"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," jawabku.
Dia tak melanjutkan sapaannya. Aku pun bersiap untuk tidur. Kumatikan ponsel, dan lampu kamar.
Keesokan paginya, kubuka lagi aplikasi itu, Said belum membalas pesanku. Aku hanya membalas pesan dari orang lain. Sore hari menuju pulang, notif aplikasi berbunyi. Said membalasku, dia bertanya soal statusku dan pekerjaanku. Aku pun bertanya balik soal status dan pekerjaannya. Said mengaku bahwa dia masih bujang dan bekerja sebagai koki di kapal pesiar. Kami mempunyai pekerjaan yang sama. Kami sangat senang. Pesan kami terhenti sampai di situ. Aku tutup aplikasi dan tertidur.
Aku bolak balik membuka aplikasi seharian ini, namun tak kudapati pesan dari Said. Aku seperti berharap mendapatkan pesan darinya. Lalu keesokan harinya, notif aplikasi berbunyi lagi. Aku terburu-buru membukanya, dan ternyata benar, Said mengirim dua foto. Foto sebuah kapal besar dan foto selfie di dapur kapal pesiar. Aku sangat senang dan tertarik melihat foto yang dia kirim. Tiba-tiba dia video call. Dia bercerita tentang kegiatannya menjadi koki kapal pesiar. Aku sangat terkesan. Aku merasa, dia tidak canggung bercerita kepadaku. Aku hanya tersenyum dan bertanya sesekali tentang pekerjaannya.
Kami bertukar nomor ponsel. Setiap hari, aku di-chat olehnya dan terkadang, jika kami tidak sibuk, kami video call. Aku merasa terhibur, karena perkenalan kami sangat baik. Tidak ada kata-kata menyinggung. Kami merasa seperti sudah lama saling mengenal, karena komunikasi kami tidak canggung.
Perasaan itu tumbuh, bak bunga bermekaran di taman. Aku diberikan perhatian dan merasa dimanja olehnya. Setiap harinya kami saling merindukan. Kami video call sebanyak empat sampai lima kali dalam sehari. Kami saling bercerita dan tertawa bersama. Romansa sangat terasa ketika kami video call. Kami tak peduli soal masa lalu kami. Kami menikmati hubungan kami. Meski terkadang, aku merasa ada riuh tak enak dalam hati. Namun, kutepis.
Kami akhirnya merencanakan pertemuan, setelah enam minggu berkomunikasi melalui ponsel. Said menemuiku di Bogor. Kuperhatikan dia, kudengar dia bercerita, kuusap tangannya yang lelah selama perjalanan. Dia menatapku lama, aku tertunduk malu dilihatnya. Selama dia berada di Bandung, aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya. Dia memelukku erat dan mencium keningku.
"Kapan kita nikah?" tanyaku.
"Segera, sayang," jawabnya.
Aku terperanjat dari pelukannya, dan terdiam. Dalam hatiku bertanya, apakah dia sungguh-sungguh padaku?