Bahkan matematika pun tak serumit cinta. Ibu membuktikannya.Â
Ia menyambut cintanya sepenuh perasaan tanpa perlu mempertanyakan.
Ada tujuh hari dalam seminggu, namun hanya ada tiga hari yang kusuka. Hari Ahad, karena sekolah libur sehingga tak perlu mandi pagi-pagi. Selanjutnya adalah hari Kamis dan Jum'at, itu adalah hari Bapak berada di rumah.
"Bapak banyak urusan," jawab Ibu selalu jika kutanya mengapa Bapak tidak pulang setiap hari.
Aku tahu itu karangan Ibu semata. Bukankah bapaknya Alisia yang PNS itu lebih sibuk? Pak Burhan itu setiap pagi bisa mengantar Alisia ke sekolah. Alisia bilang bapaknya bisa pulang sebelum atau sesudah maghrib. Selain Alisia banyak temanku yang bapaknya pulang setiap hari, kecuali bapaknya Ridho yang bekerja di Makassar.
Bapak punya dua toko, yang satu menjual sembako, yang satunya lagi menjual bahan bangunan semacam pasir, semen juga paku. Bapak mendatangi kedua tokonya bergantian bila diperlukan. Mas Reynold, sepulang kuliah akan bergantian dengan Ibu menjaga toko sembako. Sedangkan toko bangunan sudah dipercayakan kepada Tante Yani.
Tante Yani adalah teman sesanggar senam dengan ibu. Dulu ia sering berkunjung ke sini, karena tidak punya pekerjaan. Ibu mengajarinya menggunakan laptop supaya bisa membantu di toko. Perempuan yang sekarang memakai jilbab itu tak pandai berhitung rupanya. Beda dengan ibuku yang pintar, yang bisa berhitung di luar kepala tanpa kalkulator.
Aku tak suka dengan Tante Yani. Pertama, ia menamai anaknya hampir sama dengan namaku, Reyhana dan Reysyana. Padahal kata ibu 'Rey' itu singkatan dari Ramadhan, nama bapak dan Yuli, nama ibu.
Kedua, Tante Yani sering menelepon Bapak. Macam-macam alasannya, anak sakit, barang datang, dan alasan-alasan lain yang katanya penting. Bila sudah begitu, Bapak akan pamit dan lama baru datang lagi.
Ketiga, ini yang paling kubenci, Tante Yani berani menikah dengan Bapak. Sungguh tidak tahu diri! Bukankah ia sudah tahu Bapak sudah punya istri dengan tiga anak lelaki? Kakakku, Reynold. Aku, Reyhan. Dan Reymond, adikku.