar, dan mengunci diri sendiri. Aku merasa tertekan.
Bagaimana bisa aku mendapatkan calon suami dengan begitu cepat. Aku harus mencari kemana, batinku. Tanpa disadari, aku terlelap tidur sampai tak terdengar suara riuh di luar kamar. Ternyata aku tidur lama sekali. Aku tertidur dari pukul tujuh malam hingga pukul satu malam. Aku tak menyadari orang-orang mengetuk pintu untuk berpamitan.
Keesokan harinya, aku berangkat kerja bersama salah satu tetanggaku. Namanya Enur. Dia bekerja di restoran bersamaku sebagai asisten koki.
"Erna, ih. Aku dapat kenalan dari aplikasi kencan. Namanya Wawan," sahutnya dengan wajah riang.
"Emang caranya bagaimana?" tanyaku.
Neneng menjelaskan kepadaku cara menggunakan aplikasi itu di ponsel. Jam istirahat kerja tiba, aku membuka aplikasi itu. Ternyata banyak pesan yang masuk. Ada banyak lelaki yang ingin berkenalan denganku. Aku tampak bingung, mana yang harus kujawab. Lalu kubalas satu per satu pesan itu.
Aku pulang ke rumah. Badanku rasanya lelah sekali. Aku langsung menuju tempat tidur, tanpa pergi makan malam bersama keluarga. Kubuka lagi aplikasi itu, ada satu pesan dari seorang lelaki, dia bernama Said. Usianya tiga puluh tahun.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," jawabku.
Dia tak melanjutkan sapaannya. Aku pun bersiap untuk tidur. Kumatikan ponsel, dan lampu kamar.
Keesokan paginya, kubuka lagi aplikasi itu, Said belum membalas pesanku. Aku hanya membalas pesan dari orang lain. Sore hari menuju pulang, notif aplikasi berbunyi. Said membalasku, dia bertanya soal statusku dan pekerjaanku. Aku pun bertanya balik soal status dan pekerjaannya. Said mengaku bahwa dia masih bujang dan bekerja sebagai koki di kapal pesiar. Kami mempunyai pekerjaan yang sama. Kami sangat senang. Pesan kami terhenti sampai di situ. Aku tutup aplikasi dan tertidur.
Aku bolak balik membuka aplikasi seharian ini, namun tak kudapati pesan dari Said. Aku seperti berharap mendapatkan pesan darinya. Lalu keesokan harinya, notif aplikasi berbunyi lagi. Aku terburu-buru membukanya, dan ternyata benar, Said mengirim dua foto. Foto sebuah kapal besar dan foto selfie di dapur kapal pesiar. Aku sangat senang dan tertarik melihat foto yang dia kirim. Tiba-tiba dia video call. Dia bercerita tentang kegiatannya menjadi koki kapal pesiar. Aku sangat terkesan. Aku merasa, dia tidak canggung bercerita kepadaku. Aku hanya tersenyum dan bertanya sesekali tentang pekerjaannya.
Kami bertukar nomor ponsel. Setiap hari, aku di-chat olehnya dan terkadang, jika kami tidak sibuk, kami video call. Aku merasa terhibur, karena perkenalan kami sangat baik. Tidak ada kata-kata menyinggung. Kami merasa seperti sudah lama saling mengenal, karena komunikasi kami tidak canggung.
Perasaan itu tumbuh, bak bunga bermekaran di taman. Aku diberikan perhatian dan merasa dimanja olehnya. Setiap harinya kami saling merindukan. Kami video call sebanyak empat sampai lima kali dalam sehari. Kami saling bercerita dan tertawa bersama. Romansa sangat terasa ketika kami video call. Kami tak peduli soal masa lalu kami. Kami menikmati hubungan kami. Meski terkadang, aku merasa ada riuh tak enak dalam hati. Namun, kutepis.
Kami akhirnya merencanakan pertemuan, setelah enam minggu berkomunikasi melalui ponsel. Said menemuiku di Bogor. Kuperhatikan dia, kudengar dia bercerita, kuusap tangannya yang lelah selama perjalanan. Dia menatapku lama, aku tertunduk malu dilihatnya. Selama dia berada di Bandung, aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya. Dia memelukku erat dan mencium keningku.
"Kapan kita nikah?" tanyaku.
"Segera, sayang," jawabnya.
Aku terperanjat dari pelukannya, dan terdiam. Dalam hatiku bertanya, apakah dia sungguh-sungguh padaku?
"Kamu beneran, sungguh?" tanyaku lagi.
"Untuk apa aku ke Bogor?" dia berbalik tanya padaku.
Aku berpikir, dan mengiyakan penjelasannya.Â
Said tinggal di Yogyakarta. Dia harus kembali pulang ke rumahnya. Dan mengapa, aku merasa bingung dan bersedih ketika dia meninggalkanku. Sebelum kembali ke Yogyakarta, dia berpesan padaku untuk tak banyak berharap kepadanya. Alasannya adalah karena faktor pekerjaannya yang sering berlayar ke laut lepas. Dia berpikir kalau aku banyak berharap kepadanya, itu akan membuatku menjadi bersedih. Dia ingin, agar aku bersikap masa bodoh kepadanya. Hal ini terdengar aneh, namun masuk logika. Tapi, mengapa aku merasa kurang mempercayainya? Apakah aku terlalu sensitif?
Seminggu berlalu dia berada di Yogyakarta, namun kami masih saling chat. Dan ada yang kurang dalam hubungan kami. Dia jarang sekali menelepon dan video call. Ada apa? Aku penasaran sekali.
"Yang, kok sekarang jarang telepon dan video call sih?" tanyaku.
 Dia hanya membaca chat, dan tak membalas. Keesokan harinya, aku telepon dia, namun tak dijawab. Tidak lama kemudian, nomornya meneleponku.
"Salam. Halo, Yang. Kamu sehat?" tanyaku.
"Iya. Ini benar yang namanya Erna? Ada hubungan apa Teteh dengan pemilik nomor telepon ini?" tanya seorang perempuan kepadaku.
"Saya pacarnya. Sudah dua bulan kami berhubungan," jawabku.
"Saya istri pemilik nomor ponsel ini, Teh. Maaf, Said sudah punya istri dan dua anak. Kami tinggal di Semarang," tandasnya.
Aku terkejut, dan tak banyak bicara. Istrinya menjelaskan semua perihal tentang Said kepadaku. Tangan dan mulutku bergetar. Aku berusaha menahan diri. Akal sehatku berfungsi pada saat itu, untuk memilih mengakhiri hubunganku dengan Said. Kepalaku seperti berputar. Dadaku terasa sesak mendengar cerita itu dari istrinya. Â
Aku merasa malu, dan meminta maaf kepada istrinya, karena ketidaktahuanku soal Said. Aku berjanji kepadanya, untuk tidak menghubunginya lagi.
Benar adanya rasa ragu yang terkadang menyelimuti hatiku. Meski aku mencoba menepis itu karena perasaan sukaku pada Said. Tubuhku terasa lemas, pikiranku tak karuan. Aku hilang fokus. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Tapi aku tak bisa. Hati ini seperti tergores, perih rasanya. Beban berat di dada ini ingin kulepaskan. Aku berusaha berpikir tenang dan mengembalikan urusan ini kepada Tuhan. Aku berani melepaskan Said, dan membiarkannya pergi dari diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H