Dua sosok putih yang tak berekspresi sama sekali itu menolehkan wajah sejenak. Mereka mengusap seluruh tubuh Lana dengan dua tangan. Mulai kepala hingga kaki. Yang diusap hanya diam. Dengan bibir pucat membiru.
Miranti menangis kencang tapi orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya tak ada yang peduli. Mereka seakan tak mau mendengarkan.
"Tolong anak saya, Suster. Tolong anak saya, Dokter. Tolong anak saya, Pak. Tolong anak saya, Bu." Suaranya semakin lemah memanggili mereka namun mereka tetap bergeming hingga akhirnya habis sama sekali. Ia terjatuh di lantai.
Bintang kejora itu telah pergi menemui sang pemiliknya yang Maha Kasih.
***
Miranti berdiri di sisi jendela. Menyibak kain hordeng kuning yang menutupi kaca. Rambut yang diikat ke belakang nampak kusut masai. Sudah lama ia tak begitu memperhatikan penampilan. Mata itu menerawang keluar.
Langit pekat hanya menyisakan sedikit gemintang. Beruntung rembulan masih berbaik hati menyampaikan pantulan sinar mentari pada malamnya. Dilihatnya di kejauhan sebersit bintang kejora yang terangnya melebihi gemintang lainnya. Kejora itu mirip Lana.
Tampak berkilau dari kejauhan. Meski kecil namun cahayanya sangat menyilaukan mata hati Miranti. Kejora itu muncul setiap akan terbit fajar. Namun segera hilang saat fajar benar-benar datang.
Apakah memang kejora itu tak boleh berjumpa cahaya pagi? Seperti putrinya Lana yang tak mungkin lagi meraih mentari esok hari?
"Selamat jalan, sayang. Kutitip cahayamu di tepi fajar. Semoga engkau tenang dan bahagia di sana. Di antara gemintang. Nantikan ibu dan bapak serta adik.
"Suatu saat kami pasti akan datang menemuimu. Menemanimu menari, bernyanyi, dan berlarian di taman. Tenanglah engkau di sana. Berkilaulah sebagaimana mestinya. Meski kau jauh, cahayamu amat terang di hati kami, kejoraku."