"Omong kosong! Belum kering pusara Emak dia sudah hendak menikah? Di mana hati nuraninya? Tidak berpikir kah dia bagaimana perasaan ku? "Â
"Lantas, apa kau berpikir bagaimana perasaannya? Dia juga harus melanjutkan hidup."
"Apa harus dengan menikah?"Â
"Apa maksudmu?"Â
"Dia tentunya bisa melanjutkan hidup. Ada aku. Kak Neti, bang Adan. Apa arti kami baginya? Apa harus mencari pengganti? Ini sungguh menyakiti."Â
"Mora, bukan untuk menggurui. Perihal sakit yang kau rasa. Tapi kau, kak Neti maupun Bang Adan tidak bisa melarang Ayahmu untuk menikah lagi."Â
"Oke aku kalah, tapi tak bisakah dia menunggu kak Neti melahirkan? Sudah 8 bulan. Sebentar lagi lahiran! Atau pun menunggu Bang Adan selesai pendidikan? Tidak bisa kan dia menunggu? Hanya sampai situ saja?"Â
Aku kehilangan akal kalo begini.
"Siapa yang mengurus dia selama masa menunggu itu? Kau bahkan tidak bisa sekedar memasak untuknya. Apalagi mencuci baju-bajunya. Dia sendirian di rumah. Tentunya bukan karena takut dia ketakutan. Tapi siapa yang akan merawat dia? Kau mesti sibuk dengan skripsi. Kau bahkan tidak pernah bisa di rumah. Kak Neti hampir melahirkan. Sudah sering kalo dia bisa mampir sekali seminggu. Bang Adan pendidikan, setelah itu pun dia mesti dapat tugas. Tak bisa pulang hari untuk merawat Ayahmu? Hanya masalah waktu. Kau harus mengerti. Siapa yang mencuci piring kotor di rumah kala kau sibuk kuliah di luar kota? "
Mora pun mulai mencerna kalimat ku.Â
"Baiklah Mora, aku tau kau mencintai keluarga mu. Aku pun tau kau anak baik. Kau harus mengerti bagaimana keadaan ayahmu. Cukup mengerti saja untuk saat ini. Lambat laun kau bisa menerima semua ini. Cepat ataupun lambat. Tergantung seberapa cepat kau bisa."