Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Pulang

20 Januari 2025   17:40 Diperbarui: 20 Januari 2025   17:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yang sedang menonton TV tercengang. Bapak, apa yang terjadi denganmu? Tubuhmu lemas tanpa tenaga. Bahkan untuk menggerakkan tubuh saja tak bisa.

Sampai beberapa hari kemudian, Bapak masih tetap di rumah. Lelaki yang kelihatan menua itu hanya tergolek di atas ranjang. Setiap pagi, ibu menggosok tubuhnya dengan waslap, memakaikan baju dan menyisir rambutnya. Saat makan, Ibu yang menyuapi. Ibu bercerita banyak tentang apa saja sedangkan ia hanya menanggapi dengan anggukan dan suara yang tidak jelas. Kukira Bapak lupa caranya berkata.

"Stroke," jawab Budhe Marmi ketika kutanya penyebab Bapak menjadi seperti itu.

"Kuwalat sama ibumu itu. Lihat saja, Yani yang katanya cinta itu malah menendangnya. Ora sudi, meskipun kaya kalau lumpuh, buat apa? Untung ibumu mau menampung, jika tidak, bisa jadi gelandangan dia." Budhe Marmi mengomel, sejak dulu ia tidak setuju Bapak mempunyai istri muda.

Masalahnya sekarang, Ibu jadi makin repot dengan kedatangan Bapak. Seluruh waktu Ibu habis untuk mengurus Bapak. Ibu yang dulu gelisah dalam setiap tidurnya, sekarang malah tak pernah tidur.

"Ibu, setelah bertahun-tahun bersabar, inilah yang Ibu dapatkan. Bapak pulang namun malah merepotkan. Ibu kurang tidur dan sering lupa makan. Bila Ibu berkenan, kita bisa mengirim Bapak ke Panti Jompo. Kita bisa membayar yang premium. Ibu bisa beristirahat, melakukan apa yang Ibu suka." Mas Reynold memohon kepada Ibu. Tak tega rupanya ia melihat Ibu yang makin kurus.

"Nak, apakah Ibu sudah terlalu lama mengabaikan kalian? Ibu tak sadar kalian tumbuh sedewasa ini, pemikirianmu sebijak ini. Maafkan, Ibu." Perempuan bermata teduh itu menunduk.

"Di dunia ini banyak hal yang kita inginkan namun tidak kita dapatkan. Semuanya sudah menjadi ketetapannya, semata untuk menjadi pelajaran berharga. Besar kecilnya masalah yang menimpa kita, Tuhan pasti punya rencana di balik semua ini. Bukankah, Allah Mahabaik?" lanjut Ibu. Ia memeluk kami bertiga.

"Ibu, apakah Ibu bahagia?" tanyaku. Lancang sekali, tapi aku ingin mendapatkan jawabannya.

"Hanya Allah yang membuat kita bahagia. Tidak ada yang lain."

Duh, Ibu masih juga dirimu berteka-teki denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun