"Kamu beneran, sungguh?" tanyaku lagi.
"Untuk apa aku ke Bogor?" dia berbalik tanya padaku.
Aku berpikir, dan mengiyakan penjelasannya.Â
Said tinggal di Yogyakarta. Dia harus kembali pulang ke rumahnya. Dan mengapa, aku merasa bingung dan bersedih ketika dia meninggalkanku. Sebelum kembali ke Yogyakarta, dia berpesan padaku untuk tak banyak berharap kepadanya. Alasannya adalah karena faktor pekerjaannya yang sering berlayar ke laut lepas. Dia berpikir kalau aku banyak berharap kepadanya, itu akan membuatku menjadi bersedih. Dia ingin, agar aku bersikap masa bodoh kepadanya. Hal ini terdengar aneh, namun masuk logika. Tapi, mengapa aku merasa kurang mempercayainya? Apakah aku terlalu sensitif?
Seminggu berlalu dia berada di Yogyakarta, namun kami masih saling chat. Dan ada yang kurang dalam hubungan kami. Dia jarang sekali menelepon dan video call. Ada apa? Aku penasaran sekali.
"Yang, kok sekarang jarang telepon dan video call sih?" tanyaku.
 Dia hanya membaca chat, dan tak membalas. Keesokan harinya, aku telepon dia, namun tak dijawab. Tidak lama kemudian, nomornya meneleponku.
"Salam. Halo, Yang. Kamu sehat?" tanyaku.
"Iya. Ini benar yang namanya Erna? Ada hubungan apa Teteh dengan pemilik nomor telepon ini?" tanya seorang perempuan kepadaku.
"Saya pacarnya. Sudah dua bulan kami berhubungan," jawabku.
"Saya istri pemilik nomor ponsel ini, Teh. Maaf, Said sudah punya istri dan dua anak. Kami tinggal di Semarang," tandasnya.