“Itu buat orang awam, Mas. Aku ini, Mas, sebentar lagi diangkat jadi wali Allah.”
“Astagfirullah, Sum…. Eling, eling.”
Bulu kuduk Tarno berdiri.
Paginya, menjelang subuh, Tarno menangis keras sekali. Keluarganya yang masih terlelap sontak terbangun. Dengan setengah berlari, emak dan bapak Sumi menuju sumur. Mereka lihat Tarno berlutut sambil menangis. Begitu melihat Sumi, tubuh mereka lemas.
Sumi basah kuyup, mengenakan kain batik selutut dan berkerudung kain kafan lebar hingga menutupi badannya. Tanpa baju dan kutang. Ia segera berlari ke orang tuanya dan bersujud di depan mereka.
“Maafkan aku, Mak, Pak. Dosa-dosaku segunung banyaknya, Mak, Pak. Maaf, maaf.”
Emak Sumi menangis dan memegang kedua pundak Sumi. “Kamu kenapa, Sum?”
Di antara suara tangis itu, kakak Sumi, Ahmad, yang tiba-tiba ada di antara mereka, lantang bersuara, “Kamu sedang melakukan apa?! Dikira aku tidak tahu kelakukanmu yang aneh akhir-akhir ini?! Apa itu yang ada di kamar loteng? Itu hasil bolak-balik ngaji setahun ini? Jangan teruskan lakumu itu!”
Sumi melolong, “Mas, tinggal satu syarat lagi. Tolong, tinggal satu lagi. Setelah itu aku bakal dapat seratus juta. Buat naik haji, Mas.”
“Siapa yang mau ngasih seratus juta? Ngimpi kamu?!”
Ahmad bergegas ke loteng. Sumi mengejar.