Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesta Sederhana

24 Maret 2023   17:31 Diperbarui: 24 Maret 2023   17:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cernak

Hari ini aku main ke rumah Rizky Barok. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Cukup naik sepeda kesayanganku sekitar lima menit pun sudah sampai. Kulihat Rizky baru datang bersama adiknya, Reva.

"Hai, Zabir, sudah lama di sini?" tanyanya segera saat melihatku.

"Hai juga, Riz, baru saja kok. Dari mana kalian?" tanyaku.

"Kami baru saja pulang dari rumah bos ayahku yang merayakan pesta ulang tahun anaknya," sahut Rizky. 

"Wah, anak bos berarti pestanya sangat meriah ya?" tanyaku penasaran.

"Iya, meriah sekali. Nih makanan dan bingkisannya juga banyak," sahut Rizki menunjukkan bingkisan plastik besar bergambar bintang-bintang. 

Adiknya, Reva tersenyum-senyum. Kulihat matanya berbinar-binar mungkin saking senangnya tadi menyaksikan pesta. 

"Kak, kuenya banyak sekali ya?" katanya kepada kakaknya sambil menunjukan bingkisan yang mereka bawa.

"Iya, Dik, Boim kan anak orang kaya," jawab Rizki. 

Aku memperhatikan adiknya yang terus saja memeluk isi bingkisan miliknya dengan bahagia.

Tiba-tiba Reva bertanya. 

"Ulang tahunku kapan ya, Kak?" Reva memandang Rizki seolah menanti jawaban.

"Ulang tahunmu kan sepuluh Desember, Dik." Mata Rizki tak lepas menatap adiknya.

"Masih lama tidak?" tanya Reva lagi.

"Tidak juga. Sekitar sebulan lagi," jawab Rizki.

"Aku ingin ulang tahunku dirayakan seperti Boim juga, Kak." Reva berkata sambil memandangi wajah Rizki penuh harapan. Kakak yang baik hati itu tak tega melihat adiknya memelas kasihan.

"Nanti kita bilang sama bapak dan ibu ya, Dik," jawabnya menenangkan hati sang adik.

"Iya," balas Reva.

Setahuku, bapak Rizki hanyalah seorang buruh kupas udang yang upahnya tak seberapa. Sedang ibunya membantu bekerja setengah hari di koperasi pasar. Rasanya, selama ini ulang tahun Reva belum pernah dirayakan.

"Uang dari mana, Nak? Kamu tidak perlu ikut-ikutan orang kaya. Boim kan anaknya Pak Haji Darma juragan ikan yang jumlah perahunya saja ada dua belas." Ucapan ibu Rizki itu sudah kuduga sebelumnya.

"Iya, Nak. Bapak dari mana bisa mengadakan pesta ulang tahun? Untuk biaya makan saja belum tentu cukup," imbuh bapak Rizki.

Reva kelihatan marah sekali. 

"Tidak mau! Pokoknya ulang tahun!" teriak Reva.

Rizki yang melihatnya segera menasehatinya.

"Adik nggak boleh begitu, bapak ibu sedang tidak punya uang, Adik nggak boleh marah-marah," kata Rizki pada adiknya.

"Nggak mau, nggak mau, pokoknya ulang tahun!" teriak Reva menangis lalu berlari keluar.

Bapak Rizki tampaknya hampir saja marah, tetapi ibu Rizki segera menenangkannya. 

"Yaaa, gimana nih, Bu?" tanya Rizki.

"Ya sudah Riz, kamu bantu rayu adikmu supaya tidak ikut-ikutan pesta kayak Boim, ya!" sahut ibu.

"Baik, Bu." Aku dan Rizki menyusul Reva di luar.

Rizki berjongkok di sisi Reva. Dipandanginya adiknya yang duduk memeluk lutut.

"Adik, jangan sedih ya? Kan ada kakak? Kita main yuk," ajak sang kakak.

Reva tak menjawab apa-apa. Ia hanya menggelengkan kepalanya.

"Nanti Kakak beliin mainan, deh?" rayu Rizki.

Tapi Reva terus saja menggeleng-gelengkan kepala lalu menelusupkannya di antara kedua lutut.

Rizki memandangi adiknya dengan perasaan sedih.

"Sudahlah, Riz jangan bersedih, namanya juga anak kecil, nanti juga lama-lama akan lupa," ujarku bermaksud menghibur Rizki.

"Tapi aku tak sampai hati melihatnya murung terus menerus," keluh Rizki.

Kami pun sama-sama terdiam. Sama-sama duduk.memelyk.lutut seperti Reva.

Tiba-tiba aku mendapat ide.

"Riz, bagaimana kalau kita adakan pesta sederhana saja?" usulku.

"Maksudmu?" Rizki tampak tertarik dengan usulku.

Bagian 7

"Begini, kamu kan punya celengan, kita bisa membeli kue ulang tahun yang kecil saja, lalu undang teman-teman Reva yang rumahnya dekat-dekat tak perlu banyak-banyak," jelasku panjang lebar.

"Wah, benar juga ya usulmu, Bir. Baiklah, aku akan membuka celenganku. Kasihan kalau harus meminta pada bapak atau ibu." Rizki melempar senyum ke arahku.

Akhirnya Rizki pun memecahkan tabungannya. Selama ini ia menabung di sebuah celengan berbentuk ayam jago. Aku tahu karena sewaktu membelinya bulan lalu aku turut bersamanya. 

Tadinya Rizki mengumpulkan uang untuk bisa membeli sepeda baru. Tapi rupanya ia lebih menyayangi adiknya sehingga memutuskan untuk membukanya demi melaksanakan pesta adik secara kecil-kecilan.

Rizki segera mengambil celengan ayam tersebut.

Braaak! 

Celengan ayam jago yang terbuat dari tanah liat itu pun pecah. Uang yang ada berhamburan di lantai. Kami sama-sama mengumpulkan dan menghitungnya.

"Yaaah, masih kurang, uangnya hanya cukup untuk membeli kue uang tahun kecil saja, tidak bisa untuk membeli perlengkapan lainnya," seru Rizki setelah menyatukan hitungan kami.

"Masih kurang berapa, Kak?" tanya Reva dengan mata berbinar.

"Sedikit lagi, Dik." Rizki menggenggam uang itu di tangannya.

Tiba-tiba Reva mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Ternyata itu adalah selembar uang lima ribu rupiah.

"Ini, Kak, buat tambahin," kata Reva.

Rizki tersenyum lalu mengusap kepala adiknya itu. 

"Mana cukup, Dik?!" ujarnya.

Akhirnya kami pun termenung kembali. Tiba-tiba Rizki menjentikkan jari.

"Nah, aku ada ide. Aku beritahukan kakek dan nenek saja, barangkali saja bisa membantu," seru Rizki mengagetkanku.

"Oh iya. Kalau begitu kita ke rumah kakek dan nenek kamu aja, Riz," ajakku.

Rizki pun mengangguk gembira. Akhirnya kami bersama-sama pergi ke rumah nenek yang tidak terlalu jauh dari rumah Rizki.

Sesampai di sana, kakek menasehati.

"Ulang tahun itu cukup dirayakan dengan ucapan syukur saja. Kita berterima kasih kepada Allah lalu mengucapkan doa. Semoga diberi panjang umur, sehat, banyak rejeki dan menjadi anak yang soleh patuh kepada bapak juga ibu. Gitu saja sudah cukup kok. Tidak harus dirayakan." Begitu kata Kakek.

"Iya, kek. Tapi Reva tidak mau. Ia ingin sekali ulang tahunnya kali ini dirayakan. Kan selama ini belum pernah. Maksud Rizki ingin buat pesta yang sederhana saja." Rizki mencoba menjelaskan.

"Kalau begitu, bagaimana bila kita buat sendiri saja kuenya? Nenek bisa bikin kue bolu yang enak," usul Nenek tiba-tiba.

"Iya. Kakek juga bisa membuat undangan dari kertas tebal yang dihias dan ditulis dengan indah. Tulisan kakek tidak kalah loh dengan cetakan pabrik. Betul tidak, Nek?" tanya Kakek.

Nenek terkekeh. 

"Ya, benar. Kakek dulu pernah bekerja di percetakan. Kamu beli saja perlengkapan yang lain." Nenek segera menghitung bahan untuk membuat kue.

Sukurlah kakek dan nenek mau turut direpotkan.

Tepat di hari yang dinanti, bapak dan ibu Rizki menghias ruang tamu dengan sederhana. Aku sudah mengenakan celana panjang dan kaus berwarna kuning cerah dan Rizki pun sudah tampak tampan dengan baju kemejanya. Sedangkan Reva mengenakan gaun yang sangat indah.

Kemudian kakek dan nenek datang membawa kue ulang tahun yang sangat sederhana.

Reva tampak gembira. Acara berlangsung sederhana. Di tengah acara, bapak Rizki memimpin doa. Semua memeluk Reva. Reva tampak sangat bahagia. 

Aku dan Rizki berpandangan sambil melemparkan senyum. Ternyata pesta ulang tahun tak melulu harus mengeluarkan banyak biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun