Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Peminat sastra

Peminat sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bukan Lagi Sumi

11 Agustus 2016   17:15 Diperbarui: 11 Agustus 2016   18:54 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam senyap. Tarno menatap wajah kedua mertuanya, kakak iparnya, adik iparnya, dan seorang tetangganya. Mereka tergolek di atas kasur-kasur yang digelar di atas lantai. Ibu mertuanya, satu-satunya perempuan yang tergolek di kasur itu, tidak berani tidur sendirian di kamarnya. Padahal letak kamarnya di ruangan itu pula.

Harusnya kakak iparnya menemaninya berjaga. Tapi tahu-tahu Tarno melihatnya tertidur.  Memang, hanya kelelahan luar biasa yang dapat menidurkan mereka. Tapi ia sendiri tidur hanya dua tiga jam dalam sehari. Setelah tiga malam sejak peristiwa itu. Peristiwa yang tiba-tiba menyentak hidupnya.

Bunyi detak jam dinding menekan-nekan jantung Tarno. Di depannya, di atas amben, istrinya, Sumi, terbaring. Ah, Tarno tahu ia bukan Sumi. Sumi tidak memiliki kebiasaan menggerak-gerakkan kaki ketika tidur atau duduk, menggaruk-garuk kepalanya seperti orang berkutu, dan menggosok-gosok telapak tangannya dengan jari-jarinya. Tawanya pun tidak mengerikan seperti tawanya sekarang. Tapi ia berusaha menampakkan diri seperti Sumi.

Tarno menyandarkan punggungnya pada dinding setelah sadar sedari tadi tubuhnya tegang. Tatapannya jatuh ke lantai. Takberani ia memandang ke segala sisi ruang, apalagi mata perempuan di atas amben. Itu jelas bukan sorot mata Sumi. Sumi entah sedang ke mana.

Terakhir kalinya ia berbincang dengan Sumi tiga hari yang lalu. Ketika itu pukul sebelas malam. Keluarganya sudah terlelap dan Tarno diajak ke loteng. Sumi membuka pintu satu-satunya kamar di situ. Tarno lihat di dalamnya ada kursi di depan meja bertaplak kain putih. Di atas meja itu terjejer buku-buku bertulisan Arab dan sebuah pigura berfoto Kyai Mustofa, guru ngaji yang sering dibangga-banggakan Sumi. Di depan meja itu tergelar tikar.

“Mas, cuma aku yang boleh masuk kamar ini. Mas Tarno dan yang lainnya tidak boleh. Terus…, jangan memotong dulu, Mas. Terus aku mau bikin pintu besi buat kamar ini.”

Buat apa, Sum?” Tarno mengerutkan kening.

“Begitu kata bisikan.”

“Bisikan? Bisikan siapa?”

Sumi diam sejenak. “Oh, kata bisikan, aku boleh cerita.  Begini, Mas. Sejak aku rajin tahajud, sembahyang duha, wirid, dan ibadah macam-macam, aku bisa dengar bisikan-bisikan. Awal-awalnya aku biarkan saja, tapi lama-lama aku tahu bisikan itu benar. Pas Mas Tarno pulang dari masjid, terus ngesun pipiku dua minggu yang lalu itu, Mas ingat tidak, itu aku sudah diberi tahu bakal begitu. Ya aku ikuti terus bisikan itu, Mas. Itu kenapa tiba-tiba aku dapat arisan. Sekarang bisikan itu bilang aku bakal dapat duit seratus juta, Mas. Coba, Mas, kita bisa naik haji tahun ini. Tapi syaratnya, aku harus bikin pintu besi buat kamar ini. Jadi, Mas, di kamar ini aku bakal ketemu Kanjeng Nabi….”

Tubuh Tarno gemetar. “Sum, Kanjeng Nabi itu, kalaupun bisa ditemui, cuma lewat mimpi.”

“Itu buat orang awam, Mas. Aku ini, Mas, sebentar lagi diangkat jadi wali Allah.”

“Astagfirullah, Sum…. Eling, eling.”

Bulu kuduk Tarno berdiri.

Paginya, menjelang subuh, Tarno menangis keras sekali. Keluarganya yang masih terlelap sontak terbangun. Dengan setengah berlari, emak dan bapak Sumi menuju sumur. Mereka lihat Tarno berlutut sambil menangis. Begitu melihat Sumi, tubuh mereka lemas.

Sumi basah kuyup, mengenakan kain batik selutut dan berkerudung kain kafan lebar hingga menutupi badannya. Tanpa baju dan kutang. Ia segera berlari ke orang tuanya dan bersujud di depan mereka.

“Maafkan aku, Mak, Pak. Dosa-dosaku segunung banyaknya, Mak, Pak. Maaf, maaf.”

Emak Sumi menangis dan memegang kedua pundak Sumi. “Kamu kenapa, Sum?”

Di antara suara tangis itu, kakak Sumi, Ahmad, yang tiba-tiba ada di antara mereka, lantang bersuara, “Kamu sedang melakukan apa?! Dikira aku tidak tahu kelakukanmu yang aneh akhir-akhir ini?! Apa itu yang ada di kamar loteng? Itu hasil bolak-balik ngaji setahun ini? Jangan teruskan lakumu itu!”

Sumi melolong, “Mas, tinggal satu syarat lagi. Tolong, tinggal satu lagi. Setelah itu aku bakal dapat seratus juta. Buat naik haji, Mas.”

“Siapa yang mau ngasih seratus juta? Ngimpi kamu?!”

Ahmad bergegas ke loteng. Sumi mengejar.

“Mau apa, Mas?! Jangan masuk ke kamar itu!” teriak Sumi.

Tarno dan kedua mertuanya yang masih terkaget-kaget kontan ikut berlari ke loteng.

Ahmad mengambil pigura, kursi, taplak putih dari kafan, dan tikar di kamar loteng. Sumi menyerang Ahmad.

“Pegangi Sumi!” teriak Ahmad.

Tarno dan bapak mertuanya memegang kuat-kuat tangan Sumi. Sumi berontak. “Mas, di kursi itu Kanjeng Nabi bakal duduk dan ngasih uang!”

Ahmad tidak memedulikan kata-kata Sumi. Dibawanya barang-barang itu ke halaman belakang, lalu dibakarnya. Sumi menangis. “Oh, Kanjeng Nabi….”

Ingsutan tubuh di atas amben mengagetkan Tarno. Kembali jantungnya berdetak kencang. Ia tahu perempuan itu tidak tidur. Mungkin sedang mengawasinya diam-diam, mencari-cari taktik agar bisa keluar dari sekapan ruangan itu.

Ah, kenapa Mas Ahmad belum bangun juga? Tarno membatin. Lalu ia mengeluhkan keteledorannya pagi itu, setelah barang-barang untuk pemujaan itu dibakar.

Langit pagi belum juga merah ketika Sumi membisu di ruang tamu. Ia telah berpakaian seperti orang-orang lainnya. Tarno menemaninya. Tapi ia sempat pergi ke dapur sebentar untuk membuatkan teh manis. Ketika ia kembali ke ruang tamu, Sumi telah raib.

Tarno dan ibu mertuanya menangis. Ahmad segera mencari-cari Sumi dengan motor. Selepas Ashar Sumi ditemukan di surau di kampung tetangga. Tapi ia takmau pulang. Akhirnya Ahmad menungguinya. Barulah ketika azan magrib terdengar, tiba-tiba mata Sumi menyorotkan keganasan. Ditariknya Ahmad, minta pulang.

Dalam perjalanan pulang dengan kecepatan 20 km, Sumi tiba-tiba mencoba melompat dari motor ketika sebuah truk melaju dengan kencang. Ahmad berhasil mencekal tangan Sumi, lalu ia melompat dari motor, dan membiarkan motornya menabrak semak-semak di pinggir jalan.

Dengan kasar Sumi menghentak tangan Ahmad dan menudingnya. “Siapa kamu? Aku akan mati sebelum magrib. Aku akan mati dengan iman!”

Tepat setelah Sumi berkata-kata, sebuah sepeda motor meraung-raung dari kejauhan. Ahmad cepat-cepat mendekap Sumi ketika Sumi memalingkan kepalanya ke arah suara motor itu. Sumi meronta. Orang-orang yang lalu-lalang di jalan memelankan kendaraan, menampakkan wajah-wajah yang menyimpan pertanyaan.

Akhirnya toh Ahmad berhasil memulangkan Sumi dengan bantuan dua orang yang menghentikan perjalanan dan menawarkan bantuan. Dan disekaplah Sumi di ruang tengah. Tapi memang, ia bukan lagi Sumi. Karena Sumi pasti tahu siapa nama suaminya, anaknya, dan semua keluarganya.

Detak jam taklagi terdengar. Tergantikan derit amben bambu yang ditiduri perempuan bertubuh Sumi. Ia terus menggerak-gerakkan kakinya.

Tarno masih menunduk. Ia ingat jerit mengerikan sekaligus memilukan perempuan itu petang tadi. Perempuan itu pikir ia dapat mengelabui keluarganya. Setelah bertindak kasar sampai-sampai berkelahi dengan Ahmad, ia berakrab-akrab ria dengan keluarga Sumi, terutama dengan Ahmad. Sekapan diperlonggar. Ketegangan mereda. Kunci pintu-pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang lainnya dibuka. Lalu perempuan itu mengelilingi rumahnya, dari satu pintu ke pintu lainnya. Ahmad mengikutinya dari belakang.

“Kenapa sih mesti diikuti?” tanya perempuan itu, kalem.

“Takut kamu tersandung,” jawab Ahmad.

Kemudian ketukan dan panggilan terdengar dari depan pintu. Itu suara bapak Sumi yang baru pulang dari masjid.

Pintu depan dibuka Ahmad. Si bapak masuk.

“Aku mau beli mi ayam.” Secepat kilat perempuan itu berlari ke luar rumah.

Ahmad dan bapaknya kontan mengejar. Ahmad berhasil meraih tangan Sumi dan sebuah lengkingan pilu seketika menidurkan kampung.

“Oh, alangkah indahnya pintu itu.”

Tarno tergeragap. Dilihatnya perempuan di atas amben sedang duduk memandangi pintu yang terkunci.

Tarno memberanikan diri untuk berkata, “Tidur, Sum. Sudah tiga hari kamu tidak tidur.”

Perempuan itu seolah tidak mendengar kata-kata Tarno.

“Lewat pintu itu aku bisa ke sorga. Oh, indah sekali sorga-Mu ya, Gusti. Tapi dosa-dosaku selautan, segunung.”

Malam sepi itu meluluhkan hati Tarno. Perempuan di depannya baginya adalah Sumi.

“Siapa sangka semuanya bakal begini, Sum?” keluh Tarno. “Hati suami mana yang tidak senang melihat istrinya rajin ngaji. Tapi kalau begini jadinya, nelangsa juga aku, Sum. Orang punya dosa itu wajar, Sum. Bapakmu yang rajin sembahyang itu dulu juga pernah malas sembahyang. Tapi kamu nebus dosa dengan ibadah tidak berhenti-berhenti. Sampai lupa masak buat aku. Itu dosa juga kan, Sum?”  

Air mata Tarno mengucuri pipinya.

“Seratus juta. Seratus juta. Duh, Gusti, sayang sekali duit seratus juta itu.” Tatapan perempuan itu kosong.

Tarno berhenti menangis. Ia teringat cerita Sumi ketika awal-awal ia rajin mengaji.

“Kyai Mustofa dan Nyai Jamila itu, Mas, bikin pondokan setelah dikasih uang satu tas. Mereka tidak kenal siapa yang ngasih. Orang itu cuma pesan, uang itu buatmbangun pesantren.”

Tarno tiba-tiba memiliki keberanian. Ia merasa telah menemukan kuncinya. Lalu didekatinya amben. Dipegangnya kedua tangan Sumi.

“Sum. Biarlah cerita uang satu tas itu. Biarkan. Rejeki kita tidak sama dengan rejeki kyai dan nyaimu. Ikhlaskan, Sum.”

Kening perempuan itu berkerut, membentuk satu garis di antara kedua alisnya. Lalu dia terisak-isak. Bahunya terguncang. “Kenapa tidak ada yang percaya padaku? Dikiranya aku tidak waras. Padahal, di luar sana orang itu sedang menunggu.” Tapi taksetetes pun air keluar dari mata Sumi.

“Siapa, Sum?”

“Orang yang bawa duit seratus juta.”

“Bohong, Sum. Jangan dengarkan bisikan.”

“Aku percaya orang itu. Kamu itu tidak bisa ngasih seratus juta.”

Tarno merasa tertempeleng. “Aku ini memang cuma sopir angkot , Sum. Penghasilanku tidak seberapa. Cuma bisa ngasih kamu makan. Waktu kamu hamil dan ngidam kulkas, aku juga tidak bisa membelikan. Mungkin sebenarnya ini salahku, Sum. Gara-gara aku tidak bisa ngasih kamu banyak uang.”

Tarno ikut menangis.

“Bukakan pintu itu.”

“Jangan, Sum.”

“Kalau orang itu pergi, aku mau mati saja.”

“Sum….”

*

Seorang lelaki terpasung di kamar kosong di sebuah loteng. Satu nama selalu disebutnya. Sumi. Perempuan itu hilang taktertemukan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun