Mohon tunggu...
nur isnaini rizki 1894
nur isnaini rizki 1894 Mohon Tunggu... -

gadis yang sedikit bicara banyak berkhayal suka sekali berteriak besama tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap Malaikatku

18 Februari 2014   18:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini kisahku dan seorang malaikat. Kisah seorang gadis yang terlambat merasakan cinta dan seorang malaikat yang memberiku segalanya sejak hari pertama aku menghirup udara di bumi ini. Namaku Nara, aku seorang gadis berumur 22 tahun. Aku tinggal berdua bersama ibuku. Ibu membesarkanku seorang diri. Ayahku meninggal saat aku masih kecil. Ibuku tak pernah menikah lagi. Beliau sangat mencintai ayahku.

Ketika masih kecil, aku bukanlah anak yang baik. Aku sangat nakal. Seringkali aku melakukan hal-hal bodoh agar ada yang memperhatikanku. Dulu ibuku sibuk bekerja sehingga jarang menghabiskan waktu bersamaku. Ibu berangkat pagi dan pulang larut malam. Aku membencinya. Aku tak pernah menghiraukannya ketika melihatnya duduk sendiri di ruang tamu sambil memijat-mijat tengkuknya. Bahkan aku tak pernah menjawab saat ibu bertanya bagaimana sekolahku, teman-temanku, dan lain sebagainya.

Ketika beranjak remaja aku juga bukan anak yang baik, aku semakin tidak peduli dengan ibuku. Sekali waktu ibu sengaja mengambil cuti untuk menemaniku berlibur. Aku sama sekali tidak tertarik berlibur dengan ibu karena aku merasa ibuku tidak gaul, terakhir dia mengajakku jauh-jauh ke Bandung hanya untuk datang ke masjid dan mendengar ceramah.

Ibuku tak pernah marah kepadaku, bahkan ketika ibu dipanggil oleh pihak sekolah karena aku ribut dengan teman sekelasku karena aku dibilang merebut pacarnya. Tapi, sikap ibuku itu tak juga membuatku merasakan betapa dia mencintaiku. Suatu hari ibuku berkata "bidadari ibu semakin besar dan semakin cantik, rambutmu indah, alangkah baiknya jika keindahanmu itu ditutupi dengan jilbab sayangku." Aku tak menggubris ucapannya, memang selama ini banyak orang membicarakanku karena aku yang notabene anak dari wanita berjilbab malah senang berpakaian terbuka, aku bahkan risih tiap kali hari Jum'at tiba aku harus ke sekolah dengan memakai kerudung. Berjilbab panjang seperti itu, yang benar saja. Mana mungkin ada cowok yang mau jadi pacarku kalau aku berpenampilan seperti itu, begitulah yang ada dalam pikiranku saat itu.

***

Hari Sabtu pagi, aku berjanji menjenguk seorang teman di salah satu rumah sakit. Ketika aku berangkat ibuku sudah tidak ada dirumah. Jam 10.00 wib aku tiba di rumah sakit, aku langsung naik ke lantai empat rumah sakit itu. Jam 11.00 wib aku pamit untuk pulang. Saat aku melangkah keluar dari lift mataku menangkap sosok wanita yang tak asing bagiku. Itu ibuku, sedang apa dia disini. Aku melihatnya berjalan menuju sebuah ruangan, di pintu ruangan itu tertulis Spesialis Onkologi.

Onkologi? Aku asing dengan istilah ini. Setelah aku mencari tahu, ternyata itu adalah tempat khusus perawatan pasien kanker. Untuk apa ibuku kesana? Mungkin temannya sedang sakit. Ya, pasti ibuku hanya menjenguk temannya yang sakit. Tidak mungkin ibuku sakit, dia selalu terlihat sehat selama ini.

45 menit kemudian ibuku keluar dari ruangan itu, aku bersembunyi di toilet tak jauh dari situ. Setelah aku lihat ibu sudah pergi, aku masuk ke ruangan yang baru saja didatangi ibu. Ada seorang dokter disana, dia masih muda. Tak banyak basa-basi aku menyerangnya dengan beberapa pertanyaan.

"Wanita yang barusan masuk kesini, dia sakit apa?"

Dokter itu menolak menjawab dengan alasan itu adalah rahasia pasiennya. Aku tak menyerah dan terus mendesaknya. "Wanita itu ibuku, beritahu aku tentang keadaannya! Please!." Aku mulai memohon. Akhirnya dokter itu menyerah, dia menyuruhku duduk. Lalu mulai memberitahuku perihal kondisi ibuku.

Rasanya seluruh tulang di tubuhku hilang. Aku lemas bukan main mendengar penjelasan dokter itu. Ibuku, wanita yang selalu terlihat kuat dan sehat ternyata sudah setahun terakhir menderita kanker tulang. Kakinya, kaki yang selalu membawanya keluar untuk mencari kehidupan untukku terancam di amputasi.

Aku mengingat setiap kata yang diucapkan dokter itu "ibu kamu, dia menderita kanker tulang stadium lanjut.Setahun terakhir dia menjalani pengobatan dan terapi radiasi.Kemungkinan sembuh tetap ada walaupun kecil.Semua tergantung Allah.Kamubersiap-siapsajauntukkemungkinanterburuk."

***

Ya Allah, sedurhaka itukah aku. Ibuku berjuang sendiri tanpa pernah mendapat perhatian sedikitpun dari putri satu-satunya. Ya Allah apa ini caramu menghukumku? Kenapa harus ibu? Kenapa bukan aku?. Ya Allah berikan aku kesempatan untuk memperbaiki sikapku pada ibu. Ijinkan aku membalas cintanya selama ini.

Aku mempercepat langkahku untuk sampai dirumah. Begitu aku tiba, aku memarkir motorku sembarangan dan tanpa melepas helm aku berlari masuk mencari ibuku. "Assalamualaikum.. Ibu...ibu..ibu dimana?"

Aku dengar ibu menjawab salamku dari arah dapur, aku berlari menhampirinya lalu menghambur kepelukannya. "Ibu, ibu mau kan maafin Nara? Maafin sikap Nara ke ibu selama ini ya, Nara janji bakalan jadi anak yang baik buat ibu" ucapku sambil terisak. Ibu melepas helmku, mengusap kepalaku, mencium keningku, lalu memelukku lagi. "ibu sudah memaafkan kamu sayang, bahkan tanpa kamu minta."

***

Seperti biasa ibuku membaca Al- Qur'an selepas solat maghrib. Aku duduk dan mendengarkannya dari balik pintu. Aku baru sadar suaranya merdu sekali saat melantunkan ayat Al- Qur'an. Aku teringat selama ini aku sangat jauh dari Allah, entah kapan terakhir aku bersujud dan membaca Al-Qur'an. Airmata ku bergulir mengingat setiap dosa yang aku lakukan selama sembilan belas tahun potongan hidupku.

Aku masih menangis didepan pintu kamar ibuku ketika ibuku keluar untuk menyiapkan makan malam. Ibu bertanya apa yang terjadi. Dengan masih terisak aku minta ibu mengajariku mengaji "Ibu, Nara pengen bisa ngaji kaya ibu, ibu ajarin Nara ya." Ibuku tersenyum lalu mengangguk. Selesai makan malam aku solat isya berjamaah, lalu ibu mengajariku mengaji. Wajah ibuku begitu teduh, bersinar karena air wudhu yang senantiasa membasahinya. Suaranya lembut, selembut sentuhannya. Ibuku, ibuku seperti malaikat.

Malam mulai larut, aku minta ibuku segera istirahat, aku bilang padanya "Ibu harus istirahat yang cukup, Nara nggak mau ibu sakit." Aku menangkap raut kebingungan di wajahnya. "Nara, malam ini tidur sama ibu ya." Aku menghentikan langkahku, lalu aku berbalik menuju tempat tidur ibuku, kami tidur bersama malam ini. Pukul dua dini hari aku terbangun, aku lihat ibu tidur dengan nyenyak. Aku tak mau membangunkannya, pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, mengambil wudhu lalu bermunajat diatas sajadah, sungguh hal yang sudah lama kutinggalkan.

Dalam sujud panjangku di sepertiga malam terakhir ini aku memohon kepada Allah agar berkenan mengangkat penyakit ibuku, jika ini hukuman bagiku, limpahkan rasa sakit itu padaku. "Ya Allah, aku tau betapa hinanya diriku, malam ini dengan segala kehinaan itu aku memohon ampun padamu.Ya Allah sempatkanlah hambamu yang durhaka ini membahagiakan ibunya, ibu yang selama ini aku buat sakit hatinya. Izinkan aku mencintainya, sekalipun waktunya tak lama, izinkan aku mencintai malaikatku ya Allah."

Adzan subuh berkumandang, aku membangunkan ibu untuk solat berjamaah. Selesai solat aku mencium tangan ibuku, lama sekali. Lalu aku berkata padanya "Ibu, aku mau berjilbab." Ibu mengusap kepalaku lalu berkata "Ibu senang akhirnya hidayah Allah sudah sampai kepadamu, tapi apa boleh ibu tau alasan kau berubah secepat ini sayang."

"Ibu, aku tau ibu wanita yang kuat. Bahkan ibu mampu membesarkanku tanpa ayah untuk waktu yang lama. Aku, aku tau aku bukan anak baik tapi aku tetap anak ibu, aku punya hak untuk tau keadaan ibu. Aku..aku tau ibu sakit. Aku tau selama ini ibu sering pergi dan nggak pulang beberapa hari bukan untuk kerja, tapi ibu harus diopname untuk terapi kanker." Tangisku pecah. Begitu pun ibuku.

"Nara mencintai ibu karena Allah, mulai hari ini ibu akan sering denger Nara bilang seperti itu. Nara mau menebus kesalahan Nara ke ibu selama ini. Ibu harus tahu, aku sangat mencintai ibu. Nara nggak mau kehilangan ibu, Nara akan bantu ibu supaya ibu sembuh."

"Nara, ada atau tidak penyakit ini setiap yang bernyawa pasti mati. Nara harus tau itu, ibu tau Nara mencintai ibu, tapi Nara harus lebih cinta sama Allah, karena Allah yang akan terus bersama Nara, bukan ibu."

Ya Allah, aku baru sadar selama ini aku tinggal bersama seorang malaikat.Malaikat yang cantik, kuat, dan solehah.Ibuku.

***

Kaki itu yang selalu membawanya pergi. Kaki yang mengantarnya mencari rezeki untuk menghidupi putrid satu-satunya. Kaki ibuku, ibarat sayap yang menerbangkannya kemana pun. Sekarang tidak lagi. Kaki kiri ibuku berakhir di meja operasi. Setelah dua jam operasi selesai, ibuku masih dalam pengaruh obat bius. Ketika ibuku siumaan, aku mengira dia akan sedih menerima kenyataan dia harus kehilangan sebelah kakinya. Ternyata, malaikatku masih sanggup tersenyum. Cantik sekali, meski wajahnya pucat.

Ya Allah, cukuplah ini sebagai pelebur dosanya, ampuni ibuku, sembuhkan ia, tak ada kesembuhan melainkan darimu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.

Setahun berlalu, kehilangan sebelah sayapnya tak menyebabkan ibuku menjadi lemah. Memang aktivitasnya sebatas dirumah, tapi tetap luar biasa. Ibu membuka les privat untuk anak-anak sekitar rumah, seminggu sekali ibu mengajar ngaji anak-anak tak mampu yang selama ini jadi binaannya. Dengan kursi rodanya ibuku tetap malaikat yang mempesona.

***

Seperti biasa, sepertiga malam terakhir menjelang subuh. Waktunya untuk bermuhasabah dan bermunajat kepada-Nya. Aku baru mau membangunkan ibu, ternyata ia sudah bangun. Aku mengambil wudhu, kembali ke kamarku lalu solat. Seperti sebelumnya aku selalu berharap kebaikan bagi malaikatku. Aku pun berharap Allah memberiku waktu lebih lama lagi untuk mencintainya. Mencintai malaikat tercantik di hidupku.

Adzan subuh dikumandangkan, aku menghampiri ibu di kamarnya untuk solat berjamaah. Saat aku membuka pintu kamarnya aku mendengar beliau sedang berdoa " Ya Allah, terima kasih telah membukakan mata hati anakku dengan hidayahmu. Jika ini adalah akhir hidupku yang engkau rencanakan, sungguh aku akan mati dengan bahagia. Bidadariku, cukuplah cintanya menjadi penenang dalam sisa-sisa umurku. Lindungi dia dimanapun jauhkan dia dari orang yang berniat jahat. Karena hanya engkau ya Allah sebaik-baik pelindung."

Hatiku remuk mendengarnya. Ibuku yang selama ini aku sakiti, selalu berharap kebaikan untukku. Aku ingin lebih lama bersamanya. Lebih lama lagi untuk berbakti padanya.

"Nara, kamu imamnya ya sayang" suara ibuku membuyarkan lamunanku.Aku mengatur emosiku. Berusaha untuk tidak menagis. Aku memenuhi keinginan ibuku, aku menjadi imam untuknya kali ini.

"Assalamualaikum warahmatullah.."

Ibu masih bersujud ketika aku mengucap salam. Lama sekali ia tak juga bangun dari sujudnya. Aku mendekatinya, ketika aku sentuh kepalanya ibu tak bergeming. Tubuhnya dingin. Aroma harum menyeruak dikamar ini. Ini sudah waktunya. Waktunya ibuku beristirahat.

***

Gundukan tanah yang masih merah dan basah itu kini menjadi rumah baru bagi malaikatku. Malaikatku menghembuskan napas terakhirnya dalam sujud panjangnya subuh itu. Hatiku hancur mengingat aku baru sebentar membaktikan diri padanya. Tapi ucapan ibuku membuatku kembali tegar. Allah selalu bersamaku. Ibuku sudah bahagia di surga-Nya. Ibuku sudah menjadi malaikat cantik lengkap dengan sayap-sayapnya.

Ibu, sungguh aku sudah dibutakan oleh benci sehingga tak nampak olehku besarnya cintamu. Aku terlambat merasakan cintamu. Baru sebentar aku mencintaimu. Tapi tangan ini tak bisa menahanmu ketika Ia memanggilmu kembali kepada-Nya. Malaikatku, selamat beristirahat. Ragamu memang tak akan bisa kusentuh lagi, tapi doa-doaku akan menyertaimu sampai ke jannah-Nya.

***THE END***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun