Mohon tunggu...
Khof H
Khof H Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mari menjadi tidak sederhana!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu, maafkanlah Ayah. Bukan tak cinta, memang tak bisa!

17 September 2020   16:44 Diperbarui: 30 Oktober 2020   18:36 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ayahku menikah lagi Khof!" 

Katanya padaku dengan linang air mata yang penuh kesedihan. Aku tak tau harus berkata apa. Memangnya apa yang akan ku katakan bisa merubah keputusan Ayahnya untuk menikah lagi? 

Tidak bukan! Tapi setidaknya aku berusaha untuk buat dia lebih tenang dan berkepala dingin.

Gimana caranya? 

Kasih es batu ke jidat nya biar kepalanya dingin. Atau pun tendang aja sampai ke kutub Utara biar sekalian membeku dia situ. Biar lebih berakhlak dikit buatkan es teh, buat esnya banyak-banyak. Sekalian amandelnya kambuh. Cepat nyusul pula dia. Astagfirullah... Istighfar khof...khof.

Geram sendiri loh aku mikirin gimana buat orang berkepala dingin. 

Anonim: "Ceburin langsung ke sumur. Gak usah mikir Khof, pintar pula kau nanti. Sayang Ayah kau bayar uang sekolah mahal-mahal. Korona pula, belajar di rumah juga nya. Medan keras khof! Pintar dikit udah jadi penipu. Bodoh bodoh lah kau! "

Aih... Macam betul ajalah kau Wak...Wak. 

Namanya Mora. Dia sahabat ku sudah dari zaman baholak. Dia selalu menceritakan apa saja. Perihal Ayahnya yang hendak menikah, cepat tersebar dan tentu saja aku sudah tau sebelum dia kasih tau. 

Gini-gini jaringan 4G, sekelas bu Tejo ini. Hahaha... 

"Ayahku menikah lagi Khof! "

Katanya kedua kali. Aku masih diam dong, gak tau mau ngomong apa dan mulai dari mana. Lagi.....

"Ayahku menikah lagi Khof!" 

Ketiga kali benteng pertahanan nya roboh. Dia menangis sejadi jadinya. 

Aku bisa apa? 

Anonim: "Dasar tak berguna!" 

Aih... Suka hati lah. Kau lah yang ngomong kalo gitu. Nih mikrofon nya samamu. 

Anonim: "Gitu aja udah naik pula darah tinggi mu, dasar Mak Lampir. " 

***

Mora sahabat ku masih terus menangis. Belum lama ini Mamanya berpulang ke Rahmatullah. Sebulan ini lah, perhitungan nya. 

Tentu saja masih dalam suasana berkabung dalam benaknya. Di tambah lagi Ayahnya hendak menikah lagi dalam suasana yang begini? Apa tidak berlipat ganda keterpurukan nya? 

Memang tidak elok lah nampak jika emak baru saja berpulang, si Bapak sudah mau ijab kabul ulang. 

Bukan cuma menanggung beban sosial, tapi juga mental dan jiwa . Bukan hanya untuk Bapak, tapi juga anak dan sanak saudara. Jelas saja Mora tidak setuju. Istilahnya pusara Emak belum kering, Bapak udah bawa masuk Emak baru. Siapa pun pasti akan terguncang dua kali. 

Aku yang bukan siapa-siapa saja merasa begitu teriris. Apalagi Mora?

"Mora..." Kataku. 

"Kuburan Emak ku belum kering, dia sudah menabur ranting kering. Sakit. Sakit khof. Aku tau kalo dari dulu dia tak cinta dengan Emak ku. Tapi bukan begini caranya. Bajingan itu tidak tau malu. Aku tau kalo bajingan itu menunggu ajal Emak ku. Dasar bajingan keparat ! Kenapa bukan dia saja yang mati...." 

Begitu berapi-api Mora menyuarakan suara hati yang sudah dia pendam sejak lama. 

"Jaga bicaramu Mora. Bagaimana pun dia tetap Ayahmu." 

"Aku tak punya ayah yang menunggu kematian istrinya. Dia brengsek! " 

"Mora!" Sekarang aku yang berteriak menyamakan suara emosi nya.

"Manusia memang hanya bisa menunggu kematian yang sudah di garis kan untuknya. Ini bukan salah Ayahmu. Dia juga pasti terpukul melebihi kau. Teman hidupnya telah tiada. Sungguh kau pun tau bagaimana duka Ayahmu." 

"Aku tak menyalahkan Ayah ku atas meninggalnya Emak. Tapi aku sangat benci dia yang hendak menikah lagi. Perbuatannya sepeninggal Emak Khof yang ku sesalkan padanya." 

"Mengertilah Mor, dia juga terpukul melebihi kau!" Kataku.

"Omong kosong! Belum kering pusara Emak dia sudah hendak menikah? Di mana hati nuraninya? Tidak berpikir kah dia bagaimana perasaan ku? " 

"Lantas, apa kau berpikir bagaimana perasaannya? Dia juga harus melanjutkan hidup."

"Apa harus dengan menikah?" 

"Apa maksudmu?" 

"Dia tentunya bisa melanjutkan hidup. Ada aku. Kak Neti, bang Adan. Apa arti kami baginya? Apa harus mencari pengganti? Ini sungguh menyakiti." 

"Mora, bukan untuk menggurui. Perihal sakit yang kau rasa. Tapi kau, kak Neti maupun Bang Adan tidak bisa melarang Ayahmu untuk menikah lagi." 

"Oke aku kalah, tapi tak bisakah dia menunggu kak Neti melahirkan? Sudah 8 bulan. Sebentar lagi lahiran! Atau pun menunggu Bang Adan selesai pendidikan? Tidak bisa kan dia menunggu? Hanya sampai situ saja?" 

Aku kehilangan akal kalo begini.

"Siapa yang mengurus dia selama masa menunggu itu? Kau bahkan tidak bisa sekedar memasak untuknya. Apalagi mencuci baju-bajunya. Dia sendirian di rumah. Tentunya bukan karena takut dia ketakutan. Tapi siapa yang akan merawat dia? Kau mesti sibuk dengan skripsi. Kau bahkan tidak pernah bisa di rumah. Kak Neti hampir melahirkan. Sudah sering kalo dia bisa mampir sekali seminggu. Bang Adan pendidikan, setelah itu pun dia mesti dapat tugas. Tak bisa pulang hari untuk merawat Ayahmu? Hanya masalah waktu. Kau harus mengerti. Siapa yang mencuci piring kotor di rumah kala kau sibuk kuliah di luar kota? "

Mora pun mulai mencerna kalimat ku. 

"Baiklah Mora, aku tau kau mencintai keluarga mu. Aku pun tau kau anak baik. Kau harus mengerti bagaimana keadaan ayahmu. Cukup mengerti saja untuk saat ini. Lambat laun kau bisa menerima semua ini. Cepat ataupun lambat. Tergantung seberapa cepat kau bisa."

***

Sepenggal kisah dari Medan yang sungguh tak cukup edan. Terimakasih banyak sudah membaca. Semoga menjadi pelajaran untuk kita semua. 

"Mengertilah, walau belum bisa kau terima."

Medan, 17 September 2020

-Khof H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun